Bab. 36

31 8 0
                                    

"Aku senang, Mas. Akhirnya rencana kita berhasil," kata si wanita tersenyum ke arah si pria yang duduk berhadapan.

Terlihat sepasang perempuan dan laki-laki tengah duduk di lesehan warung soto ayam yang tak begitu ramai pengunjung hanya satu dua saja. Sembari makan mereka berbincang ringan, merasa kian leluasa saat konsumen mulai meninggalkan tempat makan.

Menyeruput kuah soto dengan sendok usai meniupnya barulah pria berperawakan tinggi nan gagah itu berujar, "Mas pun senang, akhirnya kita bisa bersama-sama lagi seperti waktu jaman sekolah dulu."

Helaan napas terdengar. "Walaupun, aku sangat berharap kita adalah pasangan utuh. Tapi ... itu hanya anganku," ucapan wanita itu terhenti sesaat menyambut kesakitan di benak mulai muncul. Kedua netranya pun mendadak padam saat wanita itu menatap kembali pria yang amat ia cinta. "Memang sakit, selama bertahun-tahun lamanya harus berusaha melepas orang yang kita cinta pun yang kita anggap belahan jiwa."

Pria itu mengangguk lemah, lalu meraih tangan si wanita, menggenggam lembut nan menatap tulus. "Mas pun merasakan hal sama. Tapi kita sudah sama-sama berjanji pada orang tua nggak akan jadi pasangan kekasih, mereka juga memberi kita amanah harus menerima dengan baik pasangan hidup kita walau tak ada cinta.

Dan yang terpenting, Allen dan Jena sudah menikah, dengan begitu kita bisa terikat lebih dekat. Masalah mereka belum saling cinta, Mas juga nggak tahu harus bagaimana. Mas sadar, sedikit egois sebagai orang tua, tapi Mas hanya meniru orang tua yang dulu memaksa menjodohkan kita."

"Benar!" sahut Nika lalu menelan saliva kesakitan. Mencoba menabahkan hati saat mengingat bagaimana ia memberontak tak mau dijodohkan.

"Kita dipaksa menikah dengan orang yang nggak kita cinta, sudah bertahun-tahun aku menahan sakit hati atas takdir yang nggak adil ini, Mas. Bertahun-tahun belajar melupakan kamu, tapi aku tetap nggak bisa. Mau ada lelaki yang lebih tampan atau sukses daripada Mas, hatiku tetap buat kamu Mas!" ungkap wanita itu tulus pun pancaran mata kilat akan cinta yang begitu besar.

Kelopak mata pria itu memejam sesaat, menghela napas sejenak lalu mengangguk pelan. "Mas tahu, karena Mas bisa merasakan. Mas sudah mencoba melupakan pun membuka hati buat istri tapi semakin dipaksa semakin sakit, hati Mas nggak bisa bohong hanya mencintaimu Nika." Lalu pria itupun mengecup pelan punggung tangan si wanita lembut nan tulus.

Hitam. Layar ponsel wanita bergamis hitam itu jadi gelap seketika, dibalik wajah tenang nan dingin wanita itu menahan dongkol setengah mati dalam tenggorokan. Pun dengan pria di sebelahnya, dadanya terasa terkena lelehan letusan gunung berapi, matanya memerah dan wajahnya juga merah menekan amarah dalam benak.

Jena, menyudahi video tanpa melihat keseluruhan lantaran batin dan netranya tak kuat melihat seberapa romantis nan dramatis orang tua yang duduk berhadapan dengan Jena dan Allen ini.

Mereka berempat berada di ruang manajer kedap suara toko bakery dan pastry, berniat ingin meluruskan, bertanya dan menggali informasi yang ia dapatkan pun kumpulan selama beberapa bulan ini.

"Setelah melihat foto dan video yang saya putarkan video tadi." Jena jeda kalimat, merasakan dadanya bergemuruh panas. "Bisa dilihat, sendiri. Perilaku Ayah dan Ibu Nika di belakang kami, saya sebagai anak harus merasa sakit hati atau kasihan pada kisah dua insan saling cinta nggak berakhir bersama?" tanya Jena lembut walau bara api sudah membakar dada.

Demi Tuhan. Entah bagaimana reaksi dan perasaan Ibu kalau tahu foto, video, dan perilaku dua orang dewasa ini di belakangnya. Armi yang begitu mencintai Farhid tapi suaminya justru masih mencintai kekasihnya yang dulu.

"Apa boleh, kalau Allen kecewa dan sakit hati? Sebagai anak, Allen memang nggak pernah melihat mama romantis dengan papa, tapi nggak papa, Allen bisa memaklumi, tapi kalau seperti ini Allen harus gimana?" Allen menelan saliva kesakitan dengan bola mata mulai memanas.

TAUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang