Rasanya, Jamal ingin memukul segala sesuatu di depannya. Bianca-nya lepas lagi. Sudah benar harusnya dia mengantar gadis itu pulang. Kalau perlu, ia antar sampai di depan orang tua gadis itu.
"BANGSAT!" Umpatnya dengan tangan yang terkepal.
Harus bagaimana lagi ia akan menemui Bianca. Dahulu, dirinya menunggu di kereta sesuai dengan waktu saat pertama kali bertemu dengan Bianca. Dirinya berhasil, membuntuti Bianca hingga tempat kerjanya. Yang ia yakini bahwa kekasihnya itu tak benar-benar bekerja. Sudah satu minggu Jamal menunggu di kafe milik Lisa. Tak jua dia temui batang hidung wanita cantik tersebut. Menunggu di stasiun juga tak berguna. Dirinya bahkan lebih kesulitan menemukan satu wanita diantara ribuan manusia.
Pria itu pada akhirnya hanya duduk menunggu Bianca dari pagi hingga kafe tersebut tutup. Sampai Lisa yang notabennya sahabat dekat dari Bianca, mengusirnya. Jamal tetap tidak bergeming, ia yakin Bianca akan datang. Sebab tak ada jalan lain. Ponsel pun Jamal tak punya, oleh sebab itu ia tak dapat menggali informasi mengenai sang kekasih. Orang yang mengenalnya hanya bisa mengiriminya pesan lewat e-mail. Itu pun Jamal jarang membukanya.
Matanya yang tajam, menangkap siluet yang tak asing. Dalam hatinya, pria tersebut bernafas lega. Namun rasa kesal juga menyelimuti kepalanya. Jamal dapat melihat Bianca yang takut saat mereka saling bertatapan mata. Masih saja ketakutan, padahal sudah beberapa kali bertemu! Memangnya dia ini setan apa gimana? Jamal segera bangkit dari kursi yang ia duduki. Setengah berlari untuk menghampiri Bianca yang memundurkan langkahnya dengan takut-takut.
"CACA! Jangan kabur!"
Bianca tersentak. Terkejut dengan panggilan dari Jamal yang terdengar bagaikan bentakan di telinganya. Tubuhnya bergetar karena takut. Jamal yang melihat itu buru-buru menggenggam kedua telapak tangan sang kekasih. Amarahnya sudah menguap entah kemana, berganti dengan perasaan khawatir.
"Aku nggak bermaksud buat ngebentak. Kamu jangan takut, Ca."
Jamal segera menarik tangan Bianca menuju tempat makan terdekat. Tak ingin hubungan asmaranya menjadi tontonan publik. Jamal terus menggenggam tangan Bianca yang terasa dingin. Astaga, semenakutkan itukah dirinya?
Setelah menemukan tempat makan yang menurut Jamal sesuai dengan Bianca, pria itu mendudukkan tubuh sang kekasih. Gadis itu masih tertunduk. Tangan yang semula menggenggam jemari Bianca, kini beralih mengelus surainya. Menyingkirkan beberapa rambut yang tidak rapi.
"Kenapa kamu ngehindarin aku lagi? Kan kita udah sepakat pacaran, hm?" Tanyanya dengan lembut, takut Bianca menangis lagi.
Bianca mendongak, genangan air mata sudah menumpuk di pelupuk matanya. Membuat Jamal makin merasa bersalah. Padahal yang seharusnya marah itu dirinya.
"Aku ... takut."
Suara Bianca terdengar kecil, tak berapa lama air matanya mengalir. Segera Jamal mengusap dengan lembut. Meraih tubuh sang kekasih, untuk dibawa menuju pelukannya.
"Kenapa takut sama aku? Kan aku nggak ngapa-ngapain."
Jamal dapat merasakan kepala gadis itu menggeleng. "Kamu pasti marahin aku kalau ketemu. Aku takut dimarahin."
"Enggak, aku nggak bakal marah. Asal kamu jangan sembunyi terus. Aku nunggu kamu tiap hari."
Hening, Jamal masih menunggu Bianca untuk bercerita.
"Kamu kenapa pengen jadi pacar aku? Kita kan baru bertemu sekali, tapi kamu udah ngajak aku pacaran. Kata Lisa, itu namanya cowok red flag. Kamu mau mainin aku, ya?"
Jamal menjadi gemas sendiri. Red flag? Tetek bengek apa lagi itu? Jamal tidak paham. Dia kan tidak bawa bendera merah. Aduh, ternyata Bianca takut dimainkan. Jamal harus menenangkan kekasihnya. Mana berani ia bermain-main dengan anak orang. Kalau di ranjang, baru ia mainkan.