IV. Menjadi Antagonis?

26 6 4
                                    

⚠️content slight of toxic relationship

"Menarik." komentar sang aktris ketika mengetahui sedikit spoiler tentang peran barunya.

Hanya ada dirinya, Odille, dan perias wajah di ruangan rias. Sambil mendengar penuturan Odille, ia memejamkan sebentar matanya yang sayu. Wajahnya yang pucat kini sedang dipoles agar ketika bertemu dengan penonton terlihat bugar kembali. Hari ini filmnya rilis perdana di seluruh bioskop New York. Rencananya, ia bersama dengan timnya akan mengunjungi bioskop secara acak untuk memberikan kejutan kepada penontonnya.

"Nanti tolong berikan naskahnya padaku, ya. Aku ingin mengerti jalan ceritanya sebelum reading bersama pemain yang lain."

"Ada di mobil. Kau bisa membacanya nanti."

"Thanks."

Selama wajahnya dipoles, dalam hati ia berharap agar peran yang akan ia bawakan memiliki kemiripan dengan cerita hidupnya. Setidaknya, ia ingin menunjukkan totalitas kerja sekalian meluapkan emosi yang tertahan selama ini. Menjadi tulang punggung keluarganya yang tercerai berai karena krisis ekonomi yang tidak mumpuni sangat berat. Menghidupi kebutuhan keluarganya yang berubah drastis sejak ia sukses besar di dunia peran juga berat. Ia berjuang seorang diri untuk membuktikan bahwa dia bisa seperti apa yang ia impikan.

Terbukti, dia bisa. Dia memang bisa.

Ia tidak lahir dari keluarga yang harmonis dan penuh cinta. Itu sebabnya, Melanie dengan mudah terbuai dengan perlakuan Sergio kepadanya. Seperti manusia yang hidup bersosialisasi, Melanie butuh seseorang yang mampu memberinya kekuatan. Ia butuh seseorang disampingnya agar tahu bahwa dia hidup. Dia bukan mesin pekerja yang hanya menghasilkan uang semata.

Sayangnya, bukan begitu cara kerja dunia.

Dibalik kebahagiaan yang ia dapat sejak menjalin kasih dengan Sergio, terselip pengingat ringan agar selalu ingat tanah yang dipijak. Sergio memang mencintainya mati-matian. Mendukung kegiatannya disela kesibukannya menjadi model. Menjadi tamengnya jika ada yang berani mengusiknya. Dengan cintanya yang begitu besar, Sergio merasa bahwa Melanie adalah miliknya. Melanie kesayangannya tidak boleh ada yang menyakitinya atau bahkan mendekatinya barang sejengkal.

"Apa kau sudah menyelesaikan masalahmu semalam?"

"Masalah yang mana?"

"Ya ampun, memangnya ada berapa banyak masalahmu, Mel?" tanya Odille, prihatin dengan aktrisnya.

Banyak.

Namun wanita rambut sebahu itu memilih untuk tidak menceritakan masalahnya sebab ia tahu, setiap orang punya masalah masing-masing. Melanie tahu menjadi manajer juga sama beratnya seperti dia. Dia hanya tidak ingin menambah beban pikiran Odille saja.

"Dengan si serigala itu. Semalam dia terlihat mengamuk di lobi." lanjut Odille sebab yang ditanya tak kunjung memberi jawaban.

Terdengar riuh suara dari balik pintu membuat Melanie membuka matanya. Mencari tahu apa yang sedang terjadi. "Hai, sayang." Si serigala yang memaksa masuk ruangan Melanie berdiri di depan pintu. Lengkap dengan kalung staf dan dua gelas caramel machiato. Satu untuk kesayangannya, satu lainnya untuk dirinya sendiri.

"Panjang umur." gumam Odille seraya memalingkan wajahnya.

"Bagaimana harimu? Sudah lebih baik?" Hanya dengan dua langkah besar, Sergio bisa mencapai tepat disamping tempat duduk Melanie. Menyingkirkan perias yang sibuk memoles wajah Melanie.

"Keputusanku tidak berubah, Gio." dengan tegas, Melanie memberanikan diri menatap pantulan dirinya dalam manik hitam pekat milik Sergio.

Dalam satu hentakan kasar, kursi Melanie sudah berputar menghadap ke arah cermin yang memantulkan bayangan dirinya dalam dekap Sergio. "Lihat!" titah Sergio dengan suara yang berat.

Trading the Spotlight (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang