Sebagai perayaan atas sembuhnya Jamal, pria itu mengajak sang istri menuju Puncak. Awalnya Bianca menolak, namun sang suami tetap memaksa. Bukannya apa, hamil muda membuat penciumannya berubah layaknya anjing. Super sensitif sekali. Naik mobil mual, menghirup aroma makanan mual, melihat Jamal mual, mencium Jamal mual. Entahlah, ada yang menyebut nama sang suami saja sudah membuat Bianca mual. Dari radius beberapa meter, perut Bianca rasanya sudah teraduk jika mendeteksi kehadiran Jamal.
Itulah yang menyebabkan Jamal begitu memusuhi bayi di dalam kandungan Bianca. Dia yang mencetak, kenapa si bayi malah tidak menyukainya? Jamal ingin agar bayi itu segera lahir, akan ia beri pelajaran pada anaknya tersebut. Masih kecil saja sudah menyebalkan, apalagi jika tumbuh dewasa. Anak siapa sih sebenarnya?
"Jamal! Jauh-jauh ih!"
Bianca sudah lari terbirit-birit menuju wastafel. Kembali memuntahkan isi perutnya. Ternyata Jamal menulikan pendengaran, pria itu malah memeluk Bianca dari belakang.
"Ya ampun, kamu nggak kasian apa sama aku yang mual? Jauh-jauh dari aku!"
Calon ayah itu hanya menggeleng. Tambah mengeratkan pelukannya. Tidak mau berjauhan dari sang istri. Mereka bahkan sudah menikah, jadi tidak ada alasan untuk saling menjaga jarak.
"Nggak bisa dong, Sayang. Masa aku jauhan sama istri sendiri. Aku kan maunya sama kamu terus."
Bianca membalik tubuhnya, lalu menatap sang suami dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Jujur saja, tak nyaman merasakan perut yang begitu mual. Dokter berkata bahwa Bianca harujs melewati fase trimester pertama dahulu agar mual-mual tersebut hilang.
"Perut aku mual banget, padahal aku mau makan." Ucapannya terdengar lirih.
Jamal membelai wajah pucat milik istrinya. Menatapnya penuh sayang. Mengusap air mata yang mulai mengalir deras. Jamal tidak tahu sesakit apa rasanya. Dirinya hanya mampu menenangkan sang istri.
"Kamu yang sabar, Sayang. Sini aku bisikin bayinya biar nggak bikin maminya mual."
Jamal berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan perut datar Bianca. "Baby, tolong buat Mami seneng, ya. Kasihan Mami mual terus, susah kalau mau makan. Nanti kamu nggak gemuk loh kalau Mami nggak makan." Berlanjut Jamal mengecup perut tersebut.
Bianca tertawa pelan. Lalu balas membelai rambut sang suami. Ia merasa perutnya sudah tak semual tadi.
"Ayo kita pergi, Ca. Naik motor aja, ya. Biar kamu nggak mual."
Jamal segera mengambil jaket tebal untuk melindungi tubuh sang istri dari angin jalanan. Sepanjang perjalanan, Bianca memeluk sang suami dengan erat. Sesekali Jamal mengelus tangan yang memeluknya. Perjalanan kali ini terasa begitu menyenangkan.
***
Bianca tidak tahu kemana Jamal akan membawa tubuhnya. Pria itu masih saja bungkam ketika ditanyai. Bianca diam setelahnya, hanya mengikuti kemana Jamal akan membelah jalanan.
Ketika sampai, pria itu menggandeng Bianca. Mereka berdua sampai di tempat yang ingin Jamal tuju. Entahlah, mereka berada di lahan perkebunan atau persawahan. Bianca tidak bisa membedakannya. Wanita itu terus berjalan mengikuti sang suami.
Matanya menatap takjub taman bunga yang menurutnya begitu indah. Mulutnya tertutup tangan, saking takjubnya. Bianca menoleh ke arah Jamal yang menatapnya pula. Matanya begitu berbinar, bukan bersedih namun penuh haru kebahagiaan.
Bianca berlarian menuju taman tersebut. Menghirup berbagai aroma segar dari bunga yang mekar dengan indah. Tak pernah terbayang bahwa Jamal akan memberinya kejutan seperti ini. Memang Bianca sekalipun sudah tak pernah lagi mengharap adanya adegan romantis dari hubungannya bersama calon ayah tersebut. Mengingat sifat Jamal yang memang bukan tipikal orang mudah tersentuh dan tertarik dengan hal yang menurutnya tidak penting.