Bab. 22

39 9 0
                                    

"Sesuai permintaan." Ilyas meletakan segelas cokelat panas di atas meja ruang tamunya.

Ilyas sendiri membuat teh hangat untuk dirinya, setelah menaruh cangkir berisi teh hangat di atas nakas si Tuan rumah duduk mandiri di sofa. Memperhatikan Allen tengah makan martabat cokelat keju yang mereka beli tadi usai pulang bersama dari restoran.

"Terimakasih. Lo mau lagi?" Allen menawarkan martabak manis lagi pada Ilyas, pria hitam manis itu tak terlalu suka jajanan malam, tapi melihat cara makan teman yang terlihat sangat enak ia pun mengambil satu martabak lagi.

"Benar, istri lo nggak mau diantar jemput? Gue tahu sendiri jarak kontrakan sama tempat dia kerja lumayan." Pria hitam manis itupun mengigit martabaknya, memulai obrolan yang sempat tertunda.

Selagi menguyah Allen manggut-manggut menikmati cita rasa manis asin martabak. "Dia selalu naik Go-jek. Mungkin kalau bisa dia penginnya bawa mobil pribadi. Tapi, ya, itu tahu sendiri di kontrakan cuma ada satu garasi."

Dan garasi tersebut dipakai oleh mobil Allen.

Sudah sekitar dua bulan usia pernikahan, Jena belum pernah mau diantar oleh Allen, lebih baik pakai jasa ojek dan wanita itu juga sudah menjelaskan pada Ibu mertuanya minta pengertian tak mau diantar oleh suami, luar biasanya Nika nurut saja.

"Mau sampai kapan kalian begini, nggak bisa sedikit saja hati lo terbuka buat Jena?" Sembari menghaluskan martabak dalam mulut Ilyas bertanya.

"Rasa cinta gue sudah habis sama Jeha, Yas."

Kelopak mata Ilyas tak berkedip sesaat, pancaran ketulusan tercetak jelas di mata teman dekatnya. "Sampai sekarang, lo belum bisa lupain dia?" Dalam benak heran, kenapa bisa mencintai satu wanita begitu dalamnya.

Masalah fisik, Jena maupun Jeha sama-sama cantik di mata Ilyas, tak ada yang lebih unggul. Kalau ia di posisi Allen, tentu saja tak rugi menerima Jena sebagai istri.

Allen menatap segelas coklat hangat, begitu menelan saliva, rasa cokelat pada martabak manis masih terasa di lidahnya. "Gue cuma mencintai Jeha dan akan terus mencintai dia," jawab pria itu lembut pun tulus.

"Lo yakin, rasa cinta lo itu benar-benar cinta, bukan rasa napsu berbalut kata cinta?" Ilyas meraih segelas teh hangat, meniup perlahan guna mengikis hawa panas minuman.

"Gue nggak bisa menjelaskan lewat kata-kata buat menyakinkan lo. Tapi yang jelas hati gue yang merasa begitu."

"Dan gue harap hubungan lo sama istri baik-baik saja. Karena setahu gue, pasangan yang nikah tanpa cinta sering jadi berbeda pendapat, nggak semua, tapi yang gue denger begitu. Masalah kecil dibesar-besarkan," kecap pria hitam manis itu.

Ilyas tahu mereka tidak saling mencintai dari Allen. Namun, keduanya tetap memaksakan diri untuk menikah dengan alasan yang cukup menyebalkan bagi Ilyas. Karena orang tua yang meminta sekaligus memaksa, ia bisa mengerti bagaimana perasaan Allen beberapa bulan sebelum menikah dan beberapa bulan belakangan ini. Pria yang biasanya ceria, mendadak menjadi pria menyedihkan.

Mengenal Allen dari lama baru Ilyas dapati keceriaan temannya mendadak raib, hanya di tempat kerja dan bertemu orang-orang penting temannya berusaha profesional, berlagak dewasa pun baik-baik saja. Namun, jika bersamanya Allen menunjukan perasaan aslinya.

Sudut bibir kanan Allen berkedut mendengar penuturan temannya tadi, apa kejadian tadi pagi bisa dibilang hubungan mereka memang baik-baik saja?

Kejadian tadi pagi yang Allen maksud adalah——sepele tapi cukup menguras energi.

"Kenapa tidak meletakan kaus kaki pada tempatnya?"

Tadi itu Allen baru saja keluar dari kamar mandi usai menyegarkan badan di pagi hari, dan begitu menginjakan kaki di kamar ia mendapat pertanyaan dengan nada sinis pun datar dari istri yang membawa sapu lantaran akan beberes rumah.

TAUTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang