"Le, sudah landing?"
Pesan dari Bunda tiba bertepatan dengan Ale yang berjalan menuju pintu keluar terminal tiga bandara Soekarno-Hatta usai dua jam penerbangan dari Balikpapan, Kalimantan Timur. Lekas dibalas lelaki itu tanya dari ibunya. Tetapi bukan dengan pesan melainkan sebuah panggilan. Ia malas mengetik. Begitu mobil jemputan datang, ia segera mendaratkan duduk dan mendial kontak bunda.
"Ale udah di jalan keluar bandara, Bun."
"Alhamdulillah. Pulang ke rumah atau apartemen, Nak?"
"Apartemen aja kayak ya, Bun. Nanti Ale nginap di rumah kalau Bunda sama Ayah udah balik dari Bandung aja. Jadi baliknya lusa, Bun?"
"InsyaAllah jadi. Ya udah kamu istirahat dulu, apartemen kamu mestinya masih bersih, seminggu lalu baru Bunda tengok juga."
"Iya, Bun. Makasih ya. Salam buat Ayah."
Panggilan berakhir. Ale merebahkan diri usai memberitahu sopir keluarga untuk menuju apartemen miliknya di arah Jakarta Pusat. Lelaki itu memejamkan mata, mencuri waktu tidur tiga puluh menit ke depan untuk membayar istirahatnya yang minim selama di areal tambang. Perusahaan tempatnya bekerja sedang menaikkan produksi batubara untuk memenuhi kebutuhan energi nasional salah satunya untuk pembangkit listrik negara. Poor of him. Sebagai departemen yang berurusan dengan cadangan batubara ia mesti lebih ekstra menentukan areal mana yang kalorinya sesuai, cadangannya cukup besar, pit yang tidak terlalu curam dan dalam karena akan berpengaruh pada harga yang mesti dibayar pada kontraktor sebagai penambang. Sederhananya Ale merupakan Mine Planning Engineer dan hari ini adalah hari pertama cutinya.
"Allahumma ahya wabismika amut," doa Ale membuat sopirnya menatap heran.
"Kok baca doa tidur, Mas?"
"Iya, biar nggak mimpiin kerjaan, Pak. Takutnya badan saya masih berasa naik LV bukan mobil pribadi."
Sopir yang telah lama mendampingi keluarga Ale hanya tergelak. Kadung hafal dengan laku random tuan mudanya, tetapi tetap terkejut juga sebab seusia ini tingkahnya masih ada-ada saja. Pantas masih bujang di usia kepala tiga bisik sopir dalam hatinya sendiri. Padahal tidak ada yang kurang dari tuan mudanya. Tampan. Mapan. Beriman. Tetapi di apartemen tetap tinggal sendirian. Berdua kalau Bunda bertandang. Nasib bujangan hidup di perantauan.
***
Pukul empat tiga puluh pagi ketika Ale duduk termenung di sudut tempat tidur. Ia menjangkau kacamata di nakas, mengambil air putih dalam gelas yang tadi malam ia sediakan, meneguk dengan perlahan sembari mengumpulkan kesadaran, lalu menggeret sandal menuju kamar mandi untuk berwudhu. Nyaris tiada yang berbeda antara mess dan apartemennya kecuali ukuran yang sedikit lebih besar. Ia tetap bangun sendiri karena alarm, termenung di tepi kasur, dan menunaikan shalat Subuh. Kecuali saat cuti roster seperti saat ini, ia tidak perlu bersegera bersiap kerja saja.
Usai meyakinkan tidak ada agenda mendadak dari group WhatsApp, Ale kemudian berganti pakaian olahraga, mengenakan jam tangan, topi, dan sepatu lari yang tergeletak di sudut pintu. Ia memilih morning run di sekitar apartemen saja. Tiga puluh menit sampai satu jam sepertinya cukup sebelum matahari terlalu tinggi dan kulitnya serasa dibakar matahari Kalimantan lagi.
"Bang, bubur ayam satu jangan pakai cakwe dan seledri ya!" pesan Ale usai lari sejauh enam kilometer itu. Suara yang lesap oleh daru kendaraan dan tegukan Poccari di tenggorokannya sendiri.
Beruntung pagi ini tak terlampau ramai. Pesanan bubur itu tiba kurang dari sepuluh menit dan hanya perlu lima belas menit untuk Ale menandaskan sarapannya hingga tak bersisa. Ponsel lelaki itu berderit tepat sebelum ia beranjak dari gerobak bubur. Sebuah notifikasi dari kalender. Napasnya terhela panjang. Hari ulang tahun seseorang yang ingin sekali ia enyahkan dari ingatan tetapi rupanya lupa ia hapus dari settingan kalender miliknya. Ditutupnya notifikasi itu lalu berjalan menuju gedung swalayan di seberang jalan. Ia ingin memasak Coto Makassar untuk santap siang nanti. Ale rindu tanah kelahirannya, rindu masakan Bunda yang sering disajikan saat ia tak berselera makan bertahun silam karena kehilangan seseorang yang tadi notifikasi ulang tahunnya muncul tanpa rencana. Sama seperti Ale yang berniat masak tanpa rencana dan mengandalkan ingatan belaka untuk bahan Coto Makassarnya.
"Daun bawang, daun bawang, daun ...." Ale terus bergumam sembari menyusuri rak sayuran segar. "Nah ini dia."
Ia meletakkan seikat daun bawang berukuran sedang ke dalam keranjang belanja. Sengaja hanya keranjang belanja saja karena ia tidak akan membeli banyak bahan makanan. Asalkan jadwal kepulangan Bunda tidak bergeser, urusan makanan Ale selama cuti dua minggu ke depan akan tetap aman. Andaipun geser sehari atau dua, masih aman juga. Ia sudah menyiapkan rencana cadangan untuk makan seafood di Pecenongan, makan soto ceker di Jalan Sabang, atau makan iga bakar di Kebon Kacang.
"Aduuh, bulat-bulat cokelat muda yang biasa di teh India itu apa ya? Ya Tuhan malah lupa!" Ale menepuk kepalanya sendiri saat berdiri di deretan rak bumbu.
"Kapulaga."
Suara seseorang berhasil membuat Ale berbalik badan, ia terkesiap hingga memundurkan badan beberapa petak ubin. Matanya mengedip-ngedip cepat, berupaya mencerna ini nyata apa khayalan belaka.
"Kamu," suara Ale cekat.
"Aga kareba, Dhiafakhri Ramadhan?"
"Hah, eh, kareba madeceng," jawab Ale gelagapan berhadiah tawa renyah perempuan yang tanggal lahirnya membuat kalender digital di ponselnya memunculkan alarm tadi pagi.
"Long time no see."
Ale hanya mengangguk.
"Mau masak Coto Makassar ya?"
"Iya, lagi kangen."
"Still your fav one ya," kenang Sasha diamini Ale dengan anggukan samar.
"Kamu sendiri?"
"Oh, ini, beli kabocha buat MPASI," terang Sasha berhasil membuat pupil mata Ale melebar sempurna.
"Did you've a baby?"
Sasha tertawa. "Setua itu ya aku abis nggak ketemu kamu 3 tahun?"
Ale diam. Dia masih penasaran dan merasa kalimat itu sama sekali bukan jawaban dari pertanyaan yang barusan ia ajukan. Sasha berdeham.
"Itu buat Kairo, anaknya Kak Sissy yang baru mau MPASI besok. Aku ketitipan beli sekalian pulang dinas dari RS."
"Alhamdulillah," seru Ale sembari mengusap dadanya lega. Sasha kembali tertawa.
Mereka berbincang panjang kemudian perihal kisah-kisah yang terlewatkan. Perjalanan berhenti di depan meja kasir swalayan. Vanesha meletakkan lebih dulu barang belanjaan. Sembari kasir menghitung, Ale mendekat agak rapat. Pelan ia berbisik lembut. Lembut sekali hingga hanya mereka berdua yang mendengari.
"Selamat bertambah usia, Sha. Tuhan sayang kamu selalu. Aku juga."
Jakarta,
7 Juni 2024
23.44
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Call Memories
FanfictionDi sebuah pagi yang cerah di Jakarta, Ale, seorang pekerja tambang Batubara di Kalimantan, sedang menikmati cutinya di kota besar ini. Dia memutuskan untuk memasak Coto Makassar, makanan favoritnya, untuk mengisi hari-harinya yang santai. Saat berbe...