Cerita dari Semangkuk Konro

24 2 0
                                    

Pagi Idul Adha di rumah orangtua Ale terasa begitu hangat dan damai. Matahari bersinar lembut di atas halaman belakang yang luas, di mana pohon rambutan yang rindang memberi kesejukan alami. Angin sepoi-sepoi membawa aroma khas dari tanah basah dan dedaunan, menciptakan suasana yang sangat asri.

Di bawah pohon itu, Ale dan Mas Adi sibuk memanggang sate. Tawa kecil sesekali terdengar di antara mereka, seiring dengan percakapan ringan tentang keluarga dan rencana-rencana masa depan. Aroma daging yang sedang dipanggang perlahan memenuhi udara, menggoda siapa saja yang menciumnya.

Sementara itu, di teras belakang, Bunda Ale, Teh Ody, dan Sasha duduk santai menikmati hidangan yang telah disiapkan sejak pagi. Sop konro, salah satu makanan khas Makassar, menjadi sajian utama. Sasha, yang sedang hamil empat bulan, menikmati setiap sendok kuah kental dan kaya rasa itu dengan penuh kepuasan. Kuahnya benar-benar nikmat, dan dagingnya empuk, terasa sempurna di lidah.

"Sop konro Bunda ini memang luar biasa, ya, Bun," puji Sasha sambil menyendok sedikit daging lagi. "Rasanya pas banget, bumbunya meresap sampai ke dalam."

Bunda Ale tersenyum, bahagia mendengar pujian dari menantunya. "Syukurlah kalau kamu suka, Nak. Resep ini sudah turun-temurun di keluarga Bunda. Nanti kamu harus belajar juga, biar bisa masak sendiri di apartemen."

Sasha mengangguk, merasa terikat dengan tradisi keluarga Ale yang penuh kehangatan dan kasih sayang. Ia meletakkan sendoknya sejenak, mengusap perutnya yang mulai membesar, merasakan cinta yang dalam untuk bayi yang dikandungnya.

Belum sempat Sasha melanjutkan makannya, Ayah Ale datang dengan mangkuk besar berisi es pisang ijo. Senyumnya lebar, penuh semangat untuk menawari menantunya sajian segar itu.

"Sasha, ayo, cobain es pisang ijo ini," katanya antusias. "Tadi Ayah bikin khusus buat hari ini. Pasti segar banget setelah makan sop konro."

Sasha, yang masih menikmati sisa rasa sop konro di lidahnya, tertawa kecil. "Wah, Ayah, sop konroku saja belum habis. Kalau langsung tambah es pisang ijo, nanti aku kekenyangan."

Ayah Ale tertawa, menepuk-nepuk pundak Sasha dengan penuh kasih. "Nggak apa-apa, Nak. Kamu harus banyak makan. Mumpung Bunda masak macam-macam, sayang kalau nggak dicoba semuanya."

Bunda Ale, yang duduk di samping Sasha, ikut tersenyum bangga. "Betul tuh, Sha. Makanan ini semua spesial buat kamu. Kamu lagi hamil, jadi harus lebih banyak makan yang bergizi."

Teh Ody menambahkan dengan nada menggoda, "Apalagi masakan Bunda ini, nggak ada duanya! Nanti kalau kamu nggak habis, bisa aku bantuin, kok."

Suasana terasa begitu hangat dan penuh keakraban. Sasha merasa sangat diperhatikan oleh keluarga Ale. Rasa kenyang yang mulai terasa tidak mengurangi kenyamanannya berada di antara keluarga yang begitu menyayanginya. Meski perutnya mulai penuh, ia tak ingin melewatkan es pisang ijo buatan ayah mertuanya yang terkenal enak.

"Baiklah, Ayah," kata Sasha akhirnya, "Aku cobain es pisang ijonya nanti, setelah sate. Kalau nggak, takut kekenyangan duluan."

Ayah Ale tersenyum puas, lalu meletakkan mangkuk es pisang ijo di meja. "Nah, itu baru mantu Ayah. Kalau butuh tambah, bilang saja ya."

Saat suasana di teras belakang itu begitu hangat dan akrab, tiba-tiba Sasha merasakan sesuatu yang berbeda di perutnya. Sesuatu yang lembut namun sangat nyata. Seperti ada sapaan kecil dari dalam, sebuah gerakan yang membuatnya terdiam sejenak.

"Bunda, Ayah, Teh Ody... aku ngerasa ada yang nendang di perutku," kata Sasha dengan suara sedikit gemetar, matanya melebar penuh keterkejutan.

Bunda Ale yang sedang menyesap kuah sopnya langsung berhenti dan menatap Sasha dengan antusias. "Benarkah, Nak? MasyaAllah, cucu Bunda sudah mulai aktif, nih!"

Teh Ody menatap perut Sasha dengan senyum lebar. "Wah, si kecil ini udah mulai ikut acara makan-makan rupanya. Mungkin dia suka masakan Makassar juga."

Sasha tersenyum bahagia, mengelus perutnya dengan penuh sayang. Ini adalah momen yang sangat dinantikannya, apalagi setelah kehamilan sebelumnya berakhir dengan begitu menyedihkan dua tahun lalu. Kali ini, rasa tenang dan harapan lebih besar dirasakannya.

Di bawah pohon rambutan, Ale dan Mas Adi sedang sibuk mengurus sate yang sudah matang sempurna. Aroma daging panggang semakin kuat dan menggoda. Setelah memastikan semuanya siap, Ale membawa satu piring besar berisi sate yang masih berasap ke teras.

Saat Ale tiba di teras, ia langsung melihat senyum lebar di wajah Sasha. "Satenya sudah matang, nih. Siapa mau duluan?" tanyanya sambil meletakkan piring di meja.

Sasha menatap Ale dengan mata yang berbinar-binar. "Le, tadi aku ngerasain tendangan pertama anak kita."

Ale terdiam sejenak, matanya langsung beralih ke perut Sasha. Rasa haru memenuhi hatinya, dan tanpa sadar senyum lembut muncul di wajahnya. Matanya berkaca-kaca, merasakan betapa berartinya momen ini baginya. Ini adalah momen yang dulu terlewat ketika bayi pertama mereka tidak sempat bertahan.

"Alhamdulillah..." bisik Ale dengan suara parau, matanya tak lepas dari perut Sasha yang mulai membesar. Ia berlutut di samping Sasha, menyentuh perutnya dengan penuh kasih. "Akhirnya, aku bisa merasakan momen ini... Terima kasih, ya, Nak, udah kasih Ayah tanda."

Bunda Ale dan Teh Ody tersenyum penuh haru melihat keintiman itu. Mereka tahu betapa besar arti momen ini bagi Ale dan Sasha, sebuah harapan baru yang perlahan mulai tumbuh.

Sasha hanya bisa tersenyum, menahan air matanya yang mulai menggenang. "Iya, Yang, kita akan terus sama-sama buat ngerasain momen-momen pertama dia ya."

Di teras belakang rumah itu, suasana terasa semakin hangat dan harmonis. Aroma sate yang menggoda, canda tawa keluarga, dan harapan baru yang sedang tumbuh di antara Ale dan Sasha, semuanya berpadu menjadi momen kebahagiaan yang sempurna.

Idul Adha kali ini bukan hanya menjadi momen untuk merayakan, tetapi juga untuk mensyukuri kebersamaan dan cinta yang terus menguat dalam keluarga mereka.

---

Little Call Memories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang