Beberapa hari ini, Bianca disibukkan dengan pekerjaan gandanya. Tak lain tak bukan ialah membersihkan kamar milik Jamal. Sepulang bekerja, gadis itu sudah dijemput sang kekasih. Dalam beberapa hari, kamar kotor tersebut sudah berubah menjadi kamar yang layak huni. Tak lupa Bianca menaruh pengharum ruangan sebanyak mungkin, agar hewan-hewan tak mendatangi kamar Jamal.
Sesampainya di kamar kos, Bianca segera menaruh segala produk perawatan kulit yang ia simpan di tas besar.
"Ca, mana nomor HP kamu? Sini aku simpan. Biar enak kalo aku kangen tinggal nelpon."
Bianca mengernyitkan alis. Darimana pria ini dapat uang? Lebih mengejutkan lagi, ponsel yang dimiliki Jamal adalah ponsel keluaran terbaru. Jangan-jangan itu ponsel hasil mencopet!
"Kamu nyopet lagi, ya?"
"Sembarangan! Ini aku baru beli ya! Sebulanan ini aku sama kamu terus, gimana mau nyopet!"
"Bohong! Pasti nyopet!"
Jamal berdecak sebal. Susah sekali meyakinkan kekasihnya. Walau dulu pencopet, bukan berarti selamanya ia akan menjadi tukang copet.
"Kalau kamu nggak percaya, aku bakal tidurin sekarang juga."
Bianca memukul lengan Jamal dengan keras. "Nggak nyambung, deh! Kalau nggak nyopet, dapat uang darimana kamu? Kan kamu miskin."
"Ya kerjalah gue! Enak aja lo ngatain gue miskin! Sekaya ape lo?"
Bianca meremas bibir Jamal dengan jemarinya. Ada saja pernyataan yang membuat dirinya kesal. Mereka ini pacaran atau tidak, sih?
"Ngeseliiin!"
Tanpa memedulikan wajah kesal Bianca, pria itu lantas meraih ponsel sang kekasih. Menyimpan nomor kontak miliknya. Tidak lupa ia simpan dengan simbol hati yang banyak. Jangan salah, ia sudah belajar bermain sosial media berkat Bianca. Namun akhirnya memutuskan untuk tidak membuat akun sosial media. Ribet, katanya. Dia kan bukan artis. Hanya saja, banyak sekali pesan laki-laki pada kolom pesan milik Bianca. Secara reflek, pria tersebut memblokir para pria hidung belang itu. Tak lupa memberinya salam perpisahan berupa umpatan.
"Jamal, ayo sekarang waktunya luluran."
Bianca sudah mengeluarkan satu botol lulur miliknya. Wajahnya nampak sumringah sekali. Setelah ini pasti tubuh Jamal akan wangi.
"Luluran?" Tanya dengan bingung. Baru pertama ia mendengar kata lulur.
"Iyaaa. Nanti kamu scrub kulit badan, ingat ya kulit badan, bukan wajah! Biar dakinya keangkat."
Jamal bergidik ngeri. Apalagi ini? Bukannya mandi saja sudah cukup? Cukuplah dia menjadi bahan eksperimen produk perawatan wajah milik Bianca.
"Yang, aku kan udah mandi. Berarti udah bersih. Nih, coba cium aku. Nggak bau lagi, kan?"
"Kalau nggak mau, aku ngambek."
Giliran Jamal yang berwajah masam. Bianca ini hobi sekali mengancamnya. Sebentar-sebentar merajuk, memangnya Bianca ini balita apa bagaimana, sih? Kok seperti Jamal mengasuh anak kecil.
"Sama kamu, ya. Berdua luluran di kamar mandi."
"Ih, itumah kamu pasti nanti minta yang lain. Awas kalo sentuh-sentuh aku nanti!"
Sebenarnya memang itu niatnya. Rugi dong kalau di kamar mandi berdua tapi tidak melakukan apapun. Apalagi melewatkan tubuh mulus sang kekasih.
"Enggak, kok. Beneran, Ca. Tapi aku minta cium dulu sebelum luluran."
Bianca mendesah dengan berat. Tubuhnya bergerak menuju pangkuan Jamal. Lalu tangannya bergerak untuk memeluk leher pria itu. Bibirnya mulai bergerak untuk melumat bibir penuh sang kekasih. Jamal tentu senang mendapatkan ciuman dari Bianca. Kalau masalah seperti ini, tidak perlu susah-susah membujuk. Sepertinya agenda luluran itu dilaksanakan nanti saja. Sekarang waktunya Jamal memberikan layanan pijat plus-plus kepada sang kekasih.