V. Secepat Angin yang Berembus

29 5 0
                                    

📍Sirkuit Marina Bay Street, Singapura

"Okay!" teriak sang pelatih bersamaan dengan dihentikannya stopwatch dalam genggamannya.

Fabian bersama timnya tengah pemanasan sedikit di sirkuit sebelum dimulainya balapan. Mencoba mobil sekaligus uji coba pedal yang baru saja diperbaiki oleh tim otomotifnya. Jonathan yang sudah tiba lebih dulu beberapa meter dari Fabian memberi acungan jempol, setuju dengan sang pelatih.

Dalam hati Fabian, ia tidak berharap menghebohkan sirkuit seperti yang lalu. Ia ingin kembali menjadi Fabian yang tenang. Tidak terpancing emosi sesaat. Biar Jonathan yang tetap menjadi bintang. Menjadi wajah dari timnya. Yang terpenting, dia sudah terbebas dari todongan sang papa untuk menggantikan kedudukannya di dunia mode dan retail.

"Sebaiknya kau tidak berpikir untuk santai, Fabs." Nigel menghampirinya dengan membawa tablet berisi email dari sang papa.

Maka hari itu kembali menjadi hari terpanas di Singapur. Marah, melakukan penolakan, memberontak pun percuma. Fabian berpikir jika kemajuannya kemarin bisa membuat pria yang  mirip dengannya sedikit bangga atas pencapaiannya, barangkali jika dia menjadi pemenang atau tiga besar dari balapan hari ini akan membuat kepala keluarga Pioretti sepenuhnya bangga sehingga tidak memerlukan eksistensi Fabian lagi dalam membangun kerajaan bisnisnya.

Fabian bertekad untuk itu.

Berada di barisan ke-14, Fabian mempersiapkan mobilnya bak banteng yang siap menyeruduk kain merah sang matador. Dapat ia rasakan seperti pecutan dalam dada sebelah kirinya. Adrenalinnya terpacu tiga-atau bahkan-lima kali lipat dari biasanya. Lagi, ia luapkan kekesalannya pada sirkuit.

Suara terompet terdengar bersamaan dengan itu, Fabian menginjak semakin dalam pedal gas. Kedua tangan yang bergetar akibat kencangnya ia melaju. Tatapannya fokus pada jalannya sirkuit. Ia memperhitungkan dengan matang peluang yang ia miliki di setiap tikungan sirkuit. Ia harus menyatukan kembali akal sehat dan tubuhnya. Kecepatan saja tidak akan membantu jika kepalanya tidak dalam kondisi yang bisa diajak berpikir.

Dari saluran yang tersambung ke tempat timnya memantau, Ia diminta untuk tetap tenang. Ia mendengar kalimat itu, namun alih-alih tenang, kalimat itu justru memacunya lebih cepat. Fabian merasa hidup dan matinya akan ditentukan dari balapan yang ia lakukan hari ini.

Tiga putaran, ia berhasil menduduki posisi ke-12.

Sepuluh putaran, ia berasil mempertahankan kedudukannya.

Putaran ke-56, ia mulai terbiasa dengan rute sirkuit. Setelah sempat tertinggal saat di putaran ke-34 dan ke-49 karena mengisi bahan bakar dan mengganti ban, ia kembali menyusul dan berhasil menduduki posisi ke-7.

"Fabian, ganti ban sekarang." titah sang pelatih.

Dua putaran lagi. Ia akan membuat lