Chapter 19 -- Secuplik Fakta

6 1 0
                                    

Kamar indekos minimalis berlapis cat putih itu kini terdengar gaduh lantaran tiga orang remaja saling beradu kekuatan. Bukan main tonjok dan salah satunya ada yang terluka, melainkan game online Mobile Legend yang membuat mereka begitu.

"Sialan!" umpat Rafka begitu ia meluncurkan serangan, tetapi gagal karena musuh yang diserangnya terlalu besar kekuatannya.

Mehin menyunggingkan senyum. "Sabar atuh, masih ada kesempatan, kok!" Di satu sisi, Mehin tampaknya tidak ada masalah sama sekali. Sampai berapa menit kemudian, ia berseru sebab berhasil menerjang musuh bebuyutan hingga tewas di tempat.

"Ajib! Gua menang, cui!" seru Mehin tidak peduli oleh tatapan sinis dari Rafka yang duduk di sebelahnya. Sedangkan Anggit hanya geleng-geleng kepala melihat kehebohan itu.

Rafka berdecak kesal. "Itu karena tadi diriku sempet kalah. Makane kowe menang!" Ia tidak terima. Raut wajahnya berubah masam.

"Mbahmu! Enak aja sekate-kate. Emang, skill permainanmu itu di bawah rata-rata. Dah, lah, terima aja sama kekalahan. Sportif, Bro!" Cibir Mehin, masih dengan cengiran lebar menghiasi bibirnya.

Anggit menghela napas panjang. Lama-lama, ia tidak tahan mendengar keributan dari dua teman dekatnya itu. Ia pun bangkit berdiri, bermaksud ingin keluar sebentar mencari angin segar.

"Ndra, kamu nggak sinau, tah? Minggu depan bukannya OSN?" Melihat temannya santai bermain game dengan tidak mengenal waktu, Rafka malah waswas sendiri. Ya, walaupun ia tahu Mehin tetaplah Mehin si langganan paralel seangkatan.

Masih fokus menatap layar ponsel, Mehin menjawab, "Iyo, aku ini lagi suntuk aja. Pengen main game bentar, baru nanti belajar kalau niat." Game bukan hanya waktu istirahat Mehin dari acara belajar, tetapi juga pelepas penat akibat perseteruan dengan Berliant. Beruntung, Mehin bisa sejenak menepi dari keriuhan masalah dan indekos Rafka menjadi pilihan terbaiknya.

"Ngomong-ngomong, kamu kalau mau nginep bawa baju lah, Bro. Masa tas-tas, tok. Aku emoh minjemin pakaian dalem!" Rafka mencibir. Ia mendadak teringat oleh jumlah kaos serta pakaian dalam yang tidaklah banyak. Kalaupun, Mehin mau pinjam, sudah pasti ditolak mentah-mentah. Sebab, ini masalah privasi antar lelaki. Ha-ha.

Mehin mendengkus, kemudian ia menegakan tubuhnya, setelah tadi ada di posisi setengah rebahan yang agak membuatnya pegal linu sekitaran punggung ke pinggang.

"Idih, siapa juga yang mau pinjem daleman lu, yang ada ntar gatel-gatel!" cecar Mehin kelewat nyinyir. Satu toyoran pun mendarat apik pada kepalanya, itu dari Rafka yang sekarang bersungut-sungut.

Mendengar keributan dua temannya di kamar, Anggit pun masuk lagi. "Lagian, kenapa, sih, dirimu dadak nginep tempat Rafka? Emang di rumah ada masalah apa lagi?" tanyanya to the point.

"Nggak ada apa-apa. Aku bosen aja, pengen cari suasana baru. Dah, ah. Aku mau ambil barang-barang buat holiday di indekos Rafka, bye!" Mehin beranjak begitu saja ke arah luar kamar. Tas punggungnya sengaja ia tinggal dan hanya membawa dompet serta ponsel di saku celana.

"Bocah edan!" umpat Rafka dan Anggit bersamaan.

***

Setidaknya, pertemuannya dengan Septian memberikan secercah harapan. Berbagai nasihat serta motivasi sangat membantu Berliant dalam mengambil sikap. Setidaknya, untuk tidak terus mengomel apabila Mehin tidak menuruti apa maunya. Ya, walaupun masih terbilang berat. Sebab, ada satu alasan yang membuat Berliant begitu. Bukan hanya semata-mata melindungi sang adik laki-laki, tetapi lebih dari kenyataannya.

Begitu kakinya melangkah masuk, Berliant disambut oleh suara televisi yang menampilkan acara FTV harian. Ada Ana sedang duduk sendiri di sana, masih mengenakan pakaian dinasnya.

"Bu?" panggil Berliant, mendekati ibunya, kemudian duduk di sebelah persis usai menyomot potongan buah yang tersedia di piring kecil.

Ana menoleh sambil tersenyum lebar. "Eh, baru aja pulang, Ber? Tumben cepet." Alorji yang melingkar di tangan kiri ditiliknya sejenak. Masih menunjuk pukul empat sore.

"Iya, tapi nanti ada urusan di rumah sakit kedua, Bu. Soalnya, ada tindakan HSG dadakan."

"Oh, gitu." Sejenak, keduanya diam selagi menatap layar televisi yang berganti iklan minuman penyegar. Denting jam dinding pun menyelimuti keheningan. Hingga suara dehaman terdengar, datang dari Berliant.

"Ibu, kan, tiga bersaudara, 'kan? Kadang, capek nggak, sih, ngurus adek-adek? Apalagi, kalau misal salah satunya susah diatur." Tanya berkedok curhat. Itu yang membuat Ana otomatis tersenyum, meski samar. Ia pun paham arah pembicaraan ini akan ke mana.

"Ya, capek, Ber. Meskipun lahir dari rahim yang sama, tetap aja karakter kita, kan, beda-beda. Apalagi, sebagai anak pertama punya tanggung jawab yang besar. Sebagai contoh yang baik. Tempat tuntutan orang tua juga," jelas Ana panjang lebar.

Berliant mengangguk-anggukan kepala. Namun, dalam diam ia merasa Ana dan Novan tidak begitu menuntut dan mengekang soal apa yang ia jalani. Mereka kebanyakan memberikan fasilitas berupa ruang untuk belajar dan berkembang. Itu juga menjadi salah satu alasan kenapa Mehin bisa berlaku seenak jidat. Main game online seharian tanpa takut kena marah.

"Tapi, entah kenapa Ibu malah bersyukur dilahirkan menjadi anak pertama. Kenapa? Karena Ibu tahu rasa capeknya orang tua ketika membimbing anaknya untuk lebih baik. Ibu pun sering menjadi tempat berkeluh kesah mereka. Pokoknya banyak. Dari situlah Ibu tahu betapa mulianya anak sulung. Mereka punya tempat spesial di hati orang tua."

Berliant tertegun oleh perkataan Ana barusan. Ia bersyukur bertemu ibu seperti dirinya, meski faktanya ada sosok ibu kandung yang telah lama Berliant rindukan. Pertemuan mereka hanya berlangsung sebentar sebelum kecelakaan pesawat itu terjadi. Bahkan, untuk berkunjung ke makam, alih-alih sebagai tempat peristirahatan terakhir orang tuanya, Berliant pun tidak bisa melakukan itu. Jasad orang tua kandungnya telah ditelan lautan, tanpa bisa digapai kembali.

"Makasih ya, Tante Ana. Udah jadi orang tua yang super baik buat Berliant dan Mehin sampai detik ini. Aku nggak tahu mau balesnya gimana, selain beribu-ribu terima kasih dan maaf apabila sikap kita terkadang kurang mengenakan."

Ana menggeleng, kemudian merangkul erat Berliant. Ia tersenyum lebar. "Justru, Tante dan Om Novan yang bersyukur banget bisa diamanahkan untuk menjaga kalian berdua. Terlepas, dari usaha kita berdua untuk punya anak hingga akhirnya pasrah."

"Takdir Tuhan memang selalu dipenuhi oleh kejutan, Ber. Terima kasih, ya."

Di saat keduanya saling merangkul penuh kehangatan, rintik hujan perlahan terdengar bergemelatuk pada atap rumah. Namun, tidak hanya itu saja, seseorang tengah terhenti melangkah secara spontan tatkala mengetahui secuplik fakta terhadap hidupnya selama ini.

"Sebenernya, aku anak siapa?" gumamnya, kemudian berbalik arah ke luar rumah lagi. Raut wajahnya pun dipenuhi oleh kekecewaan dan amarah.

WHEN I HATE MY SISTER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang