Chapter 17 -- Sebuah Ketidaksengajaan yang Terjadi

12 1 0
                                    

Pekatnya malam tanpa bintang menjadi pemandangan yang menyejukan bagi seorang Berliant Sandykala. Di halaman belakang rumah, ia duduk di sebuah lincak yang disediakan khusus untuk ngadem barang sejenak oleh Novan. Bisa sekaligus sambil ngopi-ngopi dan makan pisang goreng hangat. Sengaja, Berliant menyendiri di sana tatkala orang rumah sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Akhir-akhir ini, hati serta pikirannya terkoyak kesana kemari. Bukan tentang pekerjaannya yang seringkali menumpuk, tetapi soal keluarga, terutama adik laki-lakinya yang super duper tidak pengertian.

Berliant lantas merenung dalam kesendirian, lalu bertanya-tanya, apa selama ini tindakannya salah? Apa selama ini dirinya terlalu mengekang dan overprotektif? Gadis itu merasa sama sekali tidak ada masalah ketika ia memerintah Mehin untuk les mata pelajaran ataupun mengurangi game online. Menurutnya, semua itu adalah hal wajar yang dilakukan seorang kakak pada adiknya. Sebagai bentuk perhatian dan kasih sayang, meski terkesan banyak ngomelnya. 

Lamunan gadis itu terbuyarkan oleh getaran dari ponselnya. Ada satu notifikasi terpampang nyata pada layar. Sebuah pesan WhatsApp dari teman dekat semasa kuliahnya, selain Juwita, tetapi berbeda jurusan. Mereka tidak sengaja bertemu ketika sama-sama masuk ke dalam organisasi BEM Fakultas.

Septian : "Jangan galak-galak sama adekmu, Ber. Ha-ha."

Berliant berdecak kesal saat membaca chat itu, ia lalu membalasnya cepat.

Berliant : "Aku nggak galak, Septi. Aku, kan, cuma kasih nasihat dan arahan sebagai kakak. Apa salahnya coba?"

Septian : "Sini tak kasih tahu, Ber. Nasihatin anak laki-laki sama anak perempuan itu beda treatment-nya, lho. Kalau anak perempuan oke, lah, mereka mungkin bisa langsung nurut. Nah, beda cerita sama laki-laki, pasti ada berontak dikit, bahkan ngelawan."

Tidak langsung menjawab, Berliant sejenak merenung selagi membaca chat dari Septian. Ada benarnya juga teman dekatnya itu, tetapi kalau Mehin terus dimanja-manja, kapan majunya? Berliant, kan, bermaksud mengarahkan agar Mehin tidak keblinger alias tersesat. Ya, walaupun anak itu sudah banyak menuai prestasi di sekolah, tetapi tetap saja harus dijaga. Manusia itu gampang terpengaruh oleh hal-hal tidak penting soalnya.

Helaan napas panjang terdengar putus asa, Berliant menaruh lagi ponselnya, membiarkan chat dari Septian hanya dibaca saja. Ia menengadah, sejenak menatap pekatnya malam dengan sejuta berisiknya pikiran dalam benak.

***

"Kamu seriusan, tah, Ndra? Mau nginep di kosku?" tanya Rafka setengah kaget. Tidak ada hujan apalagi badai, mendadak Mehin ingin menginap di indekos. Pasalnya, Rafka tahu jika teman dekatnya yang satu ini lebih suka di rumah, terutama di kamar. Sebab, bisa rebahan di kasur yang empuk serta main game online melalui PC super canggihnya. Lantas, kenapa Mehin mendadak ingin keluar persinggahannya?

Mehin menghela napas sambil membenahi kerah seragam, lalu menarik pelan kaitan dasi agar terbuka sedikit pada bagian leher. Ia meras sesak dan gerah. "Iya, mau cari suasana baru. Bosen di rumah," jawabnya datar, kemudian berjalan duluan ke arah kantin. Disusul Rafka yang mengernyit penuh tanda tanya.

"Ada masalah lagi?" Bisa dibilang, Rafka cukup peka perihal perubahan suasana hati Mehin. Dari cara bicara, raut wajah yang kelewat suram, ditambah sikapnya terkesan cuek bebek.

"Nggak ada, Raf. Aku cuma bosen. Butuh suasana baru. Mungkin, aku bakal nginep di kosmu sekitar tiga harian. Aman, nggak?"

"Aman, sih, tapi kamu tau, kan, kalau kosanku nggak selebar itu, Ndra?"

Mehin berdecak sebal. "Halah, Raf. Kamu, tuh, kayak lupa aja kalau aku pernah main ke kosanmu. Masalah sempit atau nggak, bodo amat. Yang terpenting aku boleh nginep."

Sesampainya di undakan dekat dengan lokasi kantin berada, Mehin terhenti sejenak. Di antara ramainya para siswa, ia bisa melihat sosok Mentari sedang duduk sendiri sambil menikmati sepiring batagor, tidak lupa es jeruk sebagai pelengkap.

"Kenapa, Ndra?" Suara Rafka membuyarkan lamunan Mehin, ia pun melanjutkan langkahnya kembali tanpa merespons. Di antara perasaan tidak menentunya, sudah lama Mehin seperti sudah lama tidak berinteraksi dengan Mentari. Padahal, baru kemarin ia berbincang sebentar di depan ruang guru. Entah kenapa, ada sepercik kerinduan yang hadir di hati. Ingin gegas mengenyahkan perasaan aneh itu, tetapi Mehin memilih enggan. Sejujurnya, ia rindu obrolannya bersama Mentari soal keluarga, terutama soal hubungan kakak dan adik.

Warung Bu Julaeha menjasi tempat Rafka dan Mehin menepi pertama. Mereka mempunyai niat yang sama soal keinginan untuk menjajal lontong sayur padang, yang kabarnya baru launching hari ini. Tidak ketinggalan minuman pelengkapnya, dua gelas es teh jumbo sebagai pelepas dahaga. Tanpa disadari, dalam diam dan dari kejauhan Mentari memerhatikan Rafka dan Mehin sedang memesan sekaligus mengobrol sebentar dengan Bu Julaeha. Kedua cowok itu terbahak bersamaan, mungkin sedang saling melempar canda. Gadis itu berharap, Mehin bisa setidaknya memilih duduk di tempatnya sekarang, lalu makan bersama. Karena, ada hal yang ingin dia utarakan.

"Kayaknya, penuh semua. Mau makan di mana, Ndra?" Rafka bertanya selagi arah matanya mengitari seluruh penjuru area kantin. Beberapa detik kemudian, ia terhenti pada satu titik. Mentari. Tanpa persetujun, sontak Rafka menarik lengan Mehin untuk mengikutinya.

"Kita boleh duduk di sini, 'kan?"

Mentari hampir saja tersedak oleh secuil batagor yang baru saja ia lumat. Beruntung, ia bisa menguasai diri. Senyuman lebar pun terbit di kedua bibir mungilnya. "Eh, boleh, monggo." Melihat ada Mehin, ini kesempatan besar bagi gadis berkacamata itu. Terlepas, daritadi ia membatin sekaligus berharap agar bisa bicara dengan anak kelas 11 IPA 5 itu.

"Eh, kita belum kenalan. Aku Rafka. Teman sekaligus sahabat dekat, Mehin. Kita pernah ketemu sebelumnya, tapi belum sempat kenalan," ucap Rafka sambil mengulurkan tangan, bermaksud bersalaman. Namun sayangnya, Mentari tidak membalas uluran itu. Ia masih setia dengan garpu dan sendok di kedua tangannya. Ia cukup menganggukan kepala singkat disertai senyuman tipis.

Merasa kikuk, Rafka menarik lagi tangannya, kemudian menghela napas pelan. "Ah, pasti kamu lagi fokus makan batagor, ya. Maaf, udah main ngajak salaman aja."

"Nggak masalah. Sebenernya, aku emang kurang suka salaman sama cowok aja, apalagi kalau baru pertama kali kenal. Bagiku, kenalan nggak harus gitu-gitu amat," jelas Mentari lugas dan to the point.

"Ah, Mehin. Ada hal yang mau aku omongin sekarang." Kini, Mentari beralih langsung pada Mehin. Meninggalkan atensi Rafka yang masih menahan malu.

Mehin menaikkan kedua alis. "Tentang?"

"Tentang abangku. Kayaknya, selama ini aku belum pernah kasih tau nama asli abangku itu siapa, 'kan?" Ah, benar juga. Mehin pun penasaran soal itu, tetapi lupa terus mau bertanya.

"Kayaknya belum," jawab Mehin singkat.

Mentari menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya lagi. "Septian. Nama lengkapnya, Septian Adhayana."

Saat itu, jantung Mehin serasa berhenti berdetak. Ia bahkan sontak memelotot tanda tidak percaya. Bagaimana bisa ketidaksengajaan ini terjadi? Mehin pun sudah lama tidak bertemu lagi dengan Septian. Apakah ia harus memastikan sesuatu?

WHEN I HATE MY SISTER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang