Aromanis
Kaffa melempar jaketnya kasar keatas ranjang, lalu ia berbaring. Menutupi matanya dengan lengan lalu memejam lelah, sungguh kejadian hari ini membebankan fikiran nya.
Ia bertanya tanya, apakah sudah sebanyak itu yang Kaffa lewatkan? Setelah meminta temu, Adriel harus menjelaskan semua secara detail.
Sungguh, memangnya secepat itu melupakan seseorang? Sekali pun pergi, ya pergi saja. Tapi kenangan itu abadi dalam hati, dan dalam bait tulisan yang Kaffa rangkai dengan kata kata yang adiwarna.
Hanif terduduk di tepian ranjang, maniknya menatap langit kelabu tanpa bintang lewat jendela yang terbuka lebar. Sepertinya langit turut mewakili hati sang empu. "Kaffa, kau baik baik saja?" Tanya nya dengan hati hati.
Kaffa membalikan badan nya lesu, lalu menggoyangkan kaki frustrasi. "Apa kamu bercanda? Kamu lihat apa yang terjadi? Itu bukan hal baik sama sekali." Suara Kaffa sedikit teredam, namun Hanif yang masih dapat mendengar nya pun menghela nafas pelan. Mencoba meraih ujung baju sahabatnya yang tak bersemangat, kemudian di tepis. Ia menyerah sekarang.
"Semua diluar dugaan dan ekspetasiku. Apa yang akan kamu lakukan?"
Kaffa menoleh dan terduduk sambil memeluk bantal, "aku ngga tau, apa dia bercanda? Wajar kalau dia nanyain kamu, karna kalian belum saling kenal. Tapi kalau aku??" Tiap kata yang dilontarkan benar benar menggambarkan kesetressan yang sedang di alami.
Kaffa menjatuhkan dagu ke atas bantal, dan menggambar pola abstrak disana. Seakan separuh jiwanya telah berterbangan di angkasa luas.
Tapi memang benar, Kaffa mengakui jika separuh dirinya adalah Aslan.
Tak ada jawaban dari lawan bicara, mereka hanya tenggelam dalam pertanyaan pertanyaan yang menghantui. Hingga Kaffa kembali berucap, "bukan hanya itu masalahnya, dengan kurang ajarnya pria itu telah kembali membawa kekasih— oh, bahkan sudah menjadi tunangan!"
Kaffa menekan akhir katanya dengan sengaja, sebelum akhirnya pria itu melempar bantalnya hingga mengenai wajah bingung Hanif membuat sang oknum mendengus sebal.
"Aku ngga tahu kenapa bisa sekesal ini, daripada tak mengingatku, hati ini lebih menjerit saat mengetahui fakta lain." Kaffa mengacak surainya kasar, lihatlah wajah yang kusut itu. Hanif pun tercengir.
"Aku tangkap, kamu jatuh cinta pada Aslan."
Kaffa memelototi sahabatnya, alisnya berkerut tak percaya. Hanif melihatnya mengedikan bahu acuh mendekati Kaffa ikut bersandar. Kali ini dengan ekspresi lebih santai dan rilex, "Kenapa? Aku benar kan? Selama ini hanya Aslan pria yang kamu sebut sebut dan ceritakan selain teman teman kita. Kamu begitu excited kalau berbicara tentangnya, selalu bersemangat dan ceria."
"—namun ada kalanya kamu menangisi orang itu, aku bahkan kewalahan menenangkan mu yang tercengir konyol pada akhirnya." Helasan nafas dia berikan sebagai akhir ucapan panjang, membuat Kaffa terdiam mencerna kata demi kata yang memasuki fikiran nya.
"Aku tidak percaya itu, cinta. Aku tidak pernah mengalami nya selama belasan tahun aku hidup. Ah namun— cinta pertama ku adalah mama."
Hanif mengangguk setuju, "cinta pertama anak lelaki adalah ibunya, dan cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya."
"—namun carilah cinta dalam bagian hidupmu, kamu pasti merasakan nya. Selain ibu dan ayah. Cari cinta yang bisa menemanimu sepanjang hayat. Apa salahnya mencintai Aslan? Jangan menyangkal, matamu mengatakan itu berbohong saat kamu tidak mengakuinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aromanis - SungWon
Fiksi RemajaIni tentang Aslan dan Kaffa. Lembaran cerita manis bertahun tahun lalu sudah Kaffa tutup. Tetapi di kemudian hari ia harus membuka kembali lembaran tersebut ketika orang lama kembali ke hidupnya yang sekarang. Apa pria itu tak mengingat betapa perih...