Chapter 20 -- Batas Ambang Kesabaran

13 1 0
                                    

Semangkuk mi rebus dengan toping telur setengah matang telah terhidang sejak tadi. Namun, sang pemesan masih terdiam selagi memerhatikan arah jalanan yang sepi oleh kendaraan. Sesekali ia beralih pada kapas-kapas putih yang berada di langit sana. Pikirannya kini sedang melalang buana entah kemana. Apalagi teringat oleh perbincangan dari ibu dan kakak perempuannya ketika ia sempat pulang tadi, kemudian pergi lagi.

Bagi Mehin, keluarga adalah nomor satu. Terutama, kedua orang tua yang telah membesarkan Mehin dengan susah payah. Rela menunda keinginan demi memenuhi kebutuhan anak-anak mereka. Rela banting tulang agar kebutuhan dapat tercukupi secara layak. Rela memberikan banyak fasilitas dan ruang untuk anak berkreasi sebanyak mungkin.

Namun, apa jadinya jikalau pada kenyataannya, orang tua yang selama ini didambakan Mehin, malah menyembunyikan sesuatu yang bersangkut paut dengan hidupnya. Sebuah kebohongan besar yang sengaja ditorehkan untuk menyembunyikan semuanya.

"Sebenernya, orang tuaku masih hidup atau nggak?" gumamnya. Beberapa menit kemudian, seseorang datang dan duduk di kursi yang berada di meja yang sama dengan Mehin. Ia tidak langsung menyapa, melainkan menatap Mehin lekat sekaligus tersenyum simpul.

"Kalau mau cerita, cerita aja, Mehin. Aku dengerin."

"Ternyata, aku itu anak angkat, Mas."

Sedikit terhenyak, Septian tetap pada posisinya. Berusaha tidak begitu kentara memperlihatkan perubahan wajah. Sepulang kerja, ia mendapat pesan dari Mehin berupa permintaan untuk mendengarkan cerita, alih-alih sebagai tempat membuang keterkejutan yang baru saja datang tidak terduga.

"Aku bukan anak dari orang tuaku yang sekarang. Nggak ada yang pernah bilang soal ini." Mehin berujar lagi tanpa menunggu respons dari Septian.

Setelah kalimat terakhir diucapkan, bahkan terkesan Mehin sengaja berhenti untuk tidak melanjutkan, kini kedua orang itu dilanda keheningan untuk beberapa saat.

"Kamu tahu dari mana kalau orang tuamu adalah orang tua angkat?" tanya Septian hati-hati.

"Sebelum ke sini, aku sempet pulang, Mas. Terus, nggak sengaja denger ibu sama Mbak Berliant lagi ngobrol di ruang TV."

Meskipun Mehin belum pernah memberitahu siapa nama kakak perempuannya, Septian sudah paham arah pembicaraan ini ke mana. Apalagi tadi dirinya sempat berbincang bersama Berliant di kafe dan sekarang ia berganti menyempatkan diri bertemu dengan Mehin.

"Kamu denger obrolan mereka sampe habis, nggak?"

Mehin menggeleng. Terlanjur emosi, ia jadi tidak berpikiran secara jernih. Main pergi saja, tetapi sebenarnya ada rasa penasaran yang masih mengganjal.

"Udah terlanjur emosi, Mas."

"Menurutku, kamu harus tahu kelanjutannya. Baru kemudian bisa menyimpulkan tentang asumsi negatifmu itu. Pasti, ada alasan tertentu kenapa mereka nggak mau kasih tahu kamu."

Mendengar jawaban Septian, Mehin pun mengalihkan atensi dan beralih menatap semangkuk mi rebus yang mulai dingin. Uapnya tak lagi menguar keluar. Dalam hati ia membenarkan, tetapi terlalu gengsi untuk mengakui.

"Tapi, bukannya sama aja, Mas? Mau aku tau dan nggak, sama-sama menyakitkan akhirnya. Artinya, selama aku hidup aku nggak tau siapa orang tua kandungku, 'kan?"

"Nggak, Ndra. Ini kasusnya kamu nggak tahu apa kelanjutannya dan apa alasan sebenarnya."

Mehin terdiam. Ucapan Septian barusan ada benarnya. Sekarang, ia mulai berpikir selagi mengaduk-aduk kuah mi rebusnya. Sedangkan Septian, ia belum berniat bicara lagi. Pemuda itu kemudian beranjak, ingin memesan sesuatu terlebih dahulu. Sejenak meninggalkan Mehin yang masih merenung sendiri.

***

Ibu : "Kamu, kok, belum pulang, Ndra?"

Satu pesan itu sudah datang beberapa menit yang lalu, tetapi sengaja diabaikan oleh Mehin lantaran ia masih merasa kesal. Namun, rencana ia akan menginap di indekos Rafka tetap menjadi rencananya.

Begitu melangkah masuk, Mehin langsung dihadapkan oleh Berliant. Keduanya saling menatap, tanpa yang memulai bicara. Mehin pun berlalu saja ke arah kamarnya. Ia mengira Berliant akan bertanya macam-macam. Akan tetapi,  dugaannya salah. Sang ibu yang ikut masuk bersamanya ke kamar.

"Baru pulang, Ndra? Ada acara apa di sekolah?" tanya Ana sambil duduk di tepian tempat tidur. Sejujurnya, Mehin malas merespons. Lebih tepatnya, ia enggan bicara dulu dengan sang ibu. Namun, daripada terkesan tidak sopan, alhasil ia cuma berdeham tanda mengiyakan pertanyaan pertama saja.

Tanpa peduli ada Ana di kamarnya, Mehin pun gegas mengambil tas berukuran besar yang biasa ia gunakan untuk olahraga bulu tangkis di sekolah. Beberapa baju serta celana ia ambil dari lemari, lalu dimasukan ke tas.

"Lho, packing? Em—" Belum selesai bicara, Mehin sengaja memotong ucapan Ana.

"Mau nginep tempat temen, Bu. Kemungkinan tiga hari." Mehin tidak menyebutkan alasan utamanya.

Ana mengerutkan dahi. Ada sesuatu yang tidak beres batinnya. "Tumben, Ndra. Biasanya, kamu milih ndekem di kamar. Sekarang, kok, pake acara nginep segala?"

"Mau cari suasana baru, Bu," jawab Mehin singkat.

"Kamu jawab gitu, Ibu malah curiga. Apa ada masalah sama Mbak Berliant?" Pertanyaan Ana yang terlalu to the point itu sontak menghentikan Mehin dari aktivitasnya.

"Enggak, Bu. Intinya, Mehin mau cari suasana baru untuk beberapa hari."

"Suasana baru apaan? Bilang aja, kamu udah nggak betah di rumah gara-gara aku?" timpal Berliant. Tidak sengaja melintasi kamar Mehin dan ia memergoki adiknya sedang mengobrol bersama Ana.

Mehin menghela napas panjang. Sejatinya, ia enggan berdebat karena pikirannya sudah terlalu capek saat ini. Belum lagi, ia harus menetralkan hati usai mendengar sebuah fakta yang ada.

"Kok, diem? Ngaku aja, lah, Ndra!" Diabaikan begitu saja, Berliant makin memanas.

"Ber, jangan gitu. Mungkin Mehin ada urusan. Makannya mau nginep." Ana berusaha menengahi perdebatan.

"Mana ada, Bu! Udah jelas-jelas dia itu nggak betah di rumah karena ada aku. Nggak apa-apa, sih. Kalau bisa nginep yang lama sekalian, Ndra!" sindir Berliant, lalu ia terkekeh sinis.

Kesabarannya berada di ambang batas, Mehin memasukan sisa perlengkapanbya segera, kemudian menutup resleting tasnya dengan kasar.

"Iya, niatnya mau nginep lama. Lagian, di rumah ini aku bukan anak siapa-siapa. Cuma anak angkat yang nggak tau orang tuaku ke mana." Usai berkata begitu, Mehin berlalu saja keluar, meninggalkan Ana dan Berliant yang masih terpaku di tempat masing-masing.

Novan baru saja pulang, ia pun heran melihat anak bungsu laki-lakinya membawa tas besar menuju motor Scoopy. Ditambah, raut wajah Mehin memerah seperti tersulut emosi berlebihan. Hendak bertanya lebih lanjut, Mehin melajukan motornya tanpa menggubris Novan yang tengah berdiri di dekat pintu gerbang.

"Mehin!" teriak Berliant di ambang pintu. Ia menghela napas pelan tatkala Mehin sudah tidak ada di depan rumah. Tinggallah, Novan yang sedang menutup pintu gerbang.

"Eh, Mehin mau ke mana, toh? Kok, bawa tas gede banget. Ada acara apa?" tanya Novan seraya mendekati Berliant.

"Mehin kecewa, Pak."

WHEN I HATE MY SISTER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang