Malam di Bintaro

18 2 0
                                    

Bintaro malam itu, langitnya terlihat berawan meski tidak ada tanda-tanda akan hujan. Pada sebuah meja makan yang luas, keluarga besar Sasha berkumpul. Mereka duduk mengelilingi meja yang penuh dengan hidangan, menikmati kebersamaan yang sudah lama tak mereka rasakan secara lengkap.

Ale duduk di samping Sasha, terlihat lebih santai dibandingkan biasanya. Ini adalah makan malam pertamanya bersama keluarga Sasha setelah resmi dipromosikan dan mutasi ke Jakarta. Momen yang ditunggu-tunggu, terutama setelah sekian lama terpisah oleh jarak karena tugasnya di Kalimantan.

Mama Ida, yang duduk di ujung meja, dengan penuh perhatian mengamati anak-anak dan cucu-cucunya. Sementara itu, Kak Sissy sibuk membantu Kairo memisahkan tulang dari daging ikan kakap merah bakar, dan Jevin serta Rani saling menggoda sambil sesekali menertawakan kelucuan anak kembar mereka yang berebut makanan.

"Sha, gimana rasanya jadi nyonya besar beneran sekarang?" canda Kak Rifat, yang duduk di seberang Ale sambil menyuapkan nasi ke mulutnya. Matanya melirik ke arah Ale yang hanya tersenyum mendengar ledekan itu.

Sasha tertawa kecil, lalu menoleh ke Ale. "Ya, senang sih. Akhirnya nggak perlu lagi LDR-an," katanya dengan nada penuh syukur. "Tapi ya itu, sekarang malah makin sering diajak Mama Ida belanja buat stok bahan makanan. Katanya takut menantunya kelaparan."

Semua tertawa, terutama Mama Ida yang hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengar keluhan ringan putri bungsunya. "Ah, Sasha ini. Bukan sering diajak belanja, tapi dia yang aja nggak mau lepas dari Mamanya," sahut Mama Ida dengan lembut.

Ale akhirnya membuka suara, "Memang, jadi lebih nyaman di Jakarta. Nggak perlu lagi ngitung hari kapan bisa pulang. Tapi ya, tetap aja kadang ada juga perasaan kangen suasana Kalimantan. Ada hal-hal yang nggak bisa aku temuin di sini."

Kak Rifat mengangkat alis, tersenyum jahil. "Yaelah, Le. Itu sih omong kosong orang yang mau balik kandang tapi nggak bisa. Akui aja, kamu senang akhirnya bisa di Jakarta, deket sama Sasha, dan... Mama Ida." Nada suaranya jelas menggoda, tapi penuh kehangatan.

Sasha tertawa dan menimpali, "Lama-lama Kak Rifat sotoynya kayak cenayang ya, Yang? Dari tadi kamu disanggah mulu loh itu."

Semua di meja tertawa lagi, sementara Ale hanya tersenyum lebar. Bagaimanapun, ada benarnya juga ucapan Kak Rifat. Setelah bertahun-tahun bekerja jauh dari Jakarta, rasanya seperti kembali ke rumah yang sesungguhnya.

Setelah tawa mereda, Sasha tiba-tiba mengeluarkan sebuah amplop kecil dari tasnya. Semua perhatian langsung tertuju padanya. "Ngomong-ngomong soal kembali ke rumah, aku sama Ale punya kabar baik," katanya dengan senyum mengembang.

Ale menggenggam tangan Sasha, memberikan dukungan, sementara Sasha membuka amplop itu dan mengeluarkan selembar kertas kecil. Dengan senyuman bahagia, dia menyerahkan kertas itu kepada Mama Ida.

Mama Ida membaca kertas itu dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Ini... USG?" tanyanya perlahan.

Sasha mengangguk. "Iya, Ma. Dokter bilang usianya udah delapan minggu."

Sekejap suasana meja berubah. Semua orang tampak terkejut, lalu dengan cepat berganti menjadi sorak-sorai bahagia. Kak Sissy segera bangkit dari kursinya dan memeluk Sasha erat, diikuti oleh yang lainnya. Suasana menjadi sangat hangat, penuh dengan ucapan selamat dan rasa syukur.

"Alhamdulillah!" seru Mama Ida dengan suara bergetar, memeluk Sasha dan Ale bergantian. "Mama senang sekali, akhirnya akan ada cucu lagi."

Kak Rifat tidak mau ketinggalan dengan celutukan khasnya. "Wah, Ale, setelah berhasil balik ke Jakarta, sekarang langsung lanjut proyek besar ya? Congrats, Bro!"

Ale hanya bisa tertawa, menerima semua ucapan selamat dan ledekan itu dengan hati penuh haru. "Iya nih, Kak. Minta doanya ya, semoga semuanya lancar."

"Sasha," panggil Kak Sissy dengan airmata mengembang. "Kakak cuma mau ingetin, jaga makan ya. Jangan terlalu capek di rumah sakit. Ingat, kondisi kamu sekarang nggak bisa disepelekan, jadi tolong hati-hati banget kali ini ya, Sayang."

Suasana sedikit hening. Semua orang tahu betapa beratnya pengalaman Sasha dan Ale saat kehilangan anak pertama mereka karena lahir prematur. Meskipun sudah hampir dua tahun berlalu, luka itu masih membekas di hati mereka.

Sasha tersenyum tipis, mencoba untuk tetap kuat di hadapan keluarganya. "Aku ngerti, Kak. Aku akan lebih hati-hati kali ini. Ale juga selalu ingetin aku buat istirahat lebih banyak."

Rani, kakak ipar Sasha, yang sedari tadi memperhatikan percakapan itu dengan penuh perhatian, ikut angkat bicara. "Dek, kita semua percaya bayi ini lebih kuat. Kamu juga harus yakin. Kami semua di sini dukung kamu buat hamil yang sehat dan nyaman ya, Sha. Jangan khawatir."

Ale menggenggam tangan Sasha lebih erat, memberikan dukungan yang ia tahu sangat dibutuhkan oleh istrinya. "Kita semua akan menjaga Sasha, terutama aku. Kali ini, semuanya insyaAllah akan baik-baik aja."

Kata-kata Ale membawa kelegaan dan harapan bagi semua orang di meja itu. Rasa cemas yang sempat muncul seketika tergantikan oleh optimisme dan dukungan penuh cinta. Malam itu rumah Mama Ida terasa semakin hangat oleh tawa, canda, dan haru dari anak, menantu, dan cucu.

Ale benar-benar menikmati momen kebersamaan dengan keluarga istrinya yang hangat, saling berbagi kebahagiaan, harapan, dan perhatian yang tulus. Suasana yang pernah hilang saat ia dan Sasha harus berjauhan karena tugas Ale di Kalimantan.

---

Little Call Memories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang