Malam itu di apartemen mereka, Ale dan Sasha sibuk merapikan barang-barang peninggalan almarhum Irham, sementara suasana terasa agak sesak dengan barang-barang yang telah lama teronggok. Ale akan kembali ke Balikpapan besok pagi, dan mereka memanfaatkan malam terakhir ini untuk memasukkan ranjang bayi yang sudah dibongkar ke dalam kardus, serta merapikan kasur, bantal, dan sisa-sisa pakaian bayi yang masih tersimpan di lemari untuk disumbangkan kepada orang yang membutuhkan.
Ale duduk di lantai, mengatur bagian-bagian ranjang bayi dengan cermat. “Yang, kemarin aku baru terima kabar dari kantor akan ada asesmen bulan depan,” katanya memecah kehingan sambil mengamati kardus yang sudah hampir penuh. "Kalau aku lulus, aku bisa naik jabatan sebagai senior mine planning engineer dan pindah ke kantor pusat di Jakarta."
Sasha yang sedang melipat selimut kecil yang dulu digunakan Irham menghentikan gerakannya sejenak, menoleh dan tersenyum. Matanya yang lembut menatap suaminya, penuh pengertian.
"Such a great news, Yang," ujarnya, suaranya hangat dan mendukung. "Aku tahu kamu udah lama menunggu kesempatan ini."
Ale mengangguk pelan, tapi ekspresinya tetap serius. "Aku senang kalau bisa pindah ke Jakarta. Dekat sama kamu, dan nggak perlu bolak-balik Balikpapan-Jakarta lagi," katanya, lalu mengambil napas dalam-dalam. "Tapi aku juga takut sebenarnya kalau sampai mengecewakan kamu misal ternyata hasilnya nggak sesuai harapan."
Sasha berjalan mendekat, menyentuh lengan Ale dengan lembut. "Aku akan selalu mendukung apapun yang bisa membuatmu bahagia, Le. Aku kenal kamu, aku percaya kemampuan kamu. Lagipula, kita sudah melewati banyak hal sama-sama. Anggap asesmen ini langkah lain yang mesti kita hadapi lagi."
Ale tersenyum tipis, tetapi matanya masih berkabut. Ia menutup kardus yang sudah penuh dengan hati-hati, seakan menyegel kenangan di dalamnya. "Setahun terakhir kita dibantu psikolog buat belajar mengikhlaskan kepergian Irham, aku rasa, baru sekarang aku benar-benar bisa melepas ini semua," suaranya terdengar pelan, nyaris berbisik. "Melepas ranjang ini, melepas semua barang-barangnya. Bukan berarti kita melupakan Irham. Kita cuma lagi berusaha ... berusaha buat melanjutkan hidup."
Sasha mengangguk, menahan air matanya. Ia tahu betapa beratnya bagi Ale, karena ini juga berat untuk dirinya. "Irham akan selalu ada di hati kita, Yang. Aku yakin, dia tahu betapa kita mencintainya. Nggak akan ada yang mengubah itu," kata Sasha, suaranya bergetar, tapi ia mencoba tetap tegar.
Ale menghela napas panjang, lalu mengusap wajahnya dengan tangan, berusaha menenangkan diri.
"Bisa, aku pasti bisa," ucap Ale menyemangati dirinya sendiri.
“ Harus bisa dong, biar bisa dekat sama aku di sini tiap hari,” goda Sasha jenaka.
“Ya, tapi jangan senang dulu kamu. Kalau aku pindah ke Jakarta, kamu harus siap-siap dengerin aku ngomel setiap hari,” katanya dengan nada bercanda, mencoba mencairkan suasana.
Sasha tertawa kecil. “Kayaknya sih aku nggak akan keberatan dengan itu. Lagipula, aku malah bakal kangen kalau kamu nggak ada ngomel.”
Ale tersenyum lebar. “Hmm, mungkin kamu benar. Dan lagi, kamu juga pasti sibuk banget, kan? Aku tahu akhir-akhir ini banyak pasien di rumah sakit.”
Sasha mendesah sambil melipat bedong terakhir, matanya menunjukkan kelelahan. “Iya, akhir-akhir ini rumah sakit penuh pasien diare. Kasian, banyak anak-anak yang kena. Cuaca nggak menentu dan kebersihan yang kurang jadi penyebabnya.”
“Diare? Kok bisa, ya?” Ale bertanya dengan nada prihatin, sambil menutup kardus kedua yang hampir penuh.
“Ya, musim seperti ini memang sering begitu. Aku sampai harus jaga tambahan beberapa kali. Rasanya capek banget.” Sasha menjelaskan.
Ale mendekat, menatap Sasha dengan penuh pengertian. “Kamu harus jaga kesehatan juga, Sha. Jangan terlalu capek. Apalagi kalau aku pindah ke Jakarta, kamu nggak bisa pakai alasan sibuk untuk menghindar dari aku.”
Sasha tersenyum tipis, matanya lembut. “Aku tahu, Sayang. Aku cuma berusaha melakukan yang terbaik buat pasien-pasienku. Kadang memang butuh tenaga ekstra.”
Ale menyentuh pundak Sasha dengan lembut. “Aku paham, dan aku bangga sama kamu. Tapi jangan lupa jaga diri sendiri, ya?”
Sasha tersenyum lebih lebar kali ini. “Iya, iya, aku tahu. Lagipula, aku punya suami yang selalu ingetin, kan?”
Ale tertawa kecil, merasa lega bisa membuat Sasha sedikit lebih rileks. “Betul. Suami yang siap bawain kamu makanan enak kalau kamu kecapekan.”
Mereka melanjutkan pekerjaan mereka dengan suasana yang lebih ringan. Ale memasukkan barang-barang terakhir ke dalam kardus, sementara Sasha menutup lemari. Saat ranjang bayi terakhir dimasukkan, Ale mencoba untuk mengalihkan perhatian Sasha dari perasaan sedih dengan sedikit humor.
“Kamu tahu, Sha, kalau aku dapat promosi dan mutasi, kita bisa mulai merencanakan hal-hal yang lebih besar. Mungkin nanti ada anggota keluarga baru yang bisa kita sambut,” kata Ale dengan senyum nakal.
Sasha menatapnya dengan mata penuh harapan. “Mungkin. Tapi yang pasti, kita harus terus saling mendukung, apa pun yang terjadi.”
Ale mengangguk. “Ya, kita sudah kuat selama ini. Dan kita akan terus kuat.”
Malam itu, meskipun terasa berat, mereka merasa lebih dekat satu sama lain. Ale dan Sasha tahu bahwa keesokan harinya Ale akan terbang kembali ke Balikpapan, tetapi mereka merasa lebih siap menghadapi hari-hari yang akan datang karena mereka selalu punya satu sama lain sebagai tempat untuk kembali.
---
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Call Memories
FanfictionDi sebuah pagi yang cerah di Jakarta, Ale, seorang pekerja tambang Batubara di Kalimantan, sedang menikmati cutinya di kota besar ini. Dia memutuskan untuk memasak Coto Makassar, makanan favoritnya, untuk mengisi hari-harinya yang santai. Saat berbe...