Pagi itu, Sasha terbangun dengan perasaan mual yang begitu hebat, seperti gelombang yang tiba-tiba menghantamnya tanpa peringatan. Ia segera bangkit dari tempat tidur dan berlari menuju kamar mandi. Rasa mual itu begitu kuat hingga membuatnya hampir tidak sempat menutup pintu sebelum muntah-muntah di wastafel.
Ale, yang masih setengah terjaga, mendengar suara dari kamar mandi dan langsung bangun. Ia berjalan ke pintu kamar mandi dan mengetuknya pelan. "Sha, Sayang, kamu baik-baik saja?"
Sasha mengangkat kepalanya dari wastafel, menatap cermin dengan wajah yang pucat. Ia merasa tubuhnya lemas, dan rasa mual masih mengguncang perutnya. "Hmmm ... cuma mual aja, Yang, mungkin masuk angin," jawabnya pelan, mencoba menyembunyikan kekhawatirannya.
Ale menghela napas panjang, tapi ia tahu lebih baik untuk tidak memaksa Sasha bicara lebih banyak. "Kalau kamu butuh sesuatu, panggil aku ya."
Sasha hanya mengangguk, meski Ale tak bisa melihatnya dari balik pintu. Setelah beberapa saat, rasa mual itu mulai mereda, dan Sasha mengambil napas dalam-dalam. Ia menatap cermin dengan sorot mata yang bingung. Perasaannya mengatakan sesuatu, sesuatu yang sudah lama tidak ia rasakan, namun ia terlalu takut untuk memikirkan lebih jauh.
Setelah mencuci wajahnya dan berkumur, Sasha memutuskan untuk mengambil alat tes kehamilan yang sudah lama ia simpan dalam lemari di balik cermin kamar mandi, tanpa sepengetahuan Ale. Tangannya gemetar saat membuka bungkusnya dan melakukan tes dengan penuh kekhawatiran. Detik-detik yang ia lalui terasa seperti jam, jantungnya berdetak kencang hingga rasanya bisa terdengar di telinganya sendiri.
Saat ia melihat dua garis merah mulai muncul di alat tes itu, tubuhnya membeku. Sasha hanya bisa berdiri di depan cermin, memandangi alat kecil di tangannya yang mengubah segalanya. Rasanya seperti mimpi buruk yang berubah menjadi kenyataan—kehamilan yang begitu ia inginkan, namun begitu ia takutkan. Air mata mulai mengalir tanpa bisa ia tahan, bukan hanya karena kebahagiaan, tetapi juga karena ketakutan yang merayap di hatinya.
Di luar, Ale duduk di kursi kecil yang terletak di depan kamar mandi, merasa cemas. Sudah beberapa hari ini ia melihat Sasha sering merasa tidak enak badan, dan meskipun ia tahu tidak seharusnya berpikir macam-macam, kenangan lama tentang kehilangan anak mereka yang pertama terus menghantuinya. Ia menggigit bibir bawahnya, menunggu Sasha keluar, namun rasanya menunggu selama itu justru membuatnya semakin tegang.
"Sha, kamu butuh bantuan?" tanya Ale lagi, kali ini suaranya lebih pelan, namun penuh dengan kegelisahan.
Dari balik pintu, terdengar suara Sasha yang pecah. "Le ..."
Ale langsung berdiri, detak jantungnya semakin cepat. "Ya, Sayang? Are you okay?"
Pintu kamar mandi terbuka pelan, memperlihatkan Sasha dengan wajah basah oleh air mata. Sasha mengangkat alat tes kehamilan itu, menunjukkannya kepada Ale tanpa bicara. Ale memandang alat itu, lalu menatap mata Sasha yang dipenuhi ketakutan, kebingungan, dan harapan.
"Aku... aku hamil lagi, Le," bisik Sasha dengan suara gemetar.
Ale terdiam, seakan waktu berhenti di sekelilingnya. Dadanya terasa sesak, campuran antara rasa takut dan harapan menghantamnya dengan kekuatan yang luar biasa. "Sha..." suaranya serak, tertahan di tenggorokan. Ia maju satu langkah, lalu menarik Sasha ke dalam pelukannya, memeluknya dengan erat seolah tidak ingin melepaskannya.
"Gimana kalau... kalau sesuatu yang buruk terjadi lagi?" bisik Sasha di dadanya, tubuhnya sedikit gemetar. "Aku takut, Yang. Aku takut kehilangan lagi."
Ale mengelus rambut Sasha, berusaha memberikan ketenangan meskipun hatinya sendiri dipenuhi kecemasan. "Kita akan melalui ini bersama, Sha. Aku di sini, selalu di sisimu. Dan kali ini, kita akan lebih hati-hati. Kita akan melakukan apa aja buat jaga kamu dan dia."
Sasha memejamkan mata, membiarkan air matanya mengalir deras. Ia tahu Ale juga takut, tapi ada kekuatan dalam pelukan dan kata-katanya yang membuat Sasha merasa sedikit lebih tenang. "Aku... aku cuma pengen kita bahagia kayak orang-orang yang nunggu anaknya lahir, Le. Aku pengen bisa percaya kalau semuanya bakal baik-baik aja kali ini."
Ale melepaskan pelukannya perlahan, menatap wajah Sasha dengan lembut. "Kita harus percaya, Sayang. Kita harus. Karena itu satu-satunya yang bisa kita lakukan sekarang. Percaya, berdoa, dan berusaha."
Sasha mengangguk pelan, mencoba menguatkan dirinya. "Aku akan coba, Le. Aku akan coba buat percaya."
Ale tersenyum kecil, meskipun air mata juga menggenang di matanya. "Rasanya kayak ajaib banget, Sha. Kita harus menghargainya, sekecil apa pun harapan itu. Dan... dan aku bersyukur kita diberi kesempatan ini lagi."
Sasha menggenggam tangan Ale erat, merasakan kehangatan dan kekuatan dari sentuhannya. "Aku juga bersyukur, Yang. Thanks for be there for me. I love you."
"Aku juga mencintai kamu, Sha. Sangat cinta," jawab Ale lembut. Mereka saling berpelukan lagi, membiarkan momen itu mengisi ruang antara rasa takut dan kebahagiaan yang perlahan tumbuh.
Hari itu, mereka berdua duduk bersama di ruang tamu apartemen, tangan mereka saling menggenggam erat. Mereka tidak banyak bicara, tapi kehadiran satu sama lain sudah lebih dari cukup. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, bahwa ada ketakutan dan kekhawatiran yang akan terus menghantui mereka. Namun, untuk saat ini, mereka memilih untuk menikmati harapan kecil yang baru saja muncul, mengingatkan mereka bahwa kehidupan, betapapun rapuhnya, selalu layak diperjuangkan.
---

KAMU SEDANG MEMBACA
Little Call Memories
Fiksi PenggemarDi sebuah pagi yang cerah di Jakarta, Ale, seorang pekerja tambang Batubara di Kalimantan, sedang menikmati cutinya di kota besar ini. Dia memutuskan untuk memasak Coto Makassar, makanan favoritnya, untuk mengisi hari-harinya yang santai. Saat berbe...