Chapter 3 -- Singgah Kopi

25 2 0
                                    

Aroma kopi bercampur dengan pengharum ruangan yang menguar ke seluruh sudut kafe bernuansa minimalis itu. Dindingnya dilapisi cat putih bersih, serta berhiaskan pigura abstrak yang sengaja digantung untuk menambah kesan unik dan estetik. Di sisi lain, gelak tawa terdengar bersahutan dari bangku pojok dekat jendela luar. Tiga orang laki-laki remaja sedang menertawakan sesuatu. Salah satunya ada Mehin, meskipun nyatanya ia lebih banyak diamnya.

"Parah banget kamu, Raf. Makannya, kalau nggak bisa pacaran, nggak usah coba-coba, dah. Cepu ya cepu aja," ucap Anggit sambil menepuk-nepuk punggung Rafka. Bermaksud menenangkan cowok itu, lantaran habis ditinggal pergi oleh gebetannya sendiri. Kasihan, tetapi mau bagaimana lagi ? Namanya juga masih bocah SMA. Belum serius-serius amat, lah, kalau menjalani hubungan asmara.

Rafka mendesis, lalu menepis tangan Anggit jauh-jauh. "Sialan, lu. Orang kita ndak pacaran, kok. Cuma dekat. Cuma teman biasa."

"Udahlah, mendingan sekarang kamu fokus sekolah dan belajar kaya Mehin, Raf. Biar, peringkatmu agak naik dikit." Kini, salah satu lengan Anggit bertumpu pada bahu Rafka. Tidak lupa, mukanya dibuat-buat saat bicara. Biar lebih menghayati, katanya.

Merasa terpanggil, Mehin sontak menaikkan kedua alisnya. Ia terkekeh, kemudian menggeleng pelan. Fokus belajar, ya? Sebenarnya, Mehin tidak terlalu fokus-fokus amat. Sudah dibilang, dirinya akan menikmati proses sampai akhir perjalanan. Mungkin, ke depannya bisa lebih serius dua kali lipat dari biasanya. Sebab, tujuan utamanya adalah merantau, alias minggat dari rumah. Agar tidak terlalu sering bertemu Berliant.

"Tolong, Bro. Aku dibandingin jelas jauh bedalah sama Mehin. Ibaratnya, ya ... Mehindra Syahreza itu adalah cowok ganteng, pintar, dan pastinya idaman para cewek di sekolah kita. Lah, aku? Mung gombal mukiyo." Rafka bicara sambil muncu-muncu. Berlebihan sekali dia. Wajar gebetannya pada minggat, kelakuannya saja begitu.

Mehin berdecak pelan. "Lebay kamu, Raf. Mana ada aku jadi idaman. Pacar aja kagak ada. Ngawur!" Boro-boro, pacaran, belajar saja dipantau. Siapa lagi kalau bukan Berliant yang jadi tokoh utama dari semua itu, heh?

"Sst. Mehin aja suka dipantau sama Mbak Berliant yang manis sekali itu, gimana mau ngedeketin cewek coba? Yang ada nyalinya ciut duluan!" Anggit terpingkal sendiri. Ia sampai memegangi perutnya yang terasa sakit karena tertawa terbahak-bahak.

Mehin tidak mengelak, apalagi menyangkal. Memang benar keadaannya begitu. Saking pedulinya, Berliant kerap memantau pergerakan Mehin secara detail, mirip CCTV. Apapun yang dilakukan cowok itu terkesan harus benar semua. Pokoknya, tidak boleh main-main.

Rafka berdecak, ia menyeruput Ice Americanonya sebentar, baru bicara.
"Eh, tapi aku iri karo Mehin. Diperhatiin banget sama kakak sendiri menurutku suatu hal yang langka. Soalnya, abangku, tuh, cuek pol. Neng umah isine neng kamar wae, ra nggenah," jelas cowok berkaus polo putih dilapisi jaket hitam itu sambil menggebu-nggebu. Sampai bahasa yang digunakan bercampur seenaknya sendiri. Terlalu menghayati memang.

"Bener, sih. Soalnya, jarang banget kakak dan adik itu akrab banget layaknya belahan jiwa. Entah, karena mereka gengsi atau gimana, nggak tahu, dah." Anggit menimpali seraya setuju dengan pendapat Rafka.

Sedangkan, Mehin tidak berniat merespons. Ia mengalihkan atensi pada pemandangan luar jendela. Jalanan yang dipenuhi lalu lalang kendaraan seolah menemaninya dalam kebimbangan. Di kala, dua teman dekatnya berpikir, bahwa punya seorang kakak yang perhatian adalah hal yang langka, ia tidak begitu. Mehin merasa sikap Berliant terlalu berlebihan, bahkan terkesan overprotektif. Padahal, seorang Mehin terbilang sudah cukup umur untuk menentukan apa yang dia mau. Lantas kenapa harus banyak aturan?

Dan, Mehin belum menemukan jawaban soal itu.

***

Tepat jam sepuluh malam, Mehin selesai melepas penat bersama dua teman dekat sedari SMP yang kebetulan kembali satu sekolah lagi di SMA, meskipun berbeda kelas. Setidaknya, Anggit dan Rafka tidak menolak ketika Mehin mengajak pergi untuk sekadar curhat atau mengurangi beban hidup seperti tadi. Walaupun sebenarnya, Mehin punya teman dekat di kelasnya, satu geng pula. Mereka pun biasa main game bersama.

Namun, itu belum cukup membuat Mehin nyaman untuk berkeluh kesah. Sebagai anak yang punya kepribadian condong ke Introvert, Mehin sangat selektif memilih tempat curhat. Syarat yang paling utama adalah nyambung dan sefrekuensi. Faktanya, baru Anggit dan Rafka yang memenuhi persyaratan itu. Lainnya, hanya formalitas belaka.

Sepuluh menit berlalu, motor Scoopy cokelat muda itu telah sampai di depan gerbang rumah bercat abu-abu muda. Mehin tidak langsung masuk, ia malah diam sejenak sambil menghela napas panjang. Cowok itu sedang mempersiapkan hati dan mental menghadapi Berliant—kalau kakaknya itu mengomel lagi.

Suasana sepi menyambut Mehin begitu masuk lewat pintu depan. Biasanya, akan ada ibu atau bapaknya sedang menonton siaran televisi di ruang keluarga sampai malam, tetapi kali ini tidak. Hanya terdengar denting jam dinding yang menempel tepat di atas lemari kaca tempat penyimpanan piring dan gelas antik yang sengaja dikoleksi oleh Ana.

"Mbak Ber udah tidur juga kali, ya?" gumam Mehin sambil berjalan ke arah kamarnya, tetapi spontan langkahnya terhenti begitu melintasi area Berliant berada. Pintu kamar berlapis cat putih bersih itu terbuka separuh. Diam-diam, Mehin mengintip dari luar. Nyatanya, Berliant masih terjaga. Gadis itu sedang menatap layar komputer berukuran 15 inch. Jemarinya pun bergerak cepat, mengetik hasil bacaan radiologi dari beberapa foto rontgen yang baru saja dikirimkan dari tempat kerjanya.

"Sial, mau tidur jam berapa coba ini? Enak kali ya jadi Mehin. Bisa bebas ke mana aja tanpa mikirin beban hidup," gerutu Berliant yang terdengar oleh Mehin, kemudian dirinya menjatuhkan kepala ke meja sejenak sebelum berkutik dengan pekerjaannya lagi. Sebenarnya, Berliant kesal lantaran gagal pergi bersama Putri tadi sore. Padahal, itu adalah kesempatan emas Berliant untuk healing tipis-tipis. Setidaknya, ia bisa beristirahat sebentar dari banyaknya pekerjaan yang menumpuk.

Merasa ada yang memerhatikan dari arah pintu, Berliant melirik sekilas dan beruntung Mehin dengan cepat berpindah posisi. Ia lalu memegangi dadanya, terlalu speechless. Beruntung, Mehin tidak ketahuan sedang mengintai kegiatan Berliant. Buru-buru, cowok itu pun pergi ke kamarnya daripada keadaan bertambah runyam.

"Huh, hampir aja. Bisa apes, dah, kalau ketahuan," ujar Mehin hendak merebahkan diri di atas tempat tidur, tetapi sebelum itu ia tidak sengaja melihat sebuah brosur tergeletak di atas meja belajarnya.

"Sekelas berlima. Benefit lainnya berupa pembelajaran yang intensif ...." Mehin membaca informasi yang tertera di brosur berwarna cerah ceria itu. Tidak berlangsung lama, ia melempar asal brosur yang barusan dipegangnya ke sembarangan tempat. Setelahnya, Mehin menjatuhkan tubuhnya ke atas tempat tidur, kemudian menatap langit-langit kamar.

"Mending tidur nggak, sih?" gumamnya kemudian.

WHEN I HATE MY SISTER [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang