Bab. 37

35 8 0
                                    

Dengan langkah tertatih wanita berwajah sembab pun sayu itu melangkah masuk ke dalam rumah yang ia tinggali sebelum di usir dari rumah. Pintu yang sudah terbuka membuat Jeha masuk begitu saja, tepat saat itu manik mata mendapati wanita yang selama ini Jeha panggil Ibu sedang mengecek apakah ada buku materi yang tertinggal.

"Jeha ... kamu di sini nak?" Wanita itu tersenyum, melangkah maju menemui putri keduanya yang datang tiba-tiba.

Kening Armi berkerut, alis bertaut dan kentara jelas rasa khawatir tiba-tiba tercetak jelas di wajah cantiknya. Merapikan anak rambut yang menutupi wajah Jeha. Armi mengusap air mata sang anak yang tiba-tiba lolos. "Kamu kenapa nangis, nak?"

Jeha menatap wanita itu tanpa kedip pun debit air memenuhi matanya, ia tatap lekat wajah Armi. "Apa boleh, Jeha panggil wanita cantik ini dengan sebutan Ibu?" tanya Jeha lembut.

"Kamu kenapa bertanya begitu?" Armi balik bertanya sembari memandangi manik mata Jeha yang sirat kesedihan mendalam.

Tangan Jeha meraih tangan sang Ibu yang terus mengelus pipi sembabnya, setengah mati Jeha mencoba jangan sampai terisak lemah. "Kata Ayah. Jeha bukan anak kandung Ibu dan Ayah, apa benar, Jeha bukan anak kandung kalian?"

Mecelos jantung Armi mendengar tutur kata sang anak. Wanita itupun tertunduk sejenak, antara kaget dan sedih anaknya bertanya demikian.

"Ibu bisa, jawab pertanyaan Jeha?"

Dagu Armi naik, bersitatap dalam menyelami jendela hati lawan bicara. Sisi emosionalnya benar-benar tergugah. Armi pun membawa Jeha dalam pelukan erat, hangat, dan penuh kasih kasih sayang.

"Apa benar, Jeha bukan anak Ibu?"

Jeha bertanya dalam pelukan. Hati Armi terasa kian remuk mendengarnya, matanya kian memanas pun tenggorokan tercekat hebat. Anak yang sedari kecil ia besarkan sampai dewasa dengan penuh cinta pun keikhlasan tiba-tiba bertanya demikian.

Armi melepas pelukan, wanita itu hapus cepat air mata Jeha sembari menggeleng kuat-kuat. Lalu wanita itu pegang kedua bahu anaknya. "Kamu anak Ibu Jeha, kamu anak Ibu! Tolong jangan bertanya seperti itu."

Jeha menghela napas lalu menghembuskan perlahan. Menatap manik mata Armi begitu teduh nan sayu. "Kalau kebenarannya memang lebih baik, katakan saja yang sebenarnya, Ibu." Sang anak menghapus jejak air mata sang Ibu.

Jatuhnya bulir bening kesakitan yang kini Armi rasakan. Ia terus menggeleng sampai suara sang suami membuat Jeha yakin bukan bagian dari keluarga ini.

"Sudah cukup saya berdiam diri, menyembunyikan kebenaran kalau anak ini bukan anak kita, Armi!"

Dengan suara lantang, lelaki gagah itu memasuki ruangan. Lalu berdiri di samping Jeha. "Berhenti berbohong dan katakan dengan jujur. Biar dia tahu, kalau dirinya lahir dari rahim wanita calon penghuni neraka!"

Kilatan penuh amarah nan tajam Armi layangkan pada suami, wajah teduh itu memerah. "Jaga bicaramu Farhid! Kalau kamu memang calon penghuni surga."

"Tapi memang benar, dia keturunan pela--"

"Setiap bayi yang lahir ke dunia ini suci! Nggak ada bayi yang haram, walau terlahir dari wanita pendosa sekalipun."

Jeha menunduk, kelopak mata memejam mendengar fakta pahit itu lagi, dalam diam ia menahan isakan sampai dadanya terasa panas. Kedatangan Ayah disusul oleh Jena yang menghampiri sang adik. Ia yang semula tak yakin akan ucapan Ayah jadi percaya begitu Ayah menjelaskan saat tadi di perjalanan kemari.

"Kita perlu bicara empat mata, di--"

"Nggak usah! Jelaskan di sini saja, biar anak haram ini tahu siapa Ibunya yang sebenarnya, sudah cukup menutupi kebenaran selama bertahun-tahun, katakanlah saja sejujurnya," potong lelaki itu tersenyum puas melihat air mata terus lolos dari pelupuk mata Jeha.

TAUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang