Suara biola terdengar di dalam kamar. Lembaran nada berserakan di lantai. Seragam sekolah yang tergeletak di kasur. Tumpukkan kertas ujian bernilai 100 tidak terawat di bawah ranjang. Menurutku, dengan mendengarkan lantunan lagu biola ku dapat merasakan ketenangan.
"Deandra, ayo makan dulu!" Panggil ibu dari arah dapur.
"Baik bu."
Aku meninggalkan kamar dan pergi ke ruang makan. Disana ibuku sudah memasakan makanan. Hari ini ibu memasak ikan goreng. Terlihat dari porsinya, bisa dilihat hanya ibuku dan aku saja yang akan memakannya. "Ayah, apakah lembur lagi?" Tanyaku pada ibu. Ku duduk di depan ibuku.
"Yah begitulah. Ayahmu kan mau ngejar karir, katanya sih dia bakal jadi direktur. Sekarang sih ayah lagi nego sama unjuk nilai di depan direktur yang sekarang."
"Kerja kok malah nyari yang tambah bikin sibuk sih? Jadi asisten direktur saja ayah sebegitu sibuknya. Sekarang malah mau jadi direktur. Aneh." Ucapku dengan wajah merengut.
"Dean gak boleh gitu. Ayah melakukan itu untuk kita juga."
"Ya ya ya. Begitulah."
Aku kecewa dengan tindakan ayah. Apa yang sebenarnya dia kejar? Gajinya sudah lebih dari 10 juta perbulannya, asuransi kesehatan keluarga juga sudah dibayar oleh perusahaannya. Ayah menginginkan apalagi? Apakah tidak ada sama sekali muncul dibenaknya kalau selama ini dia jauh dengan keluarga yang ada di rumah?
Aku sendiri, sama sekali tidak memperdulikan kekecewaanku ini. Aku melampiaskan semua beban dihatiku dengan bermusik. Drum, piano, gitar, dan bass sudah aku kuasai berkat kekecewaanku yang begitu besar. Saat aku bermusik untuk pertama kalinya di bangku SMP, aku merasa semua beban pikiran dan batinku menghilang entah kemana. Semenjak itulah aku mulai jatuh cinta pada seni musik. Alasanku untuk bermusik sendiri terkesan aneh bagi banyak orang. Aku selalu mengingat bahwa ada seseorang yang selalu bermain dan mengajarku untuk bermusik saat aku kecil. Aku selalu mengingat nada dan irama yang selalu membuat diriku nyaman. Hal yang aneh dari alasanku adalah sama sekali tidak ada orang yang didekatku yang bisa bermain musik, termasuk ibu dan ayahku. Memang aneh, tapi aku tidak terlalu memikirkannya.Hubunganku dengan ayah tidak benar benar berisi kebencian. Aku tetap menghormati dan menyayanginya sebagai ayah. Apapun yang terjadi, dia tetap menjadi ayah pada umumnya. Sejak aku lahir dan duduk di bangku kelas 6 SD, ayahku selalu ada disisiku dan ibuku. Semua itu berubah ketika ayahku ingin menjadi asisten direktur di perusahaannya. Pada saat itu aku marah dan sedih karena hanya bisa bertemu dengannya sekali dalam sebulan. Kini aku tahu kenapa dia begitu ambisius dalam pengejaran karirnya. Mengingat dia sudah menghabiskan waktu yang lama dan beberapa kali menyelamatkan perusahaannya dari kebangkrutan.
Perusahaan tempat ayah bekerja adalah Oeltas Instrument. Perusahaan yang memproduksi komponen semikonduktor dan elektronik untuk perangkat-perangkat canggih di dunia seperti ponsel dan komputer. Tentu ayahku datang dengan tanpa keahlian. Beliau adalah lulusan terbaik dari Monash University di studi sarjana dan magister teknik elektronika masing masing dengan predikat Summa Cumlaude. Selain pintar dalam akademik, ayah merupakan pemimpin yang natural. Saat aku melihatnya bekerja, dia tidak pernah terganggu dengan apapun. Dia begitu fokus sampai dis selesai."Dean, Ibu besok pagi bakal ikut ayahmu untuk perjalanan bisnis di Malaysia. Kamu yakin gak mau ikut? Kamu sendirian di rumah nantinya."
"Aku gapapa kok bu, lagian aku juga pernah ke Malaysia dulu waktu aku pertukaran pelajar di kelas 9."
"Yaudah deh, kamu mau dibelikan apa?"
"Gak usah repot-repot cari oleh-oleh bu. Ibu senang-senang aja sama ayah.""Gabisa gitu dong Dean, Ibu juga mikirin kamu juga. Cepet bilang kamu mau apa."
"Hadeh, yaudah deh. Aku mau papan tulis putih yang baru.""Astaga Dean. Minta oleh-oleh kok papan tulis sih? Yang lain kek, makanan atau apa gitu."
"Terserah ibu deh. Aku mau tidur." Aku pergi ke kamar dan menutup pintu.
Aku awalnya mengira bahwa ayah akan pulang dulu ke rumah. Tapi tak kusangka dia malah langsung pergi ke negara lain tanpa menemuiku terlebih dahulu. Ya, mau bagaimana lagi. Biarkan si "direktur" itu bekerja selama mungkin. Melupakan masalah ayahku, malam ini aku sedang membaca kembali catatan matematikaku tentang peluang dan kemungkinan. Semuanya berjalan dengan lancar dan tidak ada apapun yang mengganjal. Tiba-tiba aku kepikiran suatu hal. Apakah ada kemungkinan bahwa orang yang memperkenalkan diriku pada musik masih hidup? Dan jika masih hidup, kenapa dia sangat jauh dariku?
Disaat aku mulai mencerna khayalan liarku ini, aku mengingat perkataan ibuku dengan ayahku di suatu malam. Memang samar-samar, tapi aku mampu mengambil poin utama dari perbincangan mereka berdua. Ayah pernah berkata, "bun, ayah minta tolong. Jaga pertemanannya Dean dan awasi psikologisnya. Jangan sampai dia pergi ke jalan yang salah gara-gara kita kurang pengawasan,"
"Hadeh, bukannya ayah yang kurang mengawasinya? setiap hari Dean sama ibu terus kok. Memang dia jarang bermain ke luar, tapi dia tetap punya banyak teman. Sama satu lagi ya, Dean itu orangnya punya standar yang tinggi, dia gak bakalan mau main sama anak anak nakal meski ayah kasih uang sebesar apapun."
"Baiklah kalau begitu. Ayah hanya ingin Dean jauh dari kakaknya."
"Oh ya, bagaimana ..." Ucapan ibu terputus karena aku tidak bisa mengingat apapun sebab diriku yang sudah setengah tertidur."Kakak? Apakah aku benar mempunyai kakak? Sebentar, kalau memang benar aku punya kakak. Kenapa dia tidak ada di rumah ini? Tunggu, ada yang salah ..." Ku berlari mengintip kamar orang tuaku. Terlihat ada ibu yang sedang menghitung keuangan bulanannya. Melihat adanya penghuni kamar, ku mengurung niatanku untuk masuk. Jika tidak ada ibu, aku ingin mencari surat-surat yang bisa membuktikan bahwa aku bukan anak satu-satunya seperti akta kelahiran, kartu keluarga, dan ijazah. Sepertinya rasa penasaranku harus menunggu hingga ibu dan ayahku pergi ke perjalanan bisnisnya.
Ibu dan ayahku melambai-lambaikan tangannya sebelum masuk ke dalam taksi. Taksi biru tersebut melaju di jalan raya, diikuti langit pagi yang cerah dan angin yang segar. Ini bukan pertama kalinya mereka meninggalkanku seorang diri di rumah. Mereka sudah sering melakukan itu sampai aku lupa kapan pertama kali kita menghabiskan waktu bersama. Sayangnya aku tidak bisa mencari tahu ada atau tidaknya kakakku di dunia. Pagi ini adalah pagi dari hari Senin. Tentu saja aku masih harus tetap bersekolah.To be continued ...
KAMU SEDANG MEMBACA
Dissimula: Kakakku Seorang Mata-Mata
Mystery / ThrillerUpdate setiap hari Sabtu!!! "Professor Dean" adalah julukan yang sering dilontarkan teman teman Deandra setiap saat mereka bertemu. Tidak salah mengingat bahwa Dean adalah murid paling pintar didalam sejarah SMA IT Ganesha. Hal ini dibuktikan dengan...