Chapter 12 - Pieces of Them Memory

16 1 0
                                    

"Makin kuat sebuah ikatan kimia, maka senyawa terproduksi pun lebih stabil. Begitupun sebaliknya, apabila ikatan kimia terbilang lemah, senyawa yang dihasilkan juga menjadi tidak stabil ...."

Suara Pak Jimmy—guru kimia berkumis yang selalu kinclong sepatu pantofelnya—terdengar lantang mengisi keheningan kelas 11 IPA 5. Kebanyakan teman sekelas Mehin itu kurang memperhatikan materi yang sedang diajarkan. Belum lagi, beberapa malah melamun lantaran merasa otak mereka mulai terasa mendidih. Sesekali, Mehin pun menghela napas pelan melihat kondisi kelasnya yang cukup memprihatinkan. Walaupun ia demen bermain game online, hingga terkesan lupa fokus untuk sekolah, Mehin tetap berpikir kritis soal masalah pendidikan di Indonesia yang terbilang carut marut. Adapun kesenjangan sosial di kalangan masyarakat.

"Nah, ikatan kimia ada empat. Yaitu...."

Di sela-sela Pak Jimmy menjelaskan lebih lanjut pelajaran Kimia pada bab ikatan kimia, Mehin malah kepikiran dua masalah yang sempat menimpa dirinya. Jujur, kepala Mehin pening memikirkan sesuatu yang sebenarnya  tidak usah dipikirkan terlalu mendalam. Seharusnya ia bisa masa bodoh jikalau Berliant mulai menjaga jarak. Toh, itu keinginan terbesarnya.

Namun, di satu sisi, Mehin berulang kali menepis perasaan aneh yang kerap menghinggapi hati. Terlebih, kata maaf belum saling terucap antara dirinya dengan Berliant. Hampir lewat tiga hari mereka masih terbalut oleh diam. Parah, bahkan Mehin melupakan sebuah wejangan, apabila kita tidak diperbolehkan marah melebihi tiga hari.

Mehin mengusap wajahnya dengan telapak tangan kanan. Ia benar-benar dibuat kalut oleh kakaknya sendiri. Ditambah, soal Mentari dan Septian yang membuat rasa penasarannya bergejolak. Padahal, itu bukanlah hal urgent yang harus dipecahkan misterinya oleh Mehin. Kalaupun keduanya ada masalah keluarga, Mehin, kan, bisa masa bodoh dan berlaku tak acuh, tetapi kenapa malah berlaku sebaliknya, hah?

Beruntung, bel di jam istirahat pertama berbunyi lebih cepat dari perkiraan. Dua jam pertama terlewati begitu saja. Sebelum dua kembar menghampiri Mehin, seperti biasa meminta diajarkan rumus cepat agar mudah memahami Kimia, Mehin buru-buru keluar keluar. Ia tidak lagi dijemput oleh Rafka untuk ke kantin, tetapi ruang perpustakaann menjasi tujuan utamanya. Buku bersampul biru juga Mehin bawa. Ia berniat membaca sekaligus melepas penat di kesunyian.

Beruntung, para siswa memilih pergi ke kantin. Mengisi perut mereka yang mulai keroncongan. Tidak dapat dipungkiri, bahwa pemadam kelaparan memang lebih banyak dikunjungi. Sebab, di antara keramaian, kita bisa memilih aneka makanan enak.

Usai merapikan sepatu yang ditaruh pada rak khusus pengunjung, Mehin melangkah menuju bilik baca yang letaknya di sebelah rak-rak kayu berjejer. Ia memilih bilik paling pojok, persis di bawah AC.

"Kayaknya menarik," gumam Mehin mulai membuka halaman pertama. Melewati kata pengantar, Mehin langsung tertuju pada bab pertama. Ini bukan buku non fiksi, tetapi novel tentang kakak beradik dalam misi petualangan. Diterbitkan oleh penerbit Indie dan bukan penerbit mayor.

'Jagalah Saudaramu Selagi Kau Bisa.'

Quotes yang pertama kali Mehin baca di buku seakan menampar realita yang ada. Benaknya kembali mengingat hubungan antara ia dengan Berliant. Mungkin, sudah ada seratus kali, Mehin memikirkan soal itu, bahkan ia jadi teringat masa lalu bersama kakak perempuannya. Ketika mereka masih kompak dan akrab. Tidak ada perseteruan yang memusingkan seperti sekarang.

Baru saja hendak keluar sekolah untuk menunggu datangnya jemputan, tanpa aba-aba hujan spongan mengguyur lebat. Jalanan yang tadinya kering kerontang menjadi basah. Mehin mendesah pelan sambil memajukan bibirnya 1 cm ke depan. Padahal, ia ingin segera pulang untuk menonton serial kartun favoritnya di rumah.

"Apa aku hujan-hujanan aja, ya?" gumam Mehin tatkala satu per satu temannya beranjak pergi dari sekolah.

"Tapi, kalau sampe basah kuyup, pasti nanti diomelin Mbak Berliant. Jadi, males." Mehin bersedekap bingung. Sebenarnya, ia membawa sepeda ke sekolah, tetapi sayang, tidak dengan jas hujannya.

Gelagar guntur terdengar dari kejauhan. Sedikit membuat Mehin terperanjat kaget. Ia lantas memerhatikan sekitar, keadaan mulai sepi dan suram sebab cahaya lampu di lorong-lorong sekolah kalah dengan gelapnya awan kelabu. Alhasil, ia memutuskan untuk nekat pulang dengan sepedanya, meski harus basah kuyup.

Baru setengah perjalanan, Mehin malah terhenti lantaran angin yang menerpa hampir menjatuhkannya dari sepeda. Jarak sekolah dengan rumahnya sebenarnya tidak terlalu jauh, hanya saja Mehin seperti enggan melanjutkan perjalanan pulang, sebab ia harus menerjang badai kecil akibat hujan makin lebat.

"Mehindra!"

Lantas, suara dari seseorang memanggil namanya. Samar-samar, Mehin bisa melihat satu titik cahaya mendekat ke arahnya. Itu adalah lampu motor milik Berliant. Gadis itu gegas turun, langsung mengeluarkan sebuah payung berukuran besar. Melihat adik bungsunya yang basah kuyup, ia otomatis mengomel karena khawatir.

"Kenapa nggak minta jemput Mbak aja, Mehin?" tanya Berliant bersungut-sungut. Keduanya menepi di pinggiran jalan, berdiri di depan warung kelontong yang sedang tutup sementara.

Mehin mendesah pelan. Walaupun masih berada di sekolah dasar, ia tidak sepenakut itu untuk pulang sendiri ke rumah. Namun, apa mau dikata, Berliant malah memergoki dirinya nekat menerobos hujan deras.

"Mbak, aku, kan, nggak punya HP. Gimana bilangnya?" Mehin dengan polosnya menjawab. Maklum, anak SD.

Berliant berdecak kesal. "Bisa tunggu sebentar kali. Kamu lupa? Aku, kan, mau jemput kamu habis selesai praktikum di kampus!"

Tidak mau berdebat lebih lanjut, Mehin akhirnya pulang bersama Berliant, meskipun tidak satu motor. Cowok itu memakai jas hujan oranye yang dibawa oleh kakaknya. Sepanjang perjalanan, keduanya dibalut keheningan. Namun, begitu sampai di rumah, Berliant kembali mengomel. Sampai-sampai, Mehin kesal dan ingin memberontak kalau bisa.

Faktanya, ia malah terharu oleh tindakan Berliant yang sangat perhatia, apalagi ia belum langsung bersih-bersih malah merebus air lebih dulu untuk Mehin mandi agar adiknya tidak masuk angin. Ia pun membuatkan teh hangat, lalu membantu Mehin membersihkan sepedanya. Kalau ditelaah lebih jauh, Berliant sebenarnya anak baik hati, tulus, dan apa adanya. Entah kenapa, sekarang bentuk perhatian yang tercipta berubah ke arah overprotektif. Terkadang, saking berlebihannya, bisa membuat seorang Mehin muak. Hingga keinginan untuk minggat makin menjadi.

Jujur, mengingat kenangan masa lalu dan betapa sesayang itu Berliant kepadanya, Mehin jadi rindu, walaupun kadarnya tidak 100%, mungkin hanya 45% saja.

"Coba Mbak Ber bisa lebih ngerti adiknya sedikit lagi, bukan dengan omelan, pasti nggak akan tiba-tiba  saling menjauh," gumam Mehin sembari menaikkan salah satu sudut bibirnya ke atas. Bersamaan dengan itu,  bel pertanda masuk untuk jam mata pelajaran   berikutnya berbunyi. Berhenti membaca tepat di halaman 30, Mehin pun beranjak dari kursi bilik baca, lalu berjalan ke arah pintu keluar.

WHEN I HATE MY SISTER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang