Sasha menggeliat di ranjang instalasi gawat darurat rumah sakit, tubuhnya berguncang hebat karena rasa sakit yang luar biasa. Setiap kontraksi terasa seperti pisau yang menyayat perutnya, memaksa dirinya untuk mengejan dengan sekuat tenaga. Keringat bercucuran di wajahnya yang pucat, sementara tangannya mencengkeram erat seprai ranjang.
"Aaaaahhh! Sakit sekali! Tolong...!" Sasha meraung, tubuhnya menegang setiap kali gelombang kontraksi datang. Airmata mengalir deras di wajahnya yang merah padam, suaranya serak karena terus berteriak.
Di sampingnya, Bunda Ale menggenggam tangan Sasha dengan erat, berusaha memberikan kekuatan dan ketenangan. "Sasha, sayang, tarik napas dalam-dalam. Bunda di sini, bersama kamu," bisiknya, mencoba menahan air mata sambil membacakan doa di telinga Sasha.
Sasha terisak, suaranya gemetar. "Bunda... aku nggak kuat... sakit sekali... tolong aku..."
Bunda mengelus punggung tangan Sasha dengan lembut, hatinya ikut tersayat melihat penderitaan menantunya. "Kamu pasti bisa, Sayang. Bunda di sini. Allah bersama kita."
Bidan datang untuk memeriksa pembukaan rahim Sasha. "Bu Vanesha, saya akan melakukan pemeriksaan dalam untuk melihat sudah bukaan berapa ya. Tarik napas dalam dan coba rileks."
Sasha menggigit bibirnya, berusaha menahan rasa sakit saat bidan mulai memasukkan jarinya. "Aaaahhh! Sakit! Tolong cepat..."
Bidan terus memasukkan jari lebih dalam, mencoba mengukur pembukaan rahim. "Masih bukaan dua. Kita harus bersabar, Bu Vanesha. Coba rileks dan tarik napas dalam lagi."
Sasha menangis lebih keras, tubuhnya bergetar. "Bunda, aku nggak kuat."
Bidan melanjutkan pemeriksaan, menambah jumlah jari yang dimasukkan. Sasha meraung kesakitan setiap kali bidan menyentuh area sensitifnya. "Aaaaahhh! Sakit sekali! Tolong hentikan."
Bidan menghela napas, mengusap tangan Sasha. "Kita akan lakukan yang terbaik untuk membantu Ibu Vanesha. Harap bersabar ya, Bu."
Dokter spesialis kandungan masuk dengan ekspresi tegang. "Detak jantung bayinya tidak stabil. Kita harus segera melakukan induksi agar pembukaan rahimnya cepat meningkat. Ini penting untuk keselamatan ibu dan bayi."
Sasha mengangguk lemah, tubuhnya bergetar karena rasa sakit yang terus menerus datang. "Lakukan, Dok, lakukan apa saja yang perlu. Tolong selamatkan anak saya."
***
Di Bandara Sultan Aji Muhammad Sulaiman, Ale berdiri di depan konter maskapai dengan wajah penuh kepanikan. "Tolong, saya butuh tiket ke Jakarta secepatnya, istri saya sedang melahirkan!"
Petugas konter berusaha tetap tenang meski tertekan oleh urgensi situasi. "Baik, Pak. Saya akan cek penerbangan terdekat untuk Bapak. Mohon tenang dulu ya, Pak."
Ale hampir tak bisa mengendalikan diri, gemetar karena cemas. "Cepat, tolong! Saya harus segera ke sana!"
Setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, petugas akhirnya menemukan penerbangan yang cocok. "Ada penerbangan yang akan berangkat satu jam lagi, Pak. Ini tiketnya."
"Terima kasih, terima kasih banyak!" Ale segera berlari menuju pintu keberangkatan, berharap bisa sampai tepat waktu untuk mendampingi Sasha.
***
Tiga setengah jam kemudian, Ale berlari masuk ke ruang persalinan, napasnya tersengal-sengal. Dia langsung menuju ke samping Sasha yang tengah mengejan dengan wajah penuh rasa sakit.
"Sayang, aku di sini. Kamu kuat, Sayang. Kamu pasti bisa," katanya sambil menggenggam tangan Sasha erat, matanya memancarkan ketakutan dan harapan.
Sasha hampir menyerah, tubuhnya gemetar dan keringat mengalir deras. "Ale, aku udah nggak kuat lagi, sakit banget."
Dokter mengamati perkembangan Sasha dengan cermat. "Mari kita coba lagi ya, kita usahakan sebisanya. Kalau masih belum berhasil, kita mungkin perlu menggambil tindakan vakum."
Ale menatap Sasha dengan mata yang penuh airmata dan keberanian. Dia mulai membacakan doa dengan suara tenang namun penuh kekuatan.
"Haanah waladat maryam, wa maryam waladat 'iisaa, ukhruj ayyuhal mauluudu bi qudratil malikil ma'buud. Hanah melahirkan Maryam, Maryam melahirkan Isa. Wahai anak yang akan dilahirkan, lahirlah dengan kekuasaan Tuhan Yang Maha Menguasai, Yang Disembah."
Sasha mengumpulkan kekuatan terakhirnya, teriakan penuh kesakitan keluar dari mulutnya. "Allaaaaahhhh..."
Kepala bayi mulai keluar, tapi rasa sakit yang tak tertahankan membuat Sasha berhenti mengejan. Kepala bayi itu kembali masuk.
Bidan datang untuk membantu, mendorong perut Sasha agar bayinya bisa segera keluar. "Bu Vanesha, kita harus lakukan ini bersama. Tarik napas dalam dan dorong dengan sekuat tenaga!"
Sasha berteriak dan meraung kesakitan setiap kali perutnya didorong. "Aaaaahhh! Sakit. Aku nggak bisa...."
Ale menggenggam tangan Sasha lebih erat, air mata membasahi wajahnya. "Kamu bisa, Sayang. Aku di sini. Kita perjuangkan ini sama-sama."
Sasha berusaha mengumpulkan sisa-sisa kekuatannya, mengejan sekuat tenaga meski rasa sakit semakin mendera. "Aaaaahhh...!"
Namun, setiap kali kepala bayinya hampir keluar, Sasha terlalu lelah untuk melanjutkan dan kepala bayi itu masuk kembali. Suasana di ruangan itu semakin tegang, semua orang menahan napas dalam kecemasan.
Dokter akhirnya memutuskan, "Kita akan menggunakan vakum. Kita tidak bisa menunggu lebih lama lagi."
Ale mencium kening Sasha dengan lembut, hatinya dipenuhi doa dan harapan untuk anak mereka. "Aku selalu di sini untuk kamu dan anak kita. Kita pasti bisa melalui ini."
Dengan usaha terakhir dan bantuan vakum, akhirnya bayi mereka lahir, namun suasana tegang karena bayinya tidak menangis. Semua orang di ruangan itu menahan napas, ketegangan meliputi suasana. Dokter spesialis anak dengan cepat mengambil bayi Ale dan Sasha, wajahnya serius. "Bayinya harus segera masuk NICU. Dia lahir prematur dan membutuhkan perawatan intensif."
Ale menatap Sasha dengan retina basah oleh airmata sekaligus tatapan penuh kelegaan. "Kita berhasil, Sayang. Anak kita lahir."
Sasha mengangguk lemah, matanya penuh kelelahan namun juga kelegaan. "Terima kasih, Ale. Terima kasih sudah ada di sini."
Bayi mereka segera dibawa ke NICU, meninggalkan Sasha dan Ale dengan harapan dan doa agar sang bayi bisa melewati masa kritisnya dan tumbuh sehat.
---
Jakarta, 7 Agustus 2024
10.41 WIB
KAMU SEDANG MEMBACA
Little Call Memories
FanficDi sebuah pagi yang cerah di Jakarta, Ale, seorang pekerja tambang Batubara di Kalimantan, sedang menikmati cutinya di kota besar ini. Dia memutuskan untuk memasak Coto Makassar, makanan favoritnya, untuk mengisi hari-harinya yang santai. Saat berbe...