Bab. 39

49 9 0
                                    

"Ini untukmu." Seorang perempuan berseragam putih abu-abu menyodorkan kue cokelat dalam kardus kecil pada laki-laki di depannya.

Laki-laki berseragam putih abu itupun menatap sekotak kue cokelat, beralih pada perempuan yang berdiri di depannya. Angin sore membuat rambut panjangnya berkibar bak iklan shampo, senyuman tanpa unjuk gigi perempuan itu terbitkan. Manis sekali, dalam benak sangat berharap lelaki di hadapannya menerima sekotak kue cokelatnya.

Setelah pulang sekolah memang Farhid diminta untuk datang ke taman sekolah pun tidak menerima penolakan.

"Kalau kamu terima, berarti kamu mau menerima cintaku. Ahid," lanjut perempuan itu seraya bersitatap dengan lawan bicara.

Farhid menatap tanpa kedip. "Ini?"

"Benar. Aku nembak kamu, diterima, ya." Lalu Indira meraih tangan Farhid untuk menerima sekotak kue cokelat tersebut sembari menerbitkan senyum.

Farhid menatap kue ditangannya, beralih pada Indira. Diam seperkian detik lalu meraih tangan Indira guna mengembalikan sekotak kue cokelat tersebut.

"Maaf Indi, Aku nggak bisa, makasih ya, sudah repot beli kue buat aku."

Tatapan nanar tertuju pada sekotak kue yang Indira pegang, beralih pada lelaki yang ia cinta. "Apa karena kamu mencintai Ika?" tanya Indira dengan tenggorokan mulai tercekat.

"Indi aku ..."

"Hanya mencintai Ika, benar?" potong Indira cepat, mulai mengambil napas lalu mengembuskan perlahan. "Aku tahu hubungan kalian."

Mata Farhid mengerjap kaget lantaran selama ini Farhid dan Nika menyembunyikan hubungan mereka sebaik mungkin. Kalau tidak mau menerima risiko dimarahi oleh orang tua karena tak boleh pacaran.

"Mungkin memang dia lebih baik dari aku," kecap Indira lagi sembari bersitatap dengan Farhid. "Dalam hidup, nggak pernah ada orang yang benar-bener tulus sama aku, Ar. Cinta mereka semua cuma napsu, pertemanan mereka semua munafik."

Farhid menggeleng. "Nggak, kamu cantik Indira, bahkan kalau boleh jujur kamu lebih cantik dari Ika. Tolong, jangan berkecil hati, ya. Aku yakin banyak yang cinta dan sayang sama kamu, Ra," jelas Farhid polos.

Memang benar. Indira adalah siswi paling cantik satu angkatan, wajahnya yang elok, kulit putih bersih, tinggi dan berat badannya profesional. Dalam hati Farhid menyakini kalau Indira menjadi model suatu hari nanti pasti bisa tercapai. Karena Indira memang secantik itu dan secara terang-terangan banyak kaum Adam menyatakan perasaan pada perempuan itu.

Sudut bibir kanan Indira terangkat. Perkataan lelaki lugu itu memang benar, namun pada faktanya semua teman perempuannya mau berteman karena Indira anak orang kaya, tentu tanpa mereka tahu kalau Indira anak angkat, dan kecantikan Indira membuat ia mudah membuat kaum Adam menyukainya, catat! Menyukainya bukan mencintai dengan tulus.

"Mereka semua palsu Ar, entah sebagai teman atau katanya suka sama aku, mereka cuma bermulut manis." Lalu Indira meraih tangan Farhid menggenggamnya lembut pun mengajak bersitatap. "Cuma kamu satu-satu orang yang bisa dijadikan teman, kamu selalu tulus nolong aku dalam kesulitan dan ucapan kamu benar-benar bisa dipercaya. Hanya bersamamu aku merasa aman dan nyaman Ar."

Indira tersenyum manis pun semakin mengeratkan genggaman. "Boleh, kalau kamu terima cinta aku? Aku menginginkan sosok ayah dalam hidup dan sosok ibu yang bisa mencintai dengan tulus, kalau bersamamu aku bisa merasakan keduanya karena kamu sebaik itu Ar."

Lelaki itu memang tahu kalau Indira hanya anak angkat. Namun tidak diperlakukan dengan baik oleh orang tuanya, tiap hari mendapat amarah dan selalu menuntut anaknya punya prestasi tinggi. Indira yang tidak sanggup, orang tua tak segan memberi lecutan di telapak tangan acap kali tidak masuk tiga besar pun dari situ Farhid paham alasan kenapa Indira sering mencontek dan menjadi anak bandel.

TAUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang