──BE MY LIGHT : 07

121 28 2
                                    

"Jendra ..., itu kenapa ...?" Hara, dengan takut-takut, bertanya. Selama perjalanan, yang ada di pikirannya hanya pikiran-pikiran buruk belaka. Pikiran buruk itu awalnya sirna kala ia melihat bahwa Rajendra berada di depan matanya–tapi hal itu tidaklah bisa bertahan selama yang ia pikirkan. Segala kemungkinan terburuk yang menguasainya sebelumnya, seketika kembali tanpa permisi kala netra rusanya menangkap warna merah di kedua lengan milik pemuda lain.

Rajendra melihat lengannya sekilas. Berpikir apakah harus berkata jujur atau tidak. "Oh, ini ... kena vas. Nggak sengaja nyenggol, mau gue tangkep malah pecah di tangan," jawabnya. Tak sepenuhnya bohong, tapi juga tak sepenuhnya jujur. Lagipula, Hara belum lama ini mengenalnya. Mengatakan hal yang sebenarnya hanya akan menambah kepanikan di mata bulat yang lebih tua, pula bisa undang prasangka buruk terhadap keluarganya. Padahal, Rajendra sudah terbiasa, pun kejadian semalam hanya karena sang ayah mengkhawatirkan dirinya. Tak lebih, tak kurang. Rajendra tahu ayahnya hanya ingin yang terbaik untuknya.

"Beneran ...?"

"Ngapain gue bohong?" Rajendra mempertegas. Namun, melihat ragu masih tertinggal di raut wajah manis yang lebih tua, rasanya usahanya tak membuahkan hasil. Maka dari itu, Rajendra dengan nekat mencubit area luka goresnya dengan kuat; ingin tunjukkan kepada yang lebih tua bahwa ia baik-baik saja pula lukanya bukanlah apa-apa.

Akan tetapi, yang terjadi malah sebaliknya. Darah kembali mengalir dari luka Rajendra akibat cubitannya, Hara–bahkan Rajendra sendiri, ikut panik dibuatnya. Rajendra yang tidak menyangka dan Hara yang merasa ia hanya diberitahu dusta. Dengan cepat, yang lebih tua keluarkan sapu tangannya dan tekan luka sang empu dengan lembut tapi kuat. Bibirnya bergetar; menggumamkan kalimat yang tidak bisa Rajendra dengan dengan jelas.

"Kak–"

"Diem dulu!" Hara tanpa sadar menaikkan nada bicaranya. Tangannya masih sibuk menekan luka Rajendra kemudian keluarkan alkohol dan kasa dari dalam tasnya. Meski dengan tangan yang entah kenapa bergetar, Hara merawat luka itu dengan hati-hati. Yang lebih muda hanya diam. Sesekali meringis akibat perih dan dapatkan maaf dari yang mengobati.

Selagi masih bertahan di posisi yang sama selama beberapa saat, Rajendra sempatkan diri untuk amati Hara lebih dalam. Kepala yang lebih tua itu menunduk, membuat surai kemerahannya menutupi wajahnya; menghalangi pandangannya untuk tatap netra selayak rusa milik Hara. Rajendra akui ia memang menyukai mata bulat itu dan tak jarang apabila bertemu, ia akan mencuri-curi pandang untuk sekadar menatap netra kesukaannya itu. Untung tidak ada yang sadar maupun tahu. Kalau ada, bisa-bisa Rajendra menanggung malu seumur hidup.

"Haduh, lain kali hati-hati, dong. Jadinya luka begini, 'kan? Sini Ibu tiup-tiup dulu."

Selama sepersekian sekon berikutnya, Rajendra kembali ke kegiatannya dalam mengamati yang lebih tua. Melihatnya dengan telaten merawat lukanya kembali bawa dirinya ke masa kecilnya.

Saat itu, Rajendra masih berusia tujuh tahun. Rajendra masihlah bocah lugu yang suka memakai sepatu baru. Masihlah seorang bocah yang suka bermain tanpa kenal waktu. Di lapangan basket yang sama, ia mengejar Javin yang sebelumnya memenangkan kertas-gunting-batu. Sampai tiba-tiba, tubuh kecilnya jatuh akibat tersandung batu yang seharusnya tidak berada di situ. Sebelum sempat mengaduh, ibunya sudah datang terlebih dahulu. Membantunya bangun dan mengobati lututnya yang mengeluarkan darah terus-menerus sembari tak berhenti keluarkan segala omelan lembut dari mulutnya.

Akan tetapi, itu dulu. Sekarang, Rajendra bahkan jarang melihat sang ibu. Rumah yang tadinya berikan sedikit kehangatan, kini dingin sampai mungkin bisa membuatnya membeku. Seisi rumahnya sibuk; Rajendra dengan sekolah dan bimbelnya juga ayah serta ibu yang memilih untuk memprioritaskan pekerjaan mereka. Maka dari itu, mendapat perlakuan yang diam-diam ia rindukan membuat Rajendra kembali rasakan hangat yang menyentuh.

"Makasih, Kak ...." Ia tanpa sadar berujar lirih.

Hara tentu saja kaget dengan ungkapannya yang tiba-tiba. Namun, keterkejutannya tidaklah bertahan lama sebab sedetik kemudian, ia membalas Rajendra dengan senyuman terbaiknya, "Sama-sama, Jendra."

...

....

"Idih, jadi kamu tuh nggak sekolah karena ada acara di sekolah lain?"

Anggukan yang Rajendra berikan, buat Hara reflek mengerang. "Udah panik aku ...." gumamnya pelan.

Yang lebih muda memiringkan kepalanya sedikit; bingung, tapi tak berniat untuk bertanya lebih lanjut. "Lu ..., kok tau gue ada di sini?" Rajendra pilih untuk bertanya hal lain; alasan di balik presensi Hara yang tiba-tiba hadir, yang tentu saja tidak pernah ia harapkan sebelum ini

"Insting," jawab Hara seadanya.

"Oke .... Naik ...?"

Jawaban kali ini membutuhkan waktu yang cukup lama untuk bisa didengar Rajendra. Ia berniat untuk tatap yang lebih tua, tapi Hara malah memilih untuk membelakanginya–entah kenapa.

"Naik apa, Kak?" Rajendra mengulangi pertanyaannya. Mulai sedikit tak sabar sebab tidak kunjung mendapat jawaban. "Kalau diajak ngobrol ngadep sini, dong."

Ucapan Rajendra, Hara hiraukan; ia tetap pilih untuk membelakanginya. Sembari memainkan jemarinya pelan, ia akhirnya lontarkan jawaban, "Lari ...."

"Hah?"

"Aku ... lari ... ke sini ...."

Rajendra terdiam selama sepersekian sekon. Bukan karena agar suara Hara bisa lebih terdengar di telinganya, melainkan ia tengah memproses jawaban yang baru saja pemuda bersurai merah itu lemparkan barusan. "HAHHHH?!" teriaknya, "Kak, lo udah GILA, ya?"

Jarak antara rumahnya dengan sekolah itu tidak bisa dibilang dekat. Rajendra sendiri bahkan tidak pernah berniat untuk pulang-pergi dengan berjalan. Samudera dan Javin saja juga mengerti untuk setidaknya naik angkutan kalau berniat pergi ke rumahnya, tapi manusia di depannya ini malah nekat berlari hanya karena mendengar bahwa dirinya tidak masuk sekolah.

"Ya–ya maaf ...."

Lantas, keduanya biarkan hening menemani. Hanya suara kendaraan yang berlalu-lalang yang samar mengisi. Hara masih berdiri membelakangi, sementara Rajendra hanya termenung sembari menatap sang pemilik rambut sewarna cherry. Hara takut untuk berbalik setelah dimarahi, tanpa tahu bahwa sebenarnya yang lebih muda tanpa sadar melukis senyum tipis.

Rajendra sebenarnya kesal, beneran, dia 'tuh aslinya kesel. Namun, ia tidak bisa menyangkal perasaan hangat yang menyebar kala tahu bahwa Hara nekat berlari ke rumahnya tanpa pikir panjang hanya untuk memastikan bahwa dirinya baik-baik saja. Di angkatannya, Rajendra itu hanya dekat dengan Samudera dan Javin yang notabenenya sudah ia kenal dari dari kecil. Jadi, dikhawatirkan sampai sebegininya oleh orang lain, benar-benar membuatnya merasakan perasaan yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Tidak, Rajendra tidak membencinya. Sebaliknya, ia sangat menyukainya dan berharap bahwa perasaan itu tetap akan ada untuk selamanya.

"Jendra ...."

Yang dipanggil seketika tersadar dari lamunannya. "Kenapa?"

"Boleh ... numpang rebahan bentar?"

 numpang rebahan bentar?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

— BML : 07

dearestsseungie, 2024.

BE MY LIGHT; JAYSEUNGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang