0.4

844 141 24
                                    

Hai, ramein di komen ya 😊

*

Mata lentik itu bergerak menandakan pemiliknya terbangun. Pemandangan yang pertama kali dilihat adalah mimpi buruknya. Atap itu masih sama. Atap kamar pria yang entah kenapa ia benci saat ini.

"Non Ruby baik-baik saja?" Suara lembut wanita itu menyadarkan Ruby.

"Apa yang terjadi, bi?" tanya gadis itu dengan lemah.

"Non Ruby pingsan selama 3 jam."

Gadis itu mencoba mengingat-ingat kejadian sebelumnya. Saat semua telah berkumpul di otak, ia menangis. Ia baru saja gagal untuk kabur. Ini memalukan!

Ruby merasakan usapan lembut di tangannya. Pelayan wanita itu terlihat simpati.

"Bibi tahu kenapa aku yang menjadi target presdir?" Akhirnya Ruby menanyakan hal yang sejak kemarin dipendamnya. "Kesalahan apa yang dibuat ayahku?"

Pelayan wanita terdiam. "Bibi tidak berani memberitahu, non. Bibi takut dimarahi tuan Victory."

Selang beberapa menit, Juliana tiba-tiba masuk ke dalam kamar. Tatapannya sangat tidak mengenakkan. Sejak awal, Ruby memang menyadari wanita itu sedikit tak suka dengan kehadirannya.

"Kau dibayar untuk bekerja, bukan berleha-leha di sini," ucap Juliana dengan tegas pada pelayan wanita itu. "Kembali bekerja!"

Pelayan wanita itu menunduk ketakutan. "Baik, nyonya. Maafkan saya," sahutnya seraya berlalu meninggalkan keduanya. Kini hanya tersisa Ruby dan Juliana di kamar itu.

Juliana mengitari ruangan itu. Hatinya tiba-tiba memanas. Dirinya bahkan tidak pernah satu kalipun diizinkan Victory masuk ke dalam kamar pribadinya, tetapi gadis asing ini dengan mudahnya tinggal bahkan tidur bersama adik iparnya itu. Netra Juliana kemudian menoleh ke arah Ruby. "Bagaimana kabarmu?"

"Aku baik."

"Kudengar kau mencoba kabur tapi gagal," ungkap Juliana seraya duduk di tepi ranjang Victory. Tatapannya terlihat meremehkan. "Kau tidak suka tinggal di sini?"

Pelan-pelan, Ruby mengangguk takut.

"Mau kubantu?" Juliana menawarkan.

"Apa maksudmu?" tanya Ruby tidak mengerti. Ia menatap wajah cantik Juliana yang sulit ditebak.

"Mau kubantu untuk pergi dan lepas dari Victory?"

***

Keenan termenung di depan layar monitor kantornya. Salah satu asistennya sudah menjelaskan dengan detail. Bahwa Victory sudah mengurus segalanya tentang Ruby, bahkan kepindahan sekolah gadis itu. Victory benar-benar tidak main-main dengan ucapannya 5 tahun lalu.

Ada hal yang membuat Keenan khawatir saat ini. Orang suruhannya sudah melihat kondisi keluarga gadis itu. Buruk. Sangat buruk. Ayahnya diketahui jatuh sakit setelah Ruby dibawa Victory dua hari lalu.

Namun, Keenan juga tak mampu melarang Victory. Kecuali jika adiknya itu benar-benar sudah melewati batas. Keenan tahu Victory masih sangat terpukul. Sebab, Keenan juga sama terlukanya atas kejadian lima tahun lalu. Dimana ia harus kehilangan sosok Azzura. Adik angkat yang ia sayangi seperti adik kandungnya sendiri.

"Jika nanti dewasa, apa boleh aku menikahi Azzura?" tanya Victory waktu itu.

"Boleh. Kalian kan tidak sedarah," Jawab Keenan. Meski ia sedikit terkejut dengan pertanyaan adiknya.

"Kau tidak menyukainya?" tanya Victory lagi.

"Aku sangat menyayangi Azzura, tapi sebagai adik."

Azzura tiba-tiba muncul di belakang mereka. "Kak Keenan, kak Victory, janji ya besok kita ke pantai!"

