Melanie termenung, ia masih mencerna apa yang baru saja terjadi. Ia mencipta jarak dari Fabian. Suite room yang luas mendadak penuh dengan kecanggungan. Terlebih, Fabian meminta Odille dan Nigel meninggalkan mereka tepat setelah Sergio muak dengan Melanie dan Fabian. Beruntung kecanggungan hanya bertahan sepersekian menit sebelum akhirnya Melanie berdehem dilanjutkan dengan Fabian yang berusaha meluruskan maksudnya dibalik kejadian itu. Bukan sengaja ia lakukan, ia hanya ingin Sergio pergi dari hidup Melanie dan juga dirinya.
"Maaf, aku sudah lancang." ujar Fabian seraya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Aku mengerti. Terima kasih sudah membantu." ini bukan yang pertama kali bagi Melanie. Bagaimana pun, ia sudah melalui proses syuting adegan yang mirip dengan kejadian yang baru saja ia alami. Seharusnya, ini bukan masalah yang besar. Ini hanya bagian dari sandiwara yang ia ciptakan bersama Fabian. Namun sialnya, hati dan pikirannya sedang tidak ingin bekerjasama.
Fabian menghampiri tempat Melanie berada seraya memberikan minuman kaleng yang ada di kulkas mini hotel. "Semoga saja setelah ini dia tidak mengganggumu lagi." yang ditanggapi dengan anggukan lemah dari Melanie.
"Entahlah. Aku tidak yakin dia akan menyerah dengan mudah." senyum getir itu lagi yang Fabian lihat. Setelah beberapa bulan terakhir ia hanya melihat senyum bahagia yang pura-pura, kini ia melihat bentuk asli dari senyum itu.
"Kalau aku boleh memberimu saran, jangan dekat dengan pria Italia."
"Kau sedang membicarakan dirimu sendiri?"
"Kalau kau menanggap demikian. Kami, orang Italia tidak mudah melepaskan apa yang sudah ada dalam genggaman."
"Tapi setidaknya kau berbeda." ucap Melanie, disusul dengan satu teguk lolos dari kerongkongannya.
"Mudah sekali menilai seseorang dari luarnya saja." Fabian menggeleng heran.
Hening sejenak, mereka memberi ruang pada pikiran yang sedang mengolah kata menjadi frasa. Baik Fabian maupun Melanie, keduanya kini tengah duduk sembari memandangi keramaian dari kaca hotel. "Aku juga pernah berkencan. Dengan orang Italia. Dia yang memintaku untuk selesai karena ...," tidak bisa meneruskan kalimatnya, Fabian mengembuskan napas panjang seolah kata-kata yang akan keluar dari mulutnya seberat bench press yang biasa ia mainkan untuk melatih bahu dan lengan atasnya.
"Karena dia lebih memilih bersama dengan putra rekanan ayahnya, yang punya penghasilan tetap dan tidak keliling dunia dalam waktu singkat. Dia sangat benci ditinggalkan, tapi justru dia yang meninggalkanku."
"Dan kau tidak terima?"
Fabian terkekeh, menyadari betapa bodoh dirinya dulu. "Ya. Dia cinta pertama dan aku rasa yang terakhir juga."
Melanie jadi mengerti penyebab Fabian menutup dirinya seperti hidup dalam gua. Jauh dari sorotan meski ia memiliki kemampuan yang sama persis seperti Jonathan, atau bahkan lebih pesat ketimbang Jonathan. Mengandalkan cahaya dari lampu gedung yang ada di seberang kamar Fabian, Melanie mengamati wajah Fabian dari tempatnya.
"Bagaimana akhirnya kau bisa menghilangkan perasaan itu?"
"Bukan menghilangkan, aku menghapus sepenuhnya perasaan yang sudah delapan tahun aku jalani. Seperti yang kau katakan, ini tanda bahwa aku hidup."
"Kalau begitu, aku tidak melihat kesamaan antara kau dan Sergio. Cintamu tulus untuknya, sementara dia hanya berdasar pada napsu."
"Aku tidak sedang menyamakan diri dengan bajingan itu, Mel. Aku hanya tidak ingin kau mengulang kesalahan yang sama."
Sorot matanya tulus mengatakan itu pada Melanie. "Apa kau takut jatuh cinta, Fabian?" pertanyaan terakhir yang membuat Fabian bergeming tak bersuara. Minumannya masih setengah dan ia teguk sampai habis lalu meremukkan kalengnya sebelum menjawab, "sepertinya terlalu banyak bergaul dengan wartawan tidak bagus untukmu." seraya menuju ke dalam. Udara tengah malam tidak bagus untuk tubuh.
Bertepatan dengan itu, Odille dan Nigel masuk. Odille membawa kabar yang baru saja ia dapat dari Anthony, sementara Nigel mengambil tempat, bersandar pada head board tempat tidur. "Odille, kau saja yang menyampaikan." tutur Nigel.
🎬🎬🎬
Odille disibukkan dengan pakaian Melanie untuk pemotretan pagi ini. Tiada kata libur untuknya. Setiap hari berjibaku dengan rentetan jadwal sang aktris. Selesai dengan jadwal syuting film, masih ada jadwal pemotretan untuk produk brand jaket sport. Sebagaimana ia sering mengenakan pakaian kasual, perpaduan jaket dan kaos.Berbeda dari biasanya, pemotretan kali ini mengusung tema 'sehat bersama kekasih'. Untuk pertama kalinya, Melanie berpose dengan Fabian. Kekasih bohongan. Sama halnya dengan Fabian yang baru pertama kali melakukan pemotretan untuk promosi produk bersama dengan Melanie, yang kini menyandang status sebagai kekasih bohongan.
Berpose layaknya pasangan di atas bangku panjang dengan latar belakang putih polos guna memberi highlight pada jaket yang tengah dikenakan. Keduanya tampak serasi dalam balutan jaket warna biru langit dan abu-abu beton.
"Melanie lebih dekat lagi."
"Fabian bisa rangkul bahu dan tatap mata Melanie."
Fotografer terus mengarahkan mereka berdua agar gambar yang dihasilkan selain untuk menaikkan penjualan juga untuk menaikkan kepercayaan publik soal hubungan mereka. Terutama untuk Sergio dan orang tua Fabian. Profesionalitas mereka dipertaruhkan disini. Bukan tanpa sebab, satu diantara mereka sedang berusaha mati-matian agar tidak terbuai dengan perlakuan manis yang diberikan oleh lawan mainnya.
"Aku tidak ingin merusak suasana, tapi ini hal yang harus aku sampaikan." bisik Fabian.
"Apa itu?"
Mereka bahkan tidak melewatkan kesempatan untuk berbincang. Ditengah pemotretan, Fabian memberi kabar soal kedatangan orang tuanya ke New York hanya untuk sekedar makan malam dengan Melanie. Sementara yang diberitahu hanya bisa unjuk gigi dalam artian harfiah.
"Apa harus sampai begitu? Tidakkah itu terlalu jauh?"
"Guys, aku mau konsep foto yang segar dan bersemangat!"
Detik berikutnya, Melanie mengambil pose dengan berdiri diatas bangku, menatap Fabian lebih leluasa, menghapus jarak tinggi diantara mereka. Ia menatap Fabian, kemudian pandangannya beralih pada bibir yang pernah mendarat diatas bibirnya.
"Aku sudah membuat Sergio percaya, setidaknya kau juga membantuku agar mereka melepaskan tali kekang leherku, bukan begitu?"
-bersambung
Note:
Yak. Bisa disaksikan betapa memaksa chapter ini dibuat
😭😭😭
Tiba-tiba gak ada feeling buat lanjut dong 😭🤯
Emang boleh seputus asa ini? 🥲anyways..
semoga masih menarik buat dibaca 🥲
KAMU SEDANG MEMBACA
Trading the Spotlight (END)
ChickLitDari sekian banyak potensi, aku rasa potensi terbesarku adalah hidup dalam bayang-bayang hutang atas kemewahan hidup kekuargaku. Hidup bagai layang-layang terbawa angin tanpa tuju, masih beruntung kait benang tidak putus. Atau barangkali, sebentar l...