"Ibu ..., kenapa Ayah pukul Jeje? Jeje 'kan udah dapet ranking dua .... Kenapa dipukul .... Sakit, Ibu ...."
Isakan kecil itu pecah menjadi tangisan kala netra berairnya mengabsen presensi sang ibunda. Tubuh kecilnya berlari mendekat. Sontak lingkarkan tangan pada leher wanita nomor satunya; mencari kehangatan yang biasa mampu berikannya ketenangan.
"Jeje ...." Tangan sang ibu mengusap pelan surai legam milik putra tunggalnya. Dengan hati-hati lepaskan tautan tangan sang putra pada lehernya, buat keduanya langsung bersitatap empat mata.
"Nangisnya udahan, ya? Jeje tahu, nggak? Ayah begitu karena sayang sama Jeje, lho."
Sepasang netra itu berkedip sekali.
"Jeje mau jadi orang sukses, 'kan?"
Kepalanya mengangguk tanpa tunjukkan keraguan.
"Nah, Ayah itu cuma mau Jeje berhasil jadi orang sukses .... Makanya Ayah begitu ...."
Ada jeda yang cukup panjang datang menginterupsi. Sebelum anak lelaki itu berikan responnya lagi, "Jadi, Ayah mukul Jeje itu karena Ayah sayang Jeje?"
Anggukan kini diberikan oleh si wanita. Tangannya kembali mengacak rambut sang anak. "Iya. Makanya, maafin Ayah, ya? Dan inget, ini semua karena Ayah sama Ibu sayang Jeje."
· ─────── ·· ─────── ·
"Stop sok peduli sama gue! Lo nggak tahu apa-apa soal keluarga gue!"
"Cinta itu nggak pernah menyakiti, Jendra. Kalau bikin kamu sakit, itu bukan cinta namanya."
"Bisa nggak, Kak, lo ajarin gue soal cinta selamanya?"
