Bunga Penutup Abad

90 6 1
                                    

"Anak bujang mau ke mana?" tegur Bunda dari ruang keluarga.

"Pacaran, Bun!" jawab Ale lantang berhadiah tatap heran kedua orangtuanya.

"Eh, udah punya pacar baru sekarang?" Ayah menimpali penasaran. "Kok nggak dikenalin ke kita?"

"Ayah sama Bunda udah kenal lama kok. Cuma udah lama nggak ketemu juga." Ale mengedip nakal.

"Siapa?" Orangnya bertanya serempak. Mirip paduan suara KORPRI saat upacara bendera Senin pagi.

Tanpa menggubris, Ale hanya menarik tangan ayah dan bunda lalu menyalaminya. "Doain, kali ini jodoh beneran," bisiknya pada Bunda.

Lelaki awal tiga puluh tahunan itu segera menuju garasi, mengeluarkan mobil sedan kesayangannya yang telah lama isolasi mandiri. Sedan tua. Tapi disayang luar biasa. Dirawat serupa asset perusahaan yang jika lecet sedikit bisa terbit SP. Begitulah Ale. Faktor kelamaan membujang juga barangkali.

Bibirnya bersenandung riang. Khas sekali anak muda yang sedang kasmaran. Beberapa kali bersiul dan berdendang mengikuti alunan lagu dari pemutar musik di mobilnya. Bukan hari kerja. Macet tak seberapa. Senja juga belum berganti malam sepenuhnya. Lebih penting dari seluruhnya, hati Ale sedang riang gembira hendak bertemu dengan kekasihnya.

Mobil berhenti dekat kawasan Gambir, Jakarta Pusat. Tepatnya di sebuah rumah sakit milik pemerintah kota. Lelaki itu membuka ponselnya, mengirim pesan singkat kepada seseorang, memberitahu bahwa ia sudah tiba dan parkir di basement.

"Pesona perempuan cerdas dan matang memang nggak berdusta ya," celutuk Ale begitu Sasha mendaratkan duduk di kursi samping kemudi.

"Kamu ngeledek aku apa gimana? Masih pakai scrub gini juga, rambut acak-acakan dicepol doang. Sebelah mana cantiknya coba?"

"Sebelah aku lah. Kalau aku bilang kamu ganteng malah lebih ngaco dong?"

Sasha hanya geleng-geleng kepala. Ale dan kelakuannya. Tidak berubah hanya terjeda masa saja rupanya.

"Aku laper. Tadi pasien banyak banget sebelum aplusan sampai nggak sempet nyuap makan," keluh Sasha manja.

"Seafood Pecenongan atau Nasi Goreng Kambing Kebon Sirih?" tawar Ale memberi pilihan. Tipikal perempuan kalau ditanya belaka alamat jawabnya terserah saja.

"Seafood Pecenongan. Aku lagi kangen kerang rebusnya. Gede-gede. Pakai sambal nanas. Enak bangeeet."

Ale tertawa melihat Vanesha sedang mengkhayalkan makanan. Benar-benar menggambarkan seseorang yang punya kecerdasan visual. Kalau suatu hari kalian berkesempatan melihat catatan kuliah Vanesha semasa pendidikan dokter maka yang menarik adalah gambar-gambar sel, organ, dan aneka bagian tubuh lainnya yang ia buat detail sekali. Ale pernah mencelutuk sekali bahwa bakat Vanesha juga mungkin di desain grafis atau arsitektur. Vanesha bilang itu pernah menjadi cita-cita masa kecilnya, tetapi urung terlaksana karena setelah Papa tiada akibat penyakit jantung, Vanesha lebih tertarik dengan IPA.

***

Pecenongan pukul setengah tujuh malam. Hilir mudik kendaraan memang tak seberapa ramai tetapi bukan berarti juga jalanan lengang. Sesekali terdengar teriakan panjang para tukang parkir yang mengarahkan kendaraan. Ale dan Sasha duduk di salah satu seafood tenda seberang hotel. Mereka memesan sepiring kepiting segar, dua porsi kerang dara, dan tiga nasi putih untuk berdua. Kelaparan. Sekaligus sengaja agar ngobrolnya lebih lama. Maklum. Pasangan LDR beda pulau padahal baru balikan.

"Jadi kamu di Kalimantan Timur itu ngapain?" Sasha membuka percakapan sembari menanti pesanan mereka datang. Jangan harap setengah jam. Lebih pasti. Pengamen bahkan sudah tiga kali berganti.

"Nyari ikan pesut Mahakam," jawab Ale usil. Sasha mencebik, Ale tergelak. Senang betul ia mencandai Sasha. "Nyari batubara, Sayang, biar PLN bisa supply listrik ke rumah sakit kamu kerja salah satunya."

Little Call Memories Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang