Bab 1: Harmoni Irama Part 2

1 1 0
                                    

Aku bersekolah di SMA IT Ganesha. Sekolah itu terkenal hanya bisa diisi oleh anak-anak kaya atau ana-anak yang jenius saja. Ayahku pernah bilang bahwa dia menjadi alumni sekolah ini. Sepertinya ayah menginginkanku untuk mengikuti jalan yang telah ia buat untukku. Aku sendiri tidak keberatan untuk bersekolah disini, hanya saja aku merasa kesepian disini. Aku memang memiliki teman, tapi tidak ada seorang pun yang ada disana yang bisa aku sandang sebagai teman dekat. Kebanyakan dari mereka hanya ku anggap sebagai kenalan yang nanti saat lulus akan dilupakan. Jarak rumah dan sekolah tidak begitu jauh, maka dari itu aku selalu memilih berjalan kaki daripada lewat kendaraan.
Keadaan jalan ramai lancar, padahal masih pukul 06:10 pagi. Sepertinya banyak orang berpikir untuk datang pagi di hari ini. Hal yang bisa aku amati hanyalah banyaknya orang dewasa yang bekerja daripada anak-anak sekolah. Apakah ini perasaanku saja tetapi semakin lama, murid sekolah semakin malas? Namun apapun itu aku tidak terlalu memikirkannya.

“Hey anak muda.”

“Eh?” Aku menoleh kebelakang dan melihat seorang pria tua. Pakaiannya rapi dan terkesan elegan. Warna pakaian yang dominan dengan warna bumi menyebarkan kesan tuan yang kaya raya.

“Mohon maaf ya mengganggu sebentar. Pasti kamu sedang dalam perjalanan sekolah ya? Aku sebenarnya ingin meminta pertolongan. Melihat lambang sekolahmu yang sama dengan cucuku, aku ingin menitipkan buku ini padanya.” Bapak tua itu memberikan sebuah buku tebal berwarna biru tanpa sampul.

“Baiklah pak? Kalau boleh tahu nama cucu bapak siapa?”

“Aduh, bapak sudah mulai pikun. Ehm siapa ya cucu bapak, cucu yang mana juga ya? Wendy? Harland? Kreysen? Oh ya! Andrea! Andrea yang punya buku ini!”

“Oke … cewek atau cowok pak?”

“Oh ya! Oh ya … cewek? Ya cewek!”

Mendengar penjelasan orang tua yang pikun itu membuatku tidak yakin. Tapi aku akan tetap mempercayainya. Namun aku akan mengingat kejanggalan yang ada. “Baik pak, saya akan pergi ke sekolah sekaligus memberikan buku ini kepada Andrea.”

“Baiklah, terimakasih ya nak.” Orang tua itu langsung pergi tanpa berpamitan.

“Astaga, aneh.” Ku melanjutkan perjalananku sambil memasukkan buku misterius itu kedalam tasku.

Telah tiba diriku di gerbang masuk sekolah yang menempati peringkat 5 nasional. Penghargaan yang luar biasa mengingat umur sekolah ini yang hampir sama dengan Institut Teknologi Bandung sekaligus salah satu sekolah yang mempunyai kurikulumnya sendiri, sekolah ini sudah melewati banyak tantangan di setiap generasinya. Memang sekolah impian bagi semua anak dan orang tua.
Sekarang adalah awal dari semester 2. Aku diutus untuk menjadi guru sebaya oleh wakil kepala sekolah bidang kurikulum. Ini sudah menjadi tradisi sekolah sejak dulu, bahwa guru-guru akan mengambil 2-3 murid di setiap kelas untuk dijadikan guru sebaya di seluruh sekolah. Tetapi, dari kelasku diambil 4 orang. Mereka bilang murid-murid kelas 10 tahun ini lebih banyak daripada yang tahun lalu. Ini bukan pertama kalinya aku menjadi guru sebaya, semester 1 aku sudah melakukannya. Tetapi aku sedikit kagum dengan 3 temanku ini karena di semester lalu bukan mereka yang menemaniku. Mereka bernama Calvin, Zahra, dan Nathan. Sepertinya guru-guru tidak lagi memilih berdasarkan peringkat, melainkan kemampuan murid-murid dalam mengajar dan menerangkan.

“Baiklah, kalian berempat bertugas menjadi guru sebaya di semester ini. Sebelumnya saya ucapkan selamat dan terimakasih karena kalian sudah mau secara sukarela untuk mengikuti kegiatan kurikulum ini.” Sambut pak Luky, wali kelas 11 MIPA 1.

“Sekarang, kalian bisa mulai membagi mata pelajaran apa yang kalian bawa nantinya. Jika ada sesuatu atau sudah siap, tolong telpon saya saja.”

“Dean, kamu bisa gak isi pelajaran informatika, matematika, dan fisika?” Tanya Zahra.

“Bisa aja. Untuk MIPA 1 aja kan?”

“Bisa ke semua kelas MIPA gak? 1 sampai 3?”

“Oke deh, selama gak nabrak dan ada jeda di tiap jamnya.”

“Baiklah, sepertinya mapel sulit udah di Dean semua. Aku ngisi di kimia, ekonomi, dan biologi aja deh.” Usul Nathan.

“Aku bisanya di bahasa. Jadi aku pilih bahasa Mandarin, bahasa Jepang, dan bahasa Indonesia.” Calvin ikut menyusul.

“Eh jangan diambil semua dong. Haduh disisain pelajaran receh … yaudah aku pilih sisanya aja. Ada pendidikan budi pekerti, IPS, dan pendidikan bela negara.”

“Hmm yaudah selesai guys.” Ucapku dengan cepat, tegas.

“Ini udah mau masuk jam istirahat, mau ke kantin gak?” Potong Nathan, menghiraukan perkataanku.

“Wah boleh tuh, yuk Vin. Dean mau ikut gak?”

“Aku … gak ikut. Aku ke perpustakaan.” Aku melangkah meninggalkan mereka.

“Kalian gak kasian sama Dean? Aku lihat lihat dia kayak kaku gitu.” Tanya Zahra dengan rasa khawatir.

“Gapapa. Dia emang kayak gitu. Udah kucoba berkali-kali untuk dia bisa ngelakuin sesuatu yang … normal? Ku udah habis pikir tentang tingkah lakunya.” Calvin mengeluh. Calvin adalah temanku dari SD. Dia tahu banyak tentang karakterku.

Ku meninggalkan 3 orang itu dengan cepat. Sekarang adalah jam istirahat yang kedua yang dimana berdurasi selama 1 jam. Membaca buku adalah salah satu kegiatan yang bisa aku pilih. Sebenarnya aku ingin pergi ke ruangan musik untuk melanjutkan latihan biolaku kemarin. Tetapi entah kenapa pintu ruangan musiknya terkunci dari dalam. Karena tidak tahu aku memutuskan untuk pergi ke perpustakaan.

To be continued ...

Dissimula: Kakakku Seorang Mata-MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang