──BE MY LIGHT : 04

230 36 5
                                    

● ● ●

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

● ● ●

Rajendra mendaratkan pantatnya pada bangku di tepi lapangan. Tangannya lantas meraih botol minuman di sampingnya sembari berusaha menstabilkan napasnya yang terengah. Perhatiannya terpaku pada anggota tim basketnya yang sibuk berebut bola.

“Bang Bas kok tumben belum dateng,” celetuk Samudera, ikut mendudukkan diri di samping Rajendra. Telapak tangannya sibuk bergerak naik-turun; mengusir hawa panas yang sedari tadi menyerangnya.

“Nggak tau.” Javin yang baru bergabung pun turut bersuara. “Padahal kalau ada yang telat suka tantrum sendiri.”

“Baskara denger, disuruh muterin lapangan sepuluh kali kalian,” sahut Ian, anak kelas dua belas sekaligus wakil ketua tim basket sekolah mereka. Pemuda pemilik mata serupa rubah itu memilih untuk bergabung dalam percakapan para adik kelasnya kala mendengar nama sang sahabat disebut.

Samudera nyengir. “Makanya Bang Ian diem aja, oke?”

Ian hanya bisa geleng-geleng kepala. Memang tidak berniat untuk mengadu, kok. Dikira telinganya tidak sakit apa, mendengar Baskara tantrum?

Perhatiannya kemudian beralih pada jam yang melekat pada pergelangan tangannya. Kedua alisnya bertaut melihat pukul berapa yang tertera di sana.

Baskara sudah tiga puluh menit terlambat.

Tidak biasa, mengingat temannya yang satu itu sama sekali tidak suka membuang waktu ekstrakurikulernya. Ian dan Baskara sudah memasuki semester dua di kelas dua belas, sebab itu mereka harus segera memuaskan diri untuk bermain di tim sebelum ujian-ujian dan bimbel menyerang. Ditambah agenda ekskul hari ini adalah memilih ketua dan wakil selanjutnya. Sebagai ketua tim, Baskara harus memimpin, ‘kan?

Rajendra yang masih tak berniat untuk berdiri, mengecap-ecap mulutnya. Merasakan pahit di sana. Pengen nyebat. Ia lantas meraih ranselnya untuk mencari rokoknya. Dahinya sedikit mengernyit ketika didapatinya benda lain di sana.

Oh, belom gue makan ternyata. Pemuda enam belas tahun itu pandangi dua batang permen dalam diam, sementara kepalanya sudah berlari memikirkan yang memberi.

Menghela napas, Rajendra lantas pilih untuk tak lakukan rutinitasnya. Sekali-kali, katanya. Entah sudah sadar akan kesehatannya atau hanya merasa bersalah pada sang pemilik permen sebelumnya.

Wow, tumben ngemut permen.”

Rajendra mendelik pada Samudera. Tak berniat meladeni. Sibuk mengecap rasa manis yang menguasai mulutnya.

Javin yang mendengar kalimat Samudera pun beralih pada Rajendra. Netranya sedikit melebar melihat merk yang tertera pada bungkus permen milik temannya. “Anjir! Lo dapet permen ini  dari mana, Jen?”

BE MY LIGHT; JAYSEUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang