Chapter 2 -- Ayam Geprek

24 5 5
                                    

Tatapan Berliant masih mengarah pada Mehin, meskipun aroma ayam geprek sambel terasi telah menguar, memasuki rongga hidungnya. Bikin cacing-cacing di perut mulai berdendang ria. Sedangkan, bocah laki-laki yang sejak tadi dipantau, sama sekali cuek, bahkan tengah asyik menyantap ayam geprek sambal matah kesukaannya.

"Tumben, kamu udah pulang, La?" tanya Ana, sang ibu yang sedang menyeduh teh hangat dalam secangkir gelas kecil. Ia biasa memanggil Berliant dengan 'La' yang diambil dari nama belakang gadis itu, 'Sandykala'. Katanya, biar beda dari yang lain. Berliant pun mengiyakan saja, yang penting dirinya menengok.

Berliant berdeham, sesekali melirik Mehin yang masih masa bodoh, malah sekarang asyik makan sambil menatap layar laptop 11,4 inch nya lagi. Kini, bukan suara game Pizza Frenzy yang terdengar, tetapi video musik jejepangan dari band YOASOBI yang berjudul Heart Beat.

"Sebenernya, masih nanti pulangnya, tapi temenku minta ditemenin survey baju buat acara nikahannya bulan depan. Tau, kan, si Putri ? Tiba-tiba, dia ngabarin mau nikah. Perasaan, kemarin baru aja deket sama orang. Kaget banget," ucap Berliant panjang lebar. Moodnya yang tadinya down, sedikit membaik ketika bercerita soal sahabat sedari SMA nya yang akan melangsungkan pernikahan sebentar lagi. Berliant pun sampai meminta izin untuk pulang lebih cepat dari jam kerja biasa. Beruntungnya lagi, sebagai Dokter Spesialis Radiologi, Berliant bisa mengerjakan tugasnya dari rumah, tanpa harus ke rumah sakit. Mungkin, kecuali kalau ada jadwal pemeriksaan USG¹, ia harus lakukan itu di rumah sakit secara langsung dengan pasien.

"Oh, Putri. Alhamdulillah, akhirnya dia menemukan tambatan hatinya. Dapat orang mana, La?" Usai meramu secangkir teh hangat, Ana ikut duduk bersama Mehin dan Berliant di kursi meja makan.

"Putri dapet orang ...."

" .... Terus, Mbak Ber kapan nyusul?"

Belum selesai bicara, Mehin malah main menyela saja. Sudah gitu, pakai pertanyaan sensitif pula. Ia belum tahu saja kalau barusan dirinya berhasil membangunkan macan yang sedang tidur nyenyak.

"Tsk. Makannya, doain mbakmu ini. Jangan fokus main game mulu!" cibir Berliant setengah menyindir. Inilah kesempatan emas mengerjai Mehin, selagi ada ibunya di antara mereka. Walaupun, jatuhnya percuma, sebab Ana pasti maklum oleh tingkah adiknya yang super menyebalkan itu.

Mehin tidak merespons. Ia kembali fokus menatap laptopnya sambil menjilati jemarinya yang dipenuhi remahan tepung krispi dan cabai. Membuat Berliant makin kesal dan ingin menguyel-nguyel wajah tanpa dosa adiknya itu.

"Amin, ibu doain semoga kamu cepetan ketemu sama jodohmu, La. Ngomong-ngomong soal ini, udah ada cowok yang PDKT ke kamu belum?" Ana jadi penasaran. Ia melipat kedua tangan di meja. Arah matanya tertuju pada Berliant sekarang.

Jujur, selama ini belum ada sosok laki-laki lagi yang mencoba mendekati Berliant. Bukan karena gadis itu tidak menarik atau sejenisnya, tetapi karena ia sendiri yang menutup pintu hati. Terakhir kali, mungkin satu tahun yang lalu, ada seseorang yang berniat serius dengan Berliant. Kabarnya, mereka pun akan melangkah ke jenjang berikutnya. Namun, semua itu hanyalah janji palsu, bukanlah tindakan nyata. Sejak itu, Berliant memutuskan untuk menutup pintu hati. Ia memilih fokus dulu terhadap karir yang pasti dan tidak menuai kekecewaan.

"Kalau marah-marah terus kerjaannya, gimana mau ketemu jodohnya, Bu?" Lagi-lagi, Mehin menyahut yang otomatis memancing emosi Berliant terus bangkit.

Berliant mendengkus kasar. Ayam geprek sambal terasi yang tengah memanggil untuk dilahap sejak tadi, belum tersentuh sama sekali. Malah sekarang, ia rasanya ingin makan orang saja, saking gregetnya terhadap tingkah tengil Mehin.

"Siapa yang marah-marah, sih? Lagian, aku, tuh, lagi berperan sebagai seorang kakak kepada adiknya. Alias peduli, bukan cuma asal ngomel. Paham, nggak?" Nada bicara Berliant perlahan meninggi. Ia pun bersedekap kesal. Dahinya ikut berkerut.

Mehin mencebik. Ia sudah selesai dengan acara makan ayam gepreknya, lalu bangkit menuju tempat sampah yang sengaja diberi tanda 'sampah anorganik'. Itu adalah ide dari Ana untuk memisahkan sampah menjadi organik dan anorganik, agar bisa didaur ulang dan dipilah dulu sebelum ke tempat pembuangan akhir. Hitung-hitung, mengurangi penumpukkan sampah sekaligus menyelamatkan bumi dari krisis lingkungan.

"Pokoknya, saranku kalau mau dapet jodoh, Mbak Berliant kurang-kurangi dulu, deh,  ngomel itu, lagipula nggak semua hal harus sesuai sama apa yang  kita mau. Apalagi orang lain, kan, pasti mereka punya prinsip sendiri."

Setelahnya, Mehin berlalu saja setelah mengambil laptop dan mouse nya. Ia berjalan ke arah kamarnya. Kali ini, Berliant tidak berniat menyusul. Duduk di kursi menjadi pilihannya selagi meredakan emosi yang tadi sempat meledak-ledak.

"Sabar, Berliant. Orang sabar disayang Allah."

***

Iwak Cupang Club:

Rafka : "Bro, aku on the way ke Singgah Kopi, bentar lagi sampe."

Anggit : "Buruan, gua udah di sini, nih."

Mehin : "Lima menit lagi, aku berangkat. Masih beres-beres."

Anggit : "Beres-beres apa, toh, Ndra? Beresin kenangan?"

Mehin : " Beresin sampah masyarakat :>"

Tumpukan buku di meja belajar berhasil dirapikan sekenanya oleh Mehin. Bukan karena tadi ia sempat belajar, melainkan terlalu malas mengembalikan ke tempat semula. Itupun, sudah dari kemarin, hampir lima hari berantakan. Biasa, Mehin menerapkan prinsip; Tanggung kalau dibereskan, nanti juga berantakan lagi. Tapi malam ini, entah kerasukan apa, Mehin berlaku sebaliknya.

Usai memakai kemeja luaran berbahan flanel biru tosca dengan motif kotak-kotak dan memakai waist bag andalan, Mehin bergegas keluar kamar. Ia ingin cepat-cepat nongkrong bersama dua teman dekatnya, guna melepas penat yang melanda akibat bersiteru dengan kakak perempuannya tadi.

Baru beberapa melangkahkan kaki, Mehin malah dihadang oleh Berliant yang bersandar pada dinding pembatas antara dapur dan ruang keluarga. Gadis itu mengerutkan dahinya. Tatapannya setajam silet. Kerudung yang melapisi kepalanya sekarang telah terlepas, menyisakan rambut panjang sebahu dan bergelombang kepirangan.

Katanya, Berliant mau pergi sama si Putri itu? Kenapa sudah ada di rumah? Biasanya, kan, cewek kalau udah di luar, mereka pulangnya agak lamaan dikit. Biasalah, belanja dulu, atau paling tidak mampir ke mana, kek.

Batin Mehin pun mulai bergejolak, dipenuhi seribu tanya.

"Mau ke mana? Ini udah mau jam delapan," tanya Berliant datar.

"Kepo banget."

Dengkusan pelan terdengar, Berliant memutar bolanya malas. "Jangan bilang, kamu mau nongkrong sama temenmu, 'kan? Pasti, sekalian ngerokok terus minum-minuman nggak jelas!" todong gadis itu, to the point dan nyelekit jadi satu.

Tidak mau menanggapi lebih lanjut, Mehindra mengendik, kemudian berlalu. Ia merasa Berliant sudah kelewat jauh. Terlalu overprotektif, berbeda jauh dari kedua orang tuanya yang kelewat biasa saja. Jarang menegur Mehin melakukan sesuatu sesuai keinginannya.

"Mehin! Kalau ditanya itu dijawab, bukan malah diem aja kayak batu." Berliant mengeraskan suaranya. Mumpung, Ana dan Novan, bapaknya, sedang pergi ke rumah tetangga sebentar, menjenguk bayi.

Mehin tetap cuek selagi memakai sepatu convers hitamnya, setelah itu dirinya lekas bangkit, mengambil kunci motor, dan helm. Ia pun sempat berbalik arah, kemudian menyeringai tipis.

"Sori, Mbak. Lagi fokus pake sepatu. Aku pergi dulu, assalamualaikum!"

Buru-buru, Mehin berlari kecil, keluar lewat pintu depan, sebelum Berliant mengejar dan mencekal. Namun, dugaannya salah, seperti tadi di ruang makan, Berliant masih berdiri di tempatnya sambil cemberut. Ia lalu kembali ke kamarnya dengan perasaan gagal. Gagal mencegah adiknya. Gagal membuat Mehindra menuruti perintahnya sebagai seorang kakak.

"Terserah, dah!"

WHEN I HATE MY SISTER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang