(12) Air Asin

41 11 6
                                    


Malam itu keadaan hutan mencekam, suara binatang malam bersahut-sahutan, menambah kengerian malam. Sekelompok orang baru saja mendarat setelah terbang tinggi menggunakan parasut. Langkah demi langkah kelompok itu memasuki kawasan hutan.

"Merunduk."

Salah satu orang memberikan perintah, seketika semua anggota melaksanakan.

"Memasuki kawasan 05, siaga 1. Lakukan pelacakan untuk mutiara dan laporan ke markas pusat."

"Siap."

***


"Hei! Bangun." Kapten Erdan menggoyang lengah Rasti yang tertidur. Tidak ada respon dari gadis itu sampai akhirnya ia menepuk pipi Rasti hingga membuka mata.

"Hmm." Rasti mengusap-usap matanya, walau belum sepenuhnya sadar ia melihat keadaan masih gelap.

"Sebelum matahari muncul, kita lanjutkan perjalanan."

Walau belum sepenuhnya sadar gadis cantik itu mengangguk.

"Cepat."

Rasti mengusap matanya lagi, ia bangkit namun seketika terjatuh. Gadis itu meringis, ia merasakan kakinya begitu sakit. Kapten Erdan berjongkok, memegang bahu si gadis yang kesakitan. "Ada apa?"

"Kaki saya sakit, Kapten."

Sigap Kapten Erdan bertidak. Ia menaikkan celana panjang gadis ini sampai ke lutut. Ia mengeluarkan senter kecil yang berada sakunya. "Sejak kapan Kapten ada senter? Perasaan selama ini gak ada?"

"Tidak digunakan."

"Kok enggak? Kita gelap-gelapan berhari-hari dan Kapten ada senter gak digunain?"

"Gunakan sedikit otak kamu. Kalau saya menggunakan ini kita pasti sudah ketahuan."

Rasti mengangguk paham. Otaknya tidak berpikir sampai kesitu. "Tapi ini Kapten gunain. Apa gak ketahuan?"

"Diam lah."

Rasti mengerucutkan bibirnya. Ia hanya bertanya mengapa dijawab ketus seperti itu. Memang salahnya dimana?

Lutut gadis ini membiru dan bengkak, saat Kapten Erdan menyinari betis dan pergelangan kaki Rasti terlihat banyak goresan  disekitar. Rasti sempat di seret tentu saja akar dan kayu melukai tubuh gadis itu.

"Ya ampun gini amet nih kaki, warnanya ijo." Rasti merasa sangat syok, ia memang merasakan sakit di bagian tersebut tetapi ia tidak menyangka akan separah itu, berubah warna seperti bunglon.

Kapten Erdan menatap wajah cemberut Rasti yang terlihat samar-samar, ekspresi wajah gadis itu yang membuatnya sedikit tertarik. "Saya akan menggendong kamu."

"Enggak usah. Saya masih bisa jalan."

"Keadaan begitu kamu tidak akan bisa berjalan."

"Saya mampu, saya bisa."

"Jangan keras kepala."

"Saya sangat berterimakasih atas kebaikan Kapten selama ini, tapi kali ini saya bisa jalan." Rasti tidak ingin merepotkan Kapten Erdan lebih jauh. Lelaki ini sudah terlalu repot menolongnya dan sekarang harus menggendongnya juga. Apa itu tidak keterlaluan? Mungkin tidak untuknya, tapi bagi Rasti ia merasa tidak enak hati. Rasti yakin ia bisa berjalan, ia merasa sangat. Sebab terjatuh hanya karena baru bangun tidur dan rasa sakit yang mengejutkannya.

"Ya sudah."

Rasti mencoba berdiri, namun ternyata rasa sakit dan ngilu membuatnya susah berdiri, di tambah satu tangan yang bengkak membuatnya tidak bisa menopang tubuhnya. Rasti tidak putus asa perlahan ia bisa berdiri walau terus saja meringis.

HANTU RIMBA (ON GOING)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang