0.5

923 137 34
                                    

Hai, jangan jadi siders ya ^^

*

Badan Victory memang terasa lebih nyaman setelah membersihkan diri. Namun, rasa panas dingin menjalar di seluruh tubuhnya. Sepertinya ia meriang setelah hujan-hujanan. Ditambah ia lama sekali berendam air hangat di kamar mandi. Entah memakan waktu berapa menit. Mungkin satu jam.

Retina Victory menangkap sosok mungil itu tengah berbaring di atas tempat tidur. Matanya terpejam. Dapat terlihat gurat kesedihan dari kelopak matanya yang bengkak karena terus menangis.

Victory merangkak menyusul gadis itu ke atas kasur. Melingkarkan satu lengan kekarnya di pinggang Ruby. Sedikit menghantarkan hangat di tubuhnya.

Namun tak berapa lama Ruby terusik dari tidurnya. Ia terbangun. Samar-samar ia mulai menyadari ada manusia lain yang memeluknya dari belakang.

"Tidur saja." Suara bariton pria itu terasa menggelitik telinganya.

"Le-lepaskan."

Victory membalikkan tubuh Ruby agar menghadapnya. Mata mereka bersitatap. Satu menatap dengan benci. Satu lagi menatap dengan dingin. "Hangatkan tubuhku."

Tidak sempat membalas atau pun menolak, tubuh besar itu sudah menelusupkan wajahnya di antara leher Ruby. Kedua lengan itu juga memeluknya dengan erat sampai membuat gadis itu kesulitan untuk melepaskan diri. "Elus rambutku," titahnya pelan.

"Kau demam?"

"Daddy," koreksi Victory. "Panggil aku daddy," lanjutnya seraya mendaratkan kecupan di tulang selangka Ruby. "Biarkan tetap seperti ini sampai pagi."

Ruby memang membencinya. Tetapi setelah menyaksikan betapa rapuhnya pria ini, hati Ruby sedikit tergerak untuk mengelus rambut Victory. Hembusan nafasnya terasa begitu hangat menerpa leher. Sepertinya dia sudah terlelap.

Benarkah dulu pria ini bukan orang jahat seperti sekarang?

***


"Dimana gadis kecilku?" cecar Victory dengan tidak sabar kepada para pelayan yang ia temui di rumah. Ia kaget saat bangun tadi, Ruby sudah tidak ada di sisinya. "Rubyyy!!" teriaknya.

"Ada apa pagi-pagi kau teriak, Victory?" Juliana mendekatinya sambil memasang wajah secantik mungkin.

"Bukan urusanmu." Victory kembali melanjutkan pencariannya.

"Kau mencari gadis itu?" pertanyaan Juliana berhasil menghentikan langkah pria itu. Bahkan sampai membuatnya membalikan badan. "Dia sedang bermain di tepi kolam," lanjutnya. "Kau harusnya membiarkan dia bermain keluar, jangan terus mengurungnya di kamar. Memangnya dia hewan peliharaan?"

Jika tatapan bisa membunuh, mungkin sekarang Juliana sudah terkapar di atas lantai karena tajamnya mata Victory. Setelah mendapatkan informasi dari wanita itu, Victory bergegas pergi menuju kolam renang yang berada di belakang rumah.

Entah mengapa, perasaannya langsung tenang menyaksikan gadis berpakaian kaus kebesaran lengan pendek yang hanya menutupi setengah pahanya tengah bermain bersama Mochi, kucing peliharaan milik Keenan. Ada seorang pelayan yang juga menemani gadis itu di sana. Ternyata, gadis itu memiliki sifat yang ceria dan menyenangkan saat orang melihatnya.

Victory memutuskan untuk duduk di salah satu kursi santai. Matanya asyik menikmati pemandangan ketika Ruby tertawa kecil saat bermain bersama Mochi. Victory malas mengakui tetapi, senyum gadis itu sangat indah. Orang biasa menyebutnya gummy smile. Untuk pertama kalinya setelah lima tahun, Victory merasa hatinya yang membeku kembali menghangat.

Tiba-tiba kucing gembul itu meloncat ke arahnya. Victory dengan sigap menangkap binatang lucu itu ke dalam gendongannya. Tangannya mengusap kepala Mochi. Victory lantas memberikan kucing itu kepada pelayan, menyuruhnya membawa ke dalam rumah.

"Sini duduk." Victory menepuk pahanya, memberi isyarat kepada Ruby untuk duduk di sana. Gadis itu menurut. "Mengapa tidak membangunkanku?" tanyanya dingin meski sambil melingkari pinggang gadis itu dengan posesif.

"Kau terlihat lelah. Aku tidak tega membangunkan."

"Aku pikir kau kabur lagi. Jika sampai kau melakukannya, kau akan menyesalinya."

Ruby hanya menganggukan kepala patuh. Pria itu selalu mengancamnya jika ia tidak menurut. "Kapan aku bisa menemui orangtuaku?"

"Nanti." Victory menyelipkan anak rambut ke telinga gadis itu. "Jangan sekalipun mencoba untuk menemui mereka tanpa seizinku."

Bibir Ruby tertutup membentuk garis lurus. Pada akhirnya mereka sama-sama terdiam dalam keheningan.

"Ayo berenang," ajak Victory tiba-tiba. Ia menggendong Ruby ke tepi kolam.

"Aku tidak bisa berenang," kilah Ruby.

"Aku akan mengajarimu."

Victory kemudian membawa Ruby masuk ke dalam kolam. Gadis itu refleks mengeratkan pegangan tangannya di pundak lebar sang presdir. "Aku takut. Aku memiliki trauma terhadap air."

"Kau harus melawan rasa takutmu," balas Victory. Ia berlanjut membawa gadis itu ke tengah kolam. Awalnya sang gadis seperti ketakutan, namun pria itu terus memaksanya tanpa henti hingga perlahan Ruby sedikit bisa melawan rasa takut tersebut.

"Maumu apa sebenarnya? Apa yang kau rencanakan pada keluargaku?" tanya Ruby saat mereka sedang istirahat. Posisi tubuhnya kini terhimpit ke tepi kolam dengan Victory yang merengkuhnya erat. Setengah badan mereka masih berada di dalam kolam.

Namun bukan Victory jika tidak membuat lawan bicaranya ketar-ketir. Fokus pria itu bukan lagi pertanyaan Ruby, melainkan kaus putih transparan yang gadis itu kenakan. Kepalanya terasa pening. Ia bahkan terang-terangan menjilat bibirnya sendiri di depan gadis itu.

Ingin tahu apa yang mengalihkan fokus pria itu, Ruby ikut menurunkan wajahnya mengikuti arah pandang Victory. Kaus putihnya menjadi transparan karena basah sehingga tak sengaja memperlihatkan bra miliknya yang berwarna hitam. Ia mendelik pada pria itu. "Kau?!"

Jantung Ruby berdegup kencang saat Victory semakin menyudutkannya hingga punggung itu menyentuh tepi kolam. Terlebih saat pria itu menarik pinggang rampingnya membuat tubuh mereka saling bersentuhan. Tanpa peduli ada yang melihat perbuatannya atau tidak, salah satu tangan Victory menangkup pipi Ruby. Dengan gerakan cepat ia mendaratkan bibirnya di atas bibir tipis gadis itu. Bahkan ia berlanjut memagutnya dengan lembut. Tangan nakalnya juga menelusup ke dalam kaus yang gadis itu kenakan. Victory tidak pernah berpikir bahwa ia begitu mudahnya tergoda oleh seorang gadis remaja yang sepuluh tahun lebih muda darinya. Hingga selang dua menit, Victory melepaskan ciuman penuh hasrat itu karena Ruby mulai kehabisan nafas.

Jika tidak ingat ancaman yang pria ini katakan tempo hari, Ruby ingin sekali membunuhnya detik ini juga. Sial, ciuman pertama dan keduanya sudah habis dicuri oleh pria dingin ini.

"Aku bukan kekasihmu, mengapa kau terus menciumku dan menyentuh tubuhku?!" gerutu Ruby tidak terima.

"Karena bibirmu manis dan tubuhmu indah." Victory menarik satu sudut bibirnya ke samping. Pria itu kemudian mengangkat tubuh mungil Ruby ke atas dan mendudukan gadis itu di tepi kolam. Sedangkan ia kembali ke tengah kolam, memilih berenang sendirian.

Ruby hanya duduk sambil memperhatikan Victory. "Dia bukan hanya jahat, tapi juga mesum," cicitnya.

Juliana yang tak sengaja menyaksikan pemandangan itu dari jauh hanya mampu meremas ujung kardigan miliknya. Ia terperanjat ketika mendapat tepukan di bahunya. Juliana mendongak dan mendapati Keenan berdiri di belakang.

"Sedang lihat apa?" tanya pria itu dengan kening berkerut tipis.

"Ah, sayang, aku hanya sedang memperhatikan Victory dan gadis itu," sahut Juliana. "Aku takut Victory menyakitinya."

"Jangan cemas. Adikku tidak sejahat itu."

Bibir Juliana membentuk garis lurus. "Yeah, aku tahu. Ayo ke dalam saja," ujarnya sambil menggandeng Keenan ke dalam rumah.

~=~

My Cute VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang