──BE MY LIGHT : 01

308 39 0
                                    


“Hari ini bintangnya keliatan banget.”

Kalimat acak itu keluar dibarengi asap yang terhembus dari mulutnya. Sekali, dua kali hisapan pada batang rokok dalam pegang ia lakukan. Mengotori cerahnya malam.

“Temenmu bisa dapet 100, masa’ kamu enggak?”

“Kamu itu belajar nggak, sih?! Soal kaya’ gini aja nggak bisa.”

“Iya, nanti aku belajar lagi.”

Hasilnya tentu saja bisa ditebak; memar berbentuk telapak tangan tercetak jelas pada sisi kanan wajahnya. Kendati terbiasa menerimanya, menahan sakitnya tentu saja bukan hal yang mudah.

Maka, rokok menjadi pelariannya. Biarlah candu dari lintingan narkotika ini hilangkan segala laranya. Rajendra hanya ingin beristirahat dari berisiknya semesta barang sebentar saja.

“Nggak apa-apa, Jeje. Ayah begitu karena Ayah sayang Jeje.”

Rajendra tiru kalimat yang biasa sang ibu ucapkan setiap pertanyaan ‘mengapa’ ia keluarkan.

Terkadang Rajendra bertanya-tanya, benarkah itu bentuk dari kasih sayang orang tua? Dipikir bagaimanapun, Rajendra rasa hal itu tidak ada salahnya.

Ayahnya hanya ingin ia menjadi orang sukses di masa mendatang dan tentu Rajendra pun tidak menyangkal ia tak menginginkannya pula. Ayahnya hanya ingin yang terbaik untuknya, protes rasanya tidak etis untuk dilakukan.

"Hah ...."

Bosan mulai dirasa, batang rokok itu Rajendra jatuhkan lalu injak dengan ringan.

Sekarang jam dua belas malam. Suasana hanya diisi oleh lalu lalangnya kendaraan. Besok masih belum akhir pekan, jadi wajar bila lapangan basket tempatnya berada sekarang sama sekali tak dihuni orang. Mendukung betul kegiatan ‘menenangkan diri’ milik Rajendra.

Bola basket yang tersedia di sana Rajendra pantulkan—beberapa kali sebelum akhirnya ia lemparkan ke ring tujuan.

Yes.” Senyum tipis turut ia sunggingkan.

Kegiatan itu ia ulang beberapa kali sampai keringat sedikit bercucuran. Hingga pada aksi kelima, bola itu tiba-tiba saja lepas dari tangannya.

Direbut seseorang rupanya. Tetapi, siapa? Yang bisa ia lihat hanyalah sekelebat bayangan yang berlari sembari mendrible bola.

Kagum Rajendra rasakan manakala bola itu masuk ke ring dalam jarak yang tak bisa dibilang dekat. Orang ini jago ternyata, begitu isi pikiran Rajendra saat itu pula.

“Aku udah lihatin kamu daritadi, lho. Ternyata kamu jago juga!”

Atensi Rajendra reflek terpaku pada sang pemilik suara. Netranya mengabsen satu-satu detail pemuda yang tengah tersenyum cerah padanya; rambut merah dan piyama tipis lengkap dengan sweater berukuran dua kali dari si pemuda, kemudian kaki yang terbalut kaos kaki dan sandal selop berwarna hitam.

Oke, orang waras mana yang memilih pakaian seperti itu untuk keluar di pagi buta? Walau dadakan, Rajendra tahu untuk membawa jaket tebal ketika akan pergi keluar. 

“... makasih.” Rajendra hanya mampu menjawab pelan.

Bola itu kemudian memantul kembali ke arahnya. Netranya menatap pemuda di depannya dengan heran; bertanya apa maksud dari si lawan.

Cengiran menyilaukan membalasnya, “Ayo tanding sekali!” ucap si pemuda asing.

Bola lantas ia operkan pada Rajendra lalu berlari menjaga ring, tak beri kesempatan bagi Rajendra untuk berikan penolakan sama sekali. Yang satu hanya bisa keluarkan helaan napas dan mengikuti alur bermain.

Shooting sekali, gagal.

Shooting dua kali, gagal.

Shooting tiga kali—ah, bolanya sukses terlepas dari kendalinya.

Rajendra berdecak. Keluarkan segala usaha untuk menghalau si lawan melakukan tembakan. Kendati akhirnya kata gagal ia dapatkan kala bola memasuki ring dengan mulusnya.

Yeay!” Si lawan bersorak kegirangan.

Good game.” Rajendra berkata, “Gue nggak tau lo juga jago,” lanjutnya kemudian.

Satu tangannya beralih meraih rokok dalam sakunya, sementara yang satu memantik koreknya. Ternyata Rajendra masih belum puas larut dalam candu narkotika. Namun, aksinya terhenti ketika—

“Heh! Buang, nggak?!”

Suara itu terdengar bersamaan dengan tamparan yang mendarat di tangannya, buat batang rokoknya seketika berpindah tempat ke tanah. Niat Rajendra ‘tuk layangkan protes hilang begitu saja sebab ternyata si empu suara masih belum selesaikan kalimatnya.

“Kamu seumuran sama aku, ‘kan? Kok udah ngerokok, sih? Nggak sehat, tau!”

“Gue bukan anak SMP—”

“—aku udah SMA!”

Oh. Oke. Maaf.

“Kamu itu masih muda, jangan rusak badanmu pakai rokok, dong! Banyak orang yang pengen punya badan sehat tapi nggak bisa, lho!” Yang berambut merah kembali mengomel, tapi dengan pandangan yang tak lagi terpaku pada raut kebingungan Rajendra.

“Ben—”

“—nih! Mulai sekarang, ganti rokokmu pakai ini!”

Netra legam Rajendra mengamati lekat-lekat benda yang disodorkan padanya.

Lolipop dengan rasa stroberi.

“Kamu nggak suka rasa stroberi?”

Suara sang lawan sontak menyadarkannya. Gelengan kepala Rajendra berikan, “Nggak juga, tapi nggak apa-apa. Makasih,” ucapnya. Tangannya bergerak menerima lolipop tersebut.

“Lain kali aku bawain rasa yang kamu suka, deh.” Sang lawan membalas, “asal kamu nggak ngerokok lagi.”

Rajendra tak beri respon. Malah sibuk membuka bungkus lolipop tersebut untuk ia rasakan rasanya. Hm, memang bukan favoritnya, tapi tidak seburuk yang Rajendra bayangkan.

“Kita belum kenalan, ‘kan?”

Ah, iya juga. Sedari tadi mereka bertukar kata tanpa mengetahui nama. Menghabiskan waktu seolah sudah saling mengenal sejak lama. Pun baik Rajendra maupun dia sama sekali tidak mempermasalahkannya

“... Rajendra Daren.”

“Oh, Jendra!” Senyum kembali terlukis pada wajah manis yang berambut merah, “Kenalin, ya. Aku Hara.”

— BML : 01 —

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

— BML : 01 —


dearestsseungie, 2024.

BE MY LIGHT; JAYSEUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang