──BE MY LIGHT : 05

223 35 2
                                    

“Masih idup lu—akh! Sakit, babi!”

Samudera mengelus pundaknya yang jadi korban gamparan Rajendra. Padahal niat Samudera itu bercanda, sebab lucu saja melihat bagaimana temannya itu ditanyai habis-habisan oleh Baskara dan Ian hanya karena ketahuan kenal dengan sahabat kedua kakak kelas mereka itu, tapi Rajendra malah keluarkan seluruh tenaganya. Ia tidak akan heran bila sampai rumah nanti akan timbul merah pada bahunya.

Sang pelaku membalas dengan julurkan lidahnya dan tentu saja, memancing emosi yang jadi korban. Untung ada Javin yang sigap menahan Samudera dari menghantam kepala Rajendra yang tentu saja mengundang tantrum darinya.

Rajendra hanya geleng-geleng kepala. Fokusnya beralih pada langit yang mulai lukiskan warna jingga; total abai pada dua sahabatnya yang masih betah adu suara. Tidak terganggu sama sekali. Sebab jujur, ia malah menikmati.

Hidup hanya untuk tingkatkan nilainya, buat Rajendra jarang miliki waktu bersama teman-temannya. Sebab itu, Rajendra selalu berusaha untuk hargai setiap waktu yang mereka miliki bersama, kendati tidaklah bisa dibilang lama.

Ting! 

Oh, shit.” Gumaman Rajendra seketika tarik atensi kedua makhluk yang masih adu mulut.

Javin, menyadari perubahan mood pada temannya itu, lantas lontarkan pertanyaan, “Kenapa, Jen?”

Menatap Javin, Rajendra kemudian berikan gelengan kepala; beritahu keduanya bahwa ia baik-baik saja—meski terlihat jelas bukan begitu kenyataannya. “Sorry, gue pulang duluan. Masih ada les ternyata,” ujarnya, lantas lanjut pergi begitu saja. Tak hiraukan teriakan Javin dan Samudera yang memanggil namanya.

“Duh, si Jendra itu. Semoga nggak kenapa-napa, deh.”

●●●

“Laper banget.” Rajendra berbicara, entah kepada siapa. Tangannya sibuk mengelus perutnya yang sedari tadi bersuara meminta tolong. Salahnya sendiri sih, tidak membeli makanan, setidaknya makanan ringan, setelah pulang dari kegiatan ekstrakurikulernya yang jelas menguras tenaga.

Rajendra mengetuk pintu sebelum masuki rumahnya. Baru saja ingin ucapkan salam, sebuah vas bunga tiba-tiba saja terbang ke arahnya.

Prang!

Vas bunga itu pecah mengenai lengan yang Rajendra jadikan sebagai pelindung kepalanya, timbulkan goresan-goresan kecil yang tanpa permisi mulai keluarkan darah.

“Dari mana saja kamu, Rajendra?!”

Mengeluarkan helaan napas langsung menjadi hal pertama yang Rajendra lakukan. Ia pulang dalam keadaan lapar, tentu saja makanan di meja adalah apa yang diharapkannya untuk menyambut kepulangannya. Bukan vas bunga yang kini timbulkan rasa sakit pada bagian lengannya. Perih banget, sialan.

“Dari tempat les.” Rajendra menjawab tanpa tatap kedua mata sang ayah. Takut? Jelas.

Ayahnya keluarkan decakan, sebelum berjalan mendekatinya dengan cepat. Cemas, Rajendra lantas memundurkan langkahnya sampai punggungnya hantam pintu sedikit keras. Erangan tertahan keluar darinya ketika tangan kasar sang ayah cengkeram rahangnya.

“Bu Riris bilang, kamu terlambat ke tempat les tiga puluh menit. Ke mana kamu? Saya sudah bilang berapa kali kalau nggak boleh ada kata terlambat, hah?!”

Setiap kata keluar dari mulut ayahnya dengan penuh penekanan. Rajendra tak akan menyangkal bila saat ini ia dikuasai ketakutan. Badannya bahkan mulai gemetar, tangannya juga bergerak; berusaha lepaskan cengkeraman ayahnya yang tentu jelas gagal. Perbedaan kekuatan mereka terlalu besar.

“Jawab, Rajendra Daren!” bentak yang lebih tua. Kesabarannya yang sedari awal memang sudah tipis seperti tisu dibagi dua, kian terkikis kala jawaban tak juga ia dapatkan.

“E-ekskul, Yah.” Rajendra langsung lontarkan jawaban. Terbata. “Tadi ekskul basketnya a-agak lamaan selesainya—ukh!” Cengkeraman pada rahangnya semakin kuat. Rajendra beranikan diri untuk buka matanya yang entah sejak kapan tertutup; menatap langsung rasa tak suka yang jelas terlukis di wajah sang ayah.

“Rajendra Daren. Saya sudah kasih kelonggaran ke kamu buat ikut ekskul yang kamu inginkan.” Pria berusia empat puluh satu tahun itu memulai. “Tapi dengan syarat, jangan sampai ekskul itu ganggu waktu kamu buat les dan belajar, ‘kan?”

Rajendra berikan anggukan kepala sebagai balasan.

“Terus kenapa hari ini kamu bisa terlambat les gara-gara ekskulmu itu, hah?!” Sang ayah kembali membentak. Ia masih setia pegang erat rahang anaknya. Tak peduli bila itu akan tinggalkan bekas. “Awalnya saya nggak khawatir, karena saya tau kamu nggak bakal ngecewain saya. Toh, kamu masih anak saya. Tapi ternyata, memang kamu itu nggak bisa dikasih kelonggaran sedikit pun.”

Cengkeramannya pria itu lepaskan tiba-tiba. Ia kemudian mengibaskan tangannya. Tatapannya masih terpaku pada anak semata wayangnya, yang tengah terbatuk kecil sembari memegang rahangnya sendiri. Ia lantas berbalik. “Mulai besok, keluar dari ekskul nggak bergunamu itu. Jangan khawatir, saya bakal daftarin kamu ekskul lain yang lebih ada manfaatnya.”

Mendengar itu, Rajendra jelas tak terima. Ia lantas dengan cepat menahan ayahnya untuk pergi ke lantai atas. “Ja-jangan, Yah! Jangan, please! Aku janji nggak bakal telat les atau ngurangin waktu belajar lagi, aku bisa lakuin apa yang Ayah mau. Tapi tolong, jangan suruh aku keluar dari ekskul basket, Ayah!” pintanya dengan sungguh-sungguh.

Rajendra betul-betul tak rela bila harus keluar dari timnya. Kendati masih disibukkan dengan jadwal belajarnya, Rajendra masihlah melakukan basket seperti itu adalah bagian dari hidupnya. Dipaksa berhenti hanya karena satu kesalahan yang tak disengaja, sama sekali tidak adil rasanya.

“Nggak.”

Satu kata, dan itu berhasil hancurkan harapan yang telah Rajendra bangun begitu saja. Ia tatap punggung ayahnya yang mulai menghilang dari ruang pandangannya, lantas terduduk diam, seolah gravitasi menghisap dan menahan tubuhnya untuk tetap berada di sana. Tak peduli dengan pecahan vas yang bisa mengenainya kapan saja. Hanya satu yang ada di pikiran Rajendra. Kenapa?

— BML : 05 —

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

— BML : 05 —

(A/N):
Harusnya aku nggak update dulu minggu ini, karena Rabu ada lomba. Tapi karena lombanya diundur jadi tanggal delapan, aku reflek ngebut ngetik chapter ini, wkwk. Maaf ya, kalau aku suka lama update-nya:'D Terima kasih sudah baca<3

dearestsseungie, 2024.

BE MY LIGHT; JAYSEUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang