PROLOG

836 81 3
                                    

Dilarang menyalin, meniru, mempublikasikan cerita ini tanpa izin penulis.

.

.

.

Bai Feng Shi 21th/Feng Ah Li 16th

Bai Feng Shi 21th/Feng Ah Li 16th

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Fu Honghui, 23th

Fu Honghui, 23th

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

.

.

.

Feng Shi terjaga dari tidurnya dengan kondisi pabik. Buliran keringat membasahi kening wanita itu. Napasnya memburu. Dada Feng Shi naik turun, sangat cepat. Mata jernihnya bergerak cepat. Tempat tidur yang ditempatinya terasa keras, udara di dalam ruangan pun menggigit hingga ke tulang.

Mengedarkan pandangan ke segala arah, Feng Shi terlihat bingung. Tempatnya berada saat ini tidak dikenalinya. Menelan susah payah, Feng Shi turun dari atas ranjang. Wanita itu berjalan menuju jendela terdekat lalu membukanya lebar-lebar.

Udara dingin seketika masuk, menampar wajah pucat Feng Shi yang seketika menyesali keputusannya untuk membuka jendela kamar. Namun, udara di dalam ruangan ini memang mengganggu.

Sejak menikah dengan Honghui, semua pekerjaan rumah dikerjakan oleh pelayan. Mereka memastikan tidak ada debu di kediaman. Semua benda di dalam dan ruangan dipastikan mengkilap.

Menarik napas panjang, Feng Shi mengurungkan niat untuk menutup jendela. Dia merasa ada yang berbeda dengan dirinya. Kejadian tadi malam masih melekat di dalam kepala wanita itu.

Kediaman Jenderal Fu diserang prajurit pembunuh. Feng Shi ditusuk lalu dilempar ke dalam bangunan yang terbakar hebat. Wanita itu bahkan masih bisa merasakan kematian menyakitkan saat tubuhnya terbakar hidup-hidup di dalam bangunan itu dan sebelum kesadarannya hilang, Feng Shi mendengar penyerangnya mengatakan jika Jenderal Fu pasti akan puas dengan pekerjaan mereka.

Feng Shi merasa tubuhnya dingin. Menarik napas dalam, dia memeluk tubuhnya sendiri. Aneh, pikirnya. Selain merasa lemah, dia tidak merasakan sakit di seluruh tubuhnya. Mengernyit, Feng Shi menatap kedua tangannya yang kurus. Setelah kehilangan bayinya beberapa bulan lalu, Feng Shi sedikit depresi dan memilih melupakan kesedihannya dengan makanan hingga tubuhnya menjadi berisi.

"Sudah berapa lama aku terbaring?" Dia bertanya kepada dirinya sendiri. Feng Shi menelan susah payah lalu menoleh ke arah jendela yang terbuka. Di luar salju turun. Jika perhitungannya tidak meleset, dia mungkin sudah terbaring selama setengah tahun. Cukup lama, pikirnya.

Menarik napas panjang seklai lagi Feng Shi menyeret kedua kakinya yang lemas lalu duduk di atas kursi rias yang sudah sedikit reyot. Mata wanita itu terbuka lebar, Feng Shi menatap pantulan wajahnya di cermin perunggu kusam.

"Wajah siapa ini?" Feng Shi bertanya kepada dirinya sendiri. Mencubit pipi tirusnya, wanita itu merasa aneh karena sakit yang dia rasa sangat nyata.

Feng Shi mengerjap saat tiba-tiba pintu kamarnya dibuka kasar dari arah luar. Mengernyit, dia mendapati dua orang pelayan wanita masuk lalu meliriknya dengan tatapan meremehkan. Kedua pelayan itu berusia sekitar delapan belas dan sembilan belas tahun, Feng Shi tidak terlalu yakin.

"Ini makanan untuk hari ini!" Salah satu pelayan bicara dengan nada tidak sopan. Menatap Feng Shi dengan kening ditekuk dalam, pelayan itu berkacak pinggang. Penampilan Feng Shi bisa dibilang sangat tidak enak dipandang. Rambut panjangnya terurai berantakan dan terlihat kusam. Kedua mata wanita itu terlihat cekung dan tidak sehat dengan wajah pucat seperti kurang darah. "Kenapa menatapku seperti itu?" Suaranya sedikit tinggi saat bertanya kepada Feng Shi.

"Siapa kalian?"

Kedua pelayan itu saling melempar pandang. Mereka tidak menduga akan mendengar suara dingin putri kedua perdana menteri. Biasanya wanita muda berusia enam belas tahun itu akan menunduk gugup, memalingkan wajah ke arah lain untuk menghindar.

Pelayan kedua berjalan angkuh ke meja rias. Menggebrak meja kayu, dia berkacak pinggang dengan satu tangan sementara satu tangannya yang bebas mengangkat dagu Feng Shi hingga pandangan mereka bertemu. "Dari mana suara itu berasal?" tanyanya terdengar kesal.

Udara di dalam ruangan tercium apek. Si pemilik asli jarang membuka jendela atau pintu ruangannyanya hingga bau apek tidak terhindarkan. Walau musim dingin sudah tiba, tidak ada arang penghangat di sana. Selimut yang digunakan pun cukup tipis.

Pelayan itu menaikkan satu kakinya dengan lancang ke atas kursi. Sikapnya yang tidak sopan berhasil membuat pelipis Feng Shi berdenyut, kesal. "Sepertinya kau ingin diberi pelajaran." Pelayan itu menoleh ke belakang saat terkekeh licik. Namun, sebelum berhasil membuka mulutnya lagi, dengan cepat Feng Shi menarik kerah linen gaun sang pelayan lalu membanting tubuh wanita yang lebih tua itu ke atas lantai dingin.

Mata Feng Shi dipicingkan, sinis saat berkata, "Berani sekali kau bicara kurang ajar denganku!" Satu sudut mulutnya diangkat naik dengan kepala dimiringkan ke satu sisi, "Apa kau mau mati?" tanyanya dingin.

Pelayan pertama tidak bisa berkata apa-apa. Wanita muda di hadapannya jelas tidak seperti nona keduanya yang pemurung. Bukan tanpa alasan perdana menteri mengasingkan putri keduanya ini. Mereka mengatakan jika putri kedua memiliki keterbelakangan mental dan hal itu menjadi tamparan untuk keluarga besar Feng.

Selama lebih dari sepuluh tahun Ah Li dikurung di halaman belakang. Ibunya—selir kedua dari perdana menteri meninggal dunia satu tahun setelah melahirkan Ah Li. Karena hal itu pengasuhan Ah Li diserahkan kepada Nyonya Tua. Namun, setelah berusia lima tahun mereka mendapati kemampuan berpikir Ah Li tidak berkembang.

Keluarga Feng yang malu akhirnya memutuskan untuk mengurung Ah Li. Berbeda dengan ketiga saudarinya, Ah Li tidak mendapatkan kesempatan untuk mengenyam pendidikan. Ah Li buta huruf, bahkan dia tidak bisa bicara dengan jelas dan karena terlalu banyak dikurung, Ah Li tidak merasa nyaman saat berada di sekitar orang-orang baru.

Nyonya Pertama tidak memperhatikan kebutuhan Ah Li. Pakaian yang dipakai putri kedua perdana menteri itu tidak ada yang baru. Ah Li hanya mendapatkan pakaian bekas dari saudari-saudarinya dan karena tubuhnya paling kecil dibandingkan yang lain, gaun-gaun bekas itu terlihat tidak pas di tubuhnya.

Pelayan pertama menjerit dan segera membantu rekannya untuk berdiri. Mata wanita itu menatap Ah Li dengan perasaan lain. Ada rasa takut di sana. Cara pandang Ah Li terlihat tajam. Dia tidak menemukan kegusaran dan tidak nyaman di sana.

Feng Shi berdiri di depan keduanya. Satu alis wanita muda itu dinaikkan tinggi. Menoleh ke sisi lain, dia tidak mendapati air bersih di sana. "Bawakan aku air hangat, air teh juga kain bersih." Tidak mendapat tanggapan, Feng Shi menggertakkan gigi. Kedua mata jernihnya sedingin danau beku. "Apalagi yang kalian tunggu?" gertaknya terdengar tidak sabar. Feng Shi tidak suka melihat abdinya bekerja lambat. Di kamp militer, semua pekerjaan dilakukan dengan cepat, rapi dan sempurna.

Tidak mengatakan apa pun, kedua pelayan itu akhirnya berlari keluar dan suara teriakan terdengar dari luar, kedua pelayan itu mengatakan jika Ah Li kesurupan.

.

.

.

TBC


BUKU SATU - Red String of Fate (21+)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang