+ Cemen

575 119 31
                                    

Alden tumbuh besar layaknya balita lain. Makin memperlihatkan bahwa bocah itu adalah wujud fotokopi dari Jamal. Karena makin bertambah hari, bocah itu semakin menyebalkan seperti sang ayah.

Seperti beberapa hari ini, Alden terus mengamuk karena akan diberikan suntikan vaksin. Bocah yang akan segera memasuki masa sekolah taman kanak-kanak tersebut berusaha menghindar sebisa mungkin.

Membuat kepala Bianca pening. Belum lagi mengurus dua bayi kembarnya yang belum genap setahun tersebut. Tambah peninh Bianca rasanya. Ternyata si kembar juga tak berbeda, sifat dominan dari Jamal turun kepada mereka. Ya ampun, salah apa Bianca ini.

"Alden nggak mau disuntiiik! Pokoknya Alden nggak mauuu!"

Bocah itu sudah berdiri di atas meja dengan tangan terlipat di atas dada.

"Alden, masa kalah sama adik? Andra sama Gamma berani disuntik. Nggak sakit, kok. Kayak digigit semut rasanya." Bujuk Bianca.

Kepala Alden menggeleng ke kanan dan kiri. "Bohooong! Semut itu kecil tapi suntik itu besar! Mami liar! Alden tidak sukaaa!" Seru Alden yang tangannya sudah memeragakan ukuran suntik dengan kedua tangan.

Bianca saat ini hanya menepuk jidat. Si kembar masih tidur, setidaknya tidak terlalu rusuh. Hanya tuyul di atas meja yang menjadi masalah sekarang.

"JAMAAAAL!"

Bianca memanggil bala bantuan terakhir yang mampu mengatasi Alden. Dengan malas Jamal menghampiri istri dan anak sulungnya. Melihat pemandangan biasa dimana Alden hanya mengenakan celana dalam, dengan baju yang ia ikat di leher seperti pahlawan super. Anak siapa sih sebenarnya Alden itu?

"Pokoknya pas aku selesai siap-siap, Alden harus mau berangkat vaksin. Aku nggak mau tau!"

Jamal menggaruk tengkuknya yang tak gatal. Anak sulungnya ini mengapa keras kepala sekali? Ada saja alasan untuk melawan ucapan Bianca. Menurun sifat siapa, sih?

"Heh, ngapain nggak mau vaksin?" Tanya Jamal yang mendudukkan tubuh di kursi.

Alden tidak menjawab. Bocah itu memalingkan wajah dengan masih melipat kedua tangan. Mirip Bianca saat sedang merajuk.

"Takut ya sama suntik?" Jamal kembali bertanya, namun dengan nada menggoda.

Alden tidak menjawab lagi. Bibirnya sudah bergetar, benar ia takut jarum suntik. Tapi lelaki tidak boleh takut apapun. Apalagi Alden adalah pahlawan super yang kuat. Tapi, tapi, tapi, dokter menakutkan! Memakai baju warna putih lalu menusuk kulit. Nanti kalau Alden berubah jadi monster, bagaimana?

"Huuuu, cemen! Masa superhero takut sama suntik. Gimana mau lawan penjahat? Nanti kalau penjahatnya bawa suntik, superhero-nya pingsan, wleeek."

Dibilang penakut, Alden mengeluarkan tangisannya. Bayi besar itu turun dari meja. Memukul-mukul kaki Jamal. Ia tak terima dibilang penakut! Alden masih kecil, jadi wajar takut mendapat suntikan! Uh, dasar ayah menyebalkan.

"Alden nggak cemen, Yah! Ayah yang cemen!  Ayah, Ayah, Ayah! Pokoknya Ayaaaah! HUAAAA!"

Kan, mulai mengeluarkan jurus andalan menangis. Mana jelek lagi saat menangis. Seperti cumi-cumi wajah Alden sekarang. Siapapun tolong rawat Alden saja, kalau perlu bawa si kembar. Agar Jamal bisa berduaan dengan Bianca sepanjang hari.

"Heh, diem. Jangan nangis terus. Ayah bakalan tetep bawa Alden buat vaksin."

Makin tantrum lah Alden. Kini dia menendang-nendang lantai lalu berguling untuk dan mengencangkan tangisan. Jangan sampai si kembar bangun. Jamal tidak ingin rumahnya menjadi ajang adu tangisan.

Pada akhirnya Jamal berhasil membawa Alden untuk disuntik. Tidak peduli anaknya menangis hebat. Anak itu datang ke dokter tanpa mengenakan baju. Hanya celana dalam saja. Bianca pun sudah pasrah, biarlah. Sesuka Alden saja, ia lelah.

Steal My Heart [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang