Chapter 7 -- Tanda Sayang (Apa, iya?)

17 2 0
                                    

Hampir satu jam lebih, hujan turun membasahi bumi. Menyisakan banyak genangan yang terlihat di sudut-sudut jalanan kota Purwokerto. Begitu turun dari angkutan kota, Mehin langsung berjalan masuk ke gang perumahan sambil menutupi kepala dengan kedua telapak tangannya. Sebab gerimis masih terasa berjatuhan, mengenai permukaan kulit hingga menimbulkan sensasi dingin.

Melalui pagar rumah yang tidak terkunci, Mehin masuk dan langsung berlarian ke arah teras. Ia mengibas-ngibaskan tangannya sejenak ke seragam sekolahnya yang sedikit basah terkena air dari langit. Setelahnya, Mehin beralih mencari kunci rumah untuk membuka pintu utama. Karena punya kesibukan masing-masing, baik Mehin ataupun Berliant dan kedua orang tuanya, mereka berbekal kunci sendiri. Mehin menduga, belum ada orang di rumah, sampai kemudian pintu utama terdengar dibuka oleh seseorang dari dalam.

"Lho, ibu? Udah pulang, tah?" Kedua alisnya terangkat. Mehin agak kaget ketika Ana menyambutnya yang masih mengenakan seragam batik PNS. Bisa jadi, perempuan berusia 45 tahunan itu baru saja tiba di rumah. Ngomong-ngomong, Ana bekerja di bagian Mall Pelayanan Publik. Biasanya, ia akan pulang menjelang magrib.

Ana mengangguk pelan disertai senyuman singkat. "Iya, Ndra. Alhamdulillah, Ibu bisa pulang cepet, tapi nanti Ibu harus presensi kehadiran sebelum jam 5 sore."

Mendengar jawaban Ana, Mehin hanya ber-oh-ria, lalu keduanya berjalan masuk ke rumah. Belum langsung bersih-bersih, Mehin memilih untuk duduk lebih dulu di sofa ruang tamu. Ia berniat mengambil napas sejenak lantaran lelah selama perjalanan pulang tadi. Sebenarnya, bukan hanya itu saja, tetapi lebih ke pikirannya soal keraguan terhadap tindakan yang dilakukan. Yaitu, menjaga jaga jarak dengan sang kakak.

"Kamu pulang sama siapa, Ndra? Mbak Berliant mana? Katanya, dia mau jemput kamu." Usai menutup pintu sembari mengecek gorden jendela yang agak kusam, Ana mendekati Mehin.

Sudah Mehin prediksi sejak awal, bahwa Berliant pasti lapor ke Ana kalau nomor adik laki-lakinya tidak bisa dihubungi. Belum lagi, ada kemungkinan Berliant menambahkan bumbu-bumbu pedas di setiap perkataannya. Apes, Mehindra merasa hidupnya kurang beruntung sekarang. Ia takut kena marah karena mengabaikan Berliant, tetapi kalau tidak nekat keluar dari zona nyaman, Mehin pasti selamanya akan terkungkung dalam ketidakpastian.

"Baterai hapeku habis, Bu. Jadinya, nggak bisa kontak siapa-siapa, tapi tenang, masih ada angkot sebagai alternatif kendaraan pulang sekolah," jelas Mehin berusaha menutupi kebohongan yang tersirat. Padahal, baterai ponselnya masih tersisa 80%. Memang dasarnya tidak niat, akan selalu begitu ujungnya.

"Oh, habis, ya. Emang nggak bawa cas-casan ke sekolah? Soalnya, tadi mbakmu telpon Ibu pas di kantor. Dari nada ngomongnya kayak khawatir." Sekarang, Ana ikut duduk di sofa, lalu meraih setoples berisi rengginang.

Khawatir? Sekilas, Mehin terkekeh singkat, kemudian menyeringai tipis. Lebih tepatnya, mungkin Berliant bukan khawatir, melainkan terlalu berlebihan. Sampai detik ini, kakak perempuannya belum sadar juga kalau Mehindra sudah menginjak dewasa. Apa-apanya, tidak mesti bergantung kepada orang lain, meskipun itu dari keluarga sendiri.

"Enggak, Bu. Pokoknya, tadi baterai hapeku habis, lupa di-cas." Mehin bangkit dari duduknya, kemudian meregangkan tubuhnya sebentar sebelum pergi ke kamarnya. "Aku mau mandi terus istirahat dulu, Bu. Kalau ada apa-apa, nanti ketok kamar aja, yes."

"Eh, Ndra. Jangan cuek-cuek sama Mbak Berliant, ya. Dia itu sayang banget sama kamu," tukas Ana kemudian.

Mehin kontan berhenti ketika mendengar Ana bicara soal kakak perempuannya. Cuek? Sejujurnya, Mehin tidak cuek-cuek amat, kok. Hanya saja, ia terlalu kesal dan lelah jika Berliant terus menerus overprotektif yang jatuhnya lebih ke mengekang kebebasan berekspresinya.

Mehin pun tidak berniat menjawab, ia hanya berdeham, lalu melanjutkan jalannya lagi.

***

Tepat sehabis azan magrib berkumandang, Berliant pulang ke rumah. Setelah, memakirkan mobilnya ke garasi, lalu menutup pintu gerbang, ia buru-buru masuk ke rumah dan mencari Mehin di manapun bocah itu berada.

"Mehin!" Tanpa basa-basi, Berliant memanggil adiknya. Ia pun mengetuk-ngetuk pintu kamar Mehin dengan papan triplek tipis yang sengaja digantungkan bertuliskan 'Jangan ganggu, pergi sana!'

Belum ada jawaban, Berliant mengetuk lagi dengan tenaga yang lebih ekstra. Barulah, gagang pintu kamar Mehin terlihat bergerak, pertanda sang pemilik sedang berusaha untuk membukanya.

"Tsk, ganggu orang istirahat aja. Ada apa, Mbak? Magrib-magrib, kok, kaya kesurupan aja," ujar Mehin sambil menggaruk pipi kirinya. Kedua matanya tampak sembab. Maklum, anak itu baru saja bangun tidur yang tidak seberapa lamanya. Cuma 5 menit. Bahkan sebelumnya, Mehin berkutat lebih dulu mengerjakan tugas sekolah yang harus dikumpulkan esok hari.

Berliant berdecak sebal. "Diem. Kamu, tuh, kenapa nggak bisa dikontak, sih, tadi? Chat nggak dibales, cuma centang satu lagi. Nyebelin tau, nggak?"

"Baterai hapeku habis, Mbak," jawab Mehin singkat, padat, dan setengah berbohong.

"Masa? Kenapa nggak bawa charger ke sekolah? Kamu sengaja nggak mau dijemput aku di sekolah? Malu, tah?"

Rentetan pertanyaan itu seolah menohok Mehin sekarang. Bukan, Mehin malu punya kakak perempuan. Seperti yang tadi dibilang, kalau Mehin sudah beranjak dewasa, bukan anak kecil yang harus dalam pantauan pengawasan orang tua.

"Apaan, sih, Mbak? Kenapa Mbak Ber jadi lebay gini? Lagian, aku udah besar, lho. Bisa cari cara sendiri buat pulang ke rumah. Ada angkot, ojek pengkolan, dan bisa nebeng temen."

"Itu namanya nggak menghargai saudara sendiri. Orang, kakaknya udah bersedia anter jemput, pake dikacangin. Ini, nih, akibat main game, terus ansos--"

Belum selesai Berliant bicara, Mehin memotong ucapannya paksa. "Terserah, Mbak Ber aja. Kalaupun aku jawab lagi, pasti salah terus. Padahal, aku pengen bebas tanpa kekangan. Katanya saudara, tapi apa? Zonk!"

Setelahnya, Mehin menutup pintu kamarnya kasar. Membuat suasana rumah yang sedang sunyi mendadak gaduh.

"Mehindra! Dengerin Mbak dulu!" pekik Berliant sambil misuh-misuh sendiri.

***

Beruntung, kamar Mehin memiliki toilet dalam sendiri. Ia jadi tidak harus keluar untuk mengambil air wudu, apalagi dirinya baru saja berseteru dengan Berliant yang otomatis membuat moodnya turun drastis.

Sebelum melangsungkan salat magrib, Mehin merebahkan diri dulu di kasur. Langit-langit kamar menjadi atensinya sekarang. Sambil merenung dalam diam, ia pun sesekali memerhatikan dua cicak sedang mencari nyamuk.

Ia hanya tidak habis pikir oleh sikap Berliant barusan. Membentak-bentak, seolah perbuatan Mehin adalah kesalahan besar. Padahal, tidak ada salahnya pulang sendiri dengan angkutan kota, lagipula itu adalah hak Mehin menentukan pilihan. Tentunya, berbeda dengan Berliant. Gadis itu tidak terima dan mengatakan kalau Mehin anak yang kurang bisa menghargai saudara kandungnya sendiri.

"Astaghfirulloh ya, Allah," gumam Mehin, lalu ia pun beranjak ke arah toilet kamar. Berniat membasuh wajahnya supaya suramnya hilang sekalian ambil wudu.

WHEN I HATE MY SISTER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang