"Cepet amat ke kosku, Ndra. Nggak pamitan dulu, tah, sama orang rumah?"
Begitu menginjakkan kaki di kamar indekos minimalis itu, Mehin langsung ambil posisi rebahan pada kasur berukuran 90x200 meter, yang tidak terlalu empuk, tetapi lumayan.
"Iya," jawab Mehin singkat, tidak peduli Rafka menatapnya penuh tanya. Ia pun ikut bergabung bersama Mehin di atas kasur. Sebelum Mehin datang dan setelah Anggit pulang, cowok itu sempat memejam untuk beberapa menit karena merasa lelah. Sekarang, nyawanya masih setengah terkumpul. Belum lagi, Mehin datang dengan raut wajah yang masam. Bikin beban pikiran saja.
Rafka berdecak sebal. "Singkat amat kaya cewek baru PMS, deh," cibirnya.
"Tsk. Tadi udah pamitan. Cuma sebentar. Terus, aku langsung ke kosmu." Setengah berbohong, Mehin menjawab. Bahkan, ia tidak sadar—tadi, saat di kamar—memasukan baju-baju apa saja serta pakaian dalam yang—entahlah—jumlahnya berapa.
"Oke, deh. Tiga hari aja, 'kan?" tanya Rafka memastikan. "Aku barusan udah izin sama ibu kos kalau ada temenku yang mau nginep. Alhamdulillah, beliau nggak ada masalah."
Mehin berdeham sambil meletakkan salah satu lengan ke dahi. "Baguslah. Kalau nambah hari pasti bisa, 'kan? Misal jadi em—"
"Nggak!" Rafka setengah nge-gas.
"Yah, tega banget sama temen sendiri, dah!"
"Lagian, udah enak-enak di rumah, masih pake minggat mbarang kamu, Ndra. Jangan bilang karena Mbak Berliant lagi, kamu jadi gini? Udah aku bilang, kan, kalau dia—"
"Bukan masalah dia. Ada masalah lain, Raf, tapi maaf, aku belum bisa cerita sekarang. Butuh waktu," ujar Mehin serius.
Rafka melirik sekilas teman dekatnya, lalu menghela napas pelan. "Nggak cerita juga nggak apa-apa, lagi pula itu hakmu, tapi sebagai teman yang baik, aku pasti dengerin apapun masalahmu, Ndra. Jangan sungkan aja buat cerita, oke?"
Mehin tersenyum tipis. "Makasih, Raf. Jadi, aku boleh nginep semingguan di sini, toh?"
"Ngelunjak, lu! Mana ada, Bembeng!"
***
Jam tujuh pagi kurang lima belas menit, Mehin dan Rafka baru sampai di sekolah. Keduanya berangkat dengan menggunakan satu motor yang sama. Motor Mehin yang menjadi sasaran. Rafka bilang ingin menghemat bensin, alhasil ia memaksa nebeng Mehin ke sekolah. Untung, teman dekat, coba kalau nggak, sudah pasti Mehin menolak mentah-mentan. Terlepas, ia dibolehkan menginap di indekos Rafka selama tiga hari.
"Turun! Biar aku aja yang ke parkiran," perintah Mehin setengah emosi. Sepanjang perjalanan tadi, Rafka terdengar berisik oleh banyaknya cerita aneh. Terutama soal mencari pacar guna menghilangkan stres berkepanjangan.
Rafka cemberut. Ia terpaksa turun, meski enggan. "Idih, kenapa lu sensi gitu? Perasaan, tadi baik-baik aja, deh, di—"
"Eh, dasar kampret!" teriak Rafka begitu Mehin ngeloyor saja meninggalkannya di dekat gerbang sekolah.
Usai memarkirkan motor tidak jauh dari jalan keluar parkiran, Mehin berniat langsung ke kelasnya. Namun, ia berhenti di antara motor-motor yang telah terparkir ketika melihat Mentari sedang susah payah mendorong motor bebek hitam.
Mentari naik motor ke sekolah? Tumben banget. Niat hati ingin membantu, alhasil Mehin berjalan mendekati gadis berkacamata itu. Dengan sigap, Mehin mendorong dari jok belakang dan motor bebek hitam itu berhasil terparkir di tempat yang seharusnya.
"Eh, makasih, lho, Mehin," ucap Mentari sungkan. Pasalnya, ia sedikit kaget melihat Mehin sudah ada di belakangnya tadi, membantu mendorong motor bebek hitamnya untuk parkir.
Sudut-sudut bibir Mehin terangkat. "Tumben banget bawa motor. Biasanya, kan, dianter Ibu atau Bapak?"
"Sengaja, kok. Nanti pulang sekolah, aku ada rencana mau ketemu seseorang. Semoga aja nggak ujan."
Kini, mereka berdua berjalan bersamaan ke arah kelas mereka berada.
"Oh, mau ketemu seseorang," gumam Mehin. Sayang, gumamannya itu tidak sengaja terdengar oleh Mentari, lalu gadis itu terkekeh.
"Mas Septian. Aku mau ketemu sama dia." Mentari takut Mehin akan salah paham. Padahal, selama ini Mentari belum pernah barang sejenak memikirkan percintaan, walaupun kerap kali ia pernah mendapat pernyataan cinta sewaktu kelas X dulu.
Mehin menaikkan kedua alis sambil ber-oh-ria. "Emang mau ketemu dalam rangka apa? Bukannya, kalian nggak pernah saling kontakan sebelumnya?" Pertanyaannya lebih ke penasaran, bukan cuma basa-basi. Selain masalah hubungan kakak adik sendiri, Mehin pun memikirkan tentang hubungan Mentari dan Septian. Penyesalan pun datang kedua kali. Kemarin, karena dibalut emosi berlebih, Mehin lupa bertanya soal Mentari pada Septian. Kalau saja, ia sempat bertanya, pasti ada sudut pandang lain mengapa Septian—yang dikatakan kabur dari rumah—memilih berjarak dari keluarganya sendiri.
Mentari menghela napas panjang. "Untuk baikan dan Mas Septian kontak aku lewat DM Instagram. Nggak nyangka banget sekaligus deg-degan, tapi aku jawabnya singkat, padat, dan jelas. Aku mau agak jaim sedikit. Salah siapa coba kabur dari rumah, 'kan?"
Baguslah.
Mehin lega mendengar perkataan Mentari barusan. Gadis itu berencana berbaikan dengan kakak kandungnya sendiri. Itupun setelah mereka—Mentari dan Septian—berjarak, berjauhan, entah ada kabar apa saja yang tidak pernah terdengar. Mehin juga berpikir tentang orang tua Mentari. Apakah mereka tidak kecewa di saat Septian minggat tanpa memberi kabar sedikitpun?
Namun, Mehin berpikir lagi, kali ini soal dirinya, yang sama sekali tidak tahu siapa orang tua kandung dirinya itu.
"Kamu keren, Ri. Kamu berani mengambil keputusan berat. Padahal, sebelumnya kamu benci banget sama Mas Septian. Terus, sekarang mau ketemu lagi. Daebak pisan!" Mehin berdecak kagum sendiri.
"Nggak keren, Mehin. Aku butuh waktu seminggu buat nge-iya-in ajakan Mas Septian. Awalnya, aku nggak mau ketemu sama dia. Toh, dia aja nggak mikir perasaan keluarganya setelah pergi. Tapi, lama kelamaan aku sadar, kalau aku nggak boleh terlalu lama menyimpan amarah di hati. Bisa aja, Mas Septian punya alasan, yang belum pernah aku tau sampai detik ini."
Mendengar penjelasan panjang lebar Mentari, ada terbesit suatu perasaan yang sulit dijelaskan. Mehin pun teringat oleh Septian yang mengatakan kalau ia harus tahu dulu lanjutan dari obrolan antara Ana dan Berliant kala itu. Karena terlanjur emosi, Mehin main pergi saja. Ia sekarang mulai 'agak' menyesal.
"Itu tetep aja namanya keren, Ri. Nggak semua orang siap buat keluar dari zonanya. Aku pun masih berusaha menerima, tapi nyatanya aku malah melarikan diri dari masalah." Baru kali, Mehin mulai bicara soal apa yang dia alami.
Mentari menghentikan langkahnya ketika mendekati persimpangan jalan antara jurusan IPA dan IPS. "Namanya manusia, mereka pasti punya perasaan, Mehin. Nggak semua langsung nerima tentang apa yang terjadi. Kamu tahu, kan, ada fase penerimaan atau biasa kita sebut dengan 'pasrah', tapi bukan berarti berhenti melangkah, ya."
"Eh, maaf kalau belibet," imbuh Mentari lagi. Bersamaan dengan itu, bel sekolah berbunyi nyaring. Tanda para siswa agar segera masuk ke kelas masing-masing.
"Yaudah, sampai ketemu nanti, Tari, kalau sempet." Mehin pun melangkah pergi. Begitu pula Mentari yang berbelok ke arah berbeda sambil tersenyum kecil.
KAMU SEDANG MEMBACA
WHEN I HATE MY SISTER [END]
Random[Naskah Pilihan Editor Pada Event Festival Menulis Fiksi Rasi 2024] Hidup bebas, tanpa diatur, dan tanpa dikekang adalah impian dari Mehindra Syahreza. Ia bertekad mewujudkan semua itu dengan merantau selepas lulus dari SMA, yang sebentar lagi mulai...