Beberapa waktu terlewat, Bianca masih terbayang adegan panasnya bersama pria asing yang mengaku bernama Jamal. Bagaimana Bianca bisa lupa, pria itu memberikan kenang-kenangan berupa tanda cinta hampir di seluruh tubuh atasnya.
Sebagai wanita—ehm sekarang Bianca sudah resmi melepas masa gadis—yang waras, tentu Bianca menggunakan jurus langkah seribu alias kabur. Memberikan sejumput uang sebagai bayaran rasa maaf dari Bianca yang memaksa Jamal untuk menyetubuhinya. Seharusnya tidak perlu, toh mereka berdua menikmatinya. Gegara uangnya melayang, wanita itu berbesar hati untuk menjual koleksi barang mewahnya lagi. Sekarang Bianca hanya bisa menggigit jari. Jika terlalu banyak menjual barangnya, maka ia akan benaran jatuh miskin. Bahkan gaji di kafe milik Lisa tak sampai seujung kuku jatah jajannya dahulu.
Wanita itu hanya mampu menghela nafas lelah. Ya sudahlah, toh waktu tak dapat diputar. Yang terpenting Bianca sudah merasakan rasanya berhubungan badan. Ternyata memang enak, meski lelahnya luar biasa. Bianca menoleh ke kanan dan kiri, menunggu kereta cepat yang ia tunggu. Betapa terkejutnya saat melihat pria yang tidak asing, menatapnya dengan tatapan berapi-api. Gugup, wanita bertubuh ramping itu segera berlari menuju kerumunan manusia. Di pikirannya, kumpulan manusia itu dapat membuatnya merasa aman.
Bianca terus merapalkan doa di dalam batinnya. Wajahnya pucat, keringat membanjiri pelipis miliknya. Ya ampun, kenapa pria itu terlihat seperti ingin memakannya? Kan dirinya sudah memberikan uang sebagai tanda minta maaf!
"Mamaa, aku takut."
Tambah panik ketika melihat Jamal semakin dekat. Nafasnya semakin memburu. Waktu berjalan begitu lambat, sial! Kereta yang dia tunggu kemana, sih? Masa sopirnya mampir untuk makan dahulu? Bianca sudah lemas di tempat. Satu langkah menuju pingsan. Tidak lucu kalau ada berita 'wanita cantik seperti boneka, tidak sadarkan diri di stasiun' hah yang benar saja.
"Ya Allah, tolong hambamu ini. Selamatkanlah hambamu yang paling cantik, menggemaskan dan anggun ini. Amin."
Tubuh Bianca menegang, lengannya ditarik oleh Jamal. Wanita itu ingin melawan, namun usahanya sia-sia. Tenaga Jamal begitu kuat tak dapat dilawan oleh Bianca.
Ya Allah, lindungi hamba dari pria penyamun ini. Hamba masih ingin membeli tas baru.
Bianca memberontak ingin dilepaskan. Namun cengkraman dari Jamal begitu kuat. Alhasil Bianca hanya terdiam pasrah saja.
"Kita masih ada urusan, Caca."
Bianca terus menggeleng, "Nggak! Urusan kita udah selesai. Lepasin! atau aku teriak!"
"Lepasin! Aku mau kerja!"
"Oke."
Tanpa Bianca duga, Jamal menggandengnya menuju kereta yang biasa dia naiki. Pria itu menggenggam erat tangan Bianca hingga kereta yang mereka naiki sampai ke tujuan. Eh tunggu dulu? Darimana Jamal tahu tempat kerjanya?
Jamal mengantar Bianca menuju kafe milik Lisa yang masih sepi. "Aku jemput pas pulang. Jam 3, kan?"
Jamal meninggalkan Bianca melongo sendirian. Tak berselang lama, Lisa menghampiri sang sahabat tersebut. Menepuk bahu Bianca, sebab sahabat polosnya itu terlihat seperti sedang kesambet.
"Wih siapa tadi? Pacar lo, ya? Pinter juga lo milihnya. Cakep banget, meski bajunya kayak tukang copet."
Tidak meleset, tebakan Lisa benar. Jamal memang tukang copet. Bianca memandang Lisa dengan tatapan tidak suka. Apanya yang pacar! Bianca tidak sudi pacaran dengan pencopet.
"Najis! Amit-amit gue pacaran sama dia!"
"Halah! Sok amit-amit segala. Kalo ngambek nggak usah kayak gitu. Emangnya gue nggak tau apa, lo kan gak pernah deket sama cowok. Ngapain dia nganter lo kalo bukan pacar!"