Itu adalah hari terakhir mereka bersama. Hati Keenan terenyuh saat menatap selembar foto mereka bertiga. Andai kau masih hidup, Azzura. Rumah besar itu tidak akan sesepi kuburan. Dan Victory tidak akan berubah.

Bunyi ketukan di pintu membuyarkan lamunan sang CEO. "Masuk!" ucapnya.

"Pak Keenan, rapat akan dibuka sebentar lagi tetapi presdir belum datang sampai saat ini," lapor pria yang merupakan asisten manager Keenan.

Keenan menarik nafas putus asa. Ini bukan saatnya untuk emosi dengan tingkah Victory yang seenaknya. "Tidak apa-apa. Kita mundurkan jadwal rapat hari ini," putusnya.

Seolah sudah terbiasa, asisten manager itu hanya menganggukan kepala tanda patuh. "Baik, pak."

Kemana lagi anak itu? Batin Keenan kesal sebelum mengambil ponselnya dan menghubungi seseorang.

***

Tatapan elang yang biasanya terlihat menakutkan itu saat ini telah lenyap entah kemana. Tergantikan dengan tatapan nanar yang seolah melukiskan betapa ia menderita luar biasa. Dia berlutut di depan sebuah nisan bertuliskan sebuah nama.

"Apa kabar?" tanyanya walau ia tahu mustahil mendapat jawaban. "Ini sudah lima tahun, Azzura. Tapi aku belum bisa menerima kepergianmu," lirih suara bariton itu. Kini bahunya yang selalu tegap dan gagah berubah rapuh.

Langit seolah tahu perasaan hatinya yang hancur, hujan turun detik itu juga. Tetesnya membasahi setiap inci tubuh Victory. Ia basah kuyup. Namun kakinya tidak beranjak sedikitpun.

Hingga tubuhnya mulai terasa dingin dan kaku, ia akhirnya bergeming. Victory tidak ingin mati dulu sebelum melihat keluarga itu merasakan apa yang ia rasakan.

Kali ini Victory pergi tanpa bodyguard. Ia rela meninggalkan kantor dan pekerjaannya hari ini demi mengunjungi makam adik angkatnya. Biarlah Keenan marah. Victory tidak peduli.

Di saat Victory ingin membalaskan dendam itu, ia justru harus dipertemukan dengan sosok yang mirip. Mata gadis itu seperti salinan dari mata mendiang Azzura.

Victory berjalan menuju mobilnya yang ia parkir tak jauh dari pemakaman. Tak terasa hari sudah sore. Ia memutuskan untuk pergi ke rumah untuk membersihkan dirinya.

Lima belas menit kemudian, Victory sampai di depan mansion bernuansa eropa klasik. Setelah memasukkan mobilnya ke dalam garasi, ia disambut dengan cemas oleh beberapa pelayan. Tetapi Victory mengabaikannya. Dengan wajah datar ia melewati mereka dan pergi menuju kamarnya.

Tiba-tiba Victory berhenti tepat di depan pintu kamar. Saat tangannya hendak menyentuh kenop pintu, ia terdiam seakan baru sadar, entah mengapa sekarang rasanya ingin cepat pulang ke rumah? Biasanya Victory selalu malas berada di rumah yang sepi ini.

Tak menunggu lama diputarnya kunci kenop pintu kamar itu. Ada perasaan aneh yang menyerang saat mendapati sosok itu masih di sana, di kamarnya. Semacam perasaan tenang, mungkin. Entahlah Victory tidak ingin tahu.

Mata gadis itu sedikit membesar saat menyaksikan Victory masuk ke kamar dalam keadaan basah kuyup. Tubuhnya terlihat menggigil. Namun saat melihat tatapan dingin sang dominan, juga langkahnya yang kian mendekat, Ruby memilih mundur beberapa langkah.

Grep

Gadis itu terkejut saat Victory menariknya ke dalam dekapan. Tak peduli jika baju gadis itu ikut basah karenanya. Bibirnya yang pucat berbisik di depan telinga Ruby. "Aku membenci ayahmu, aku sangat benci dia. Tolong ajarkan aku membencimu juga agar balas dendamku berjalan mudah."

~=~

My Cute VillainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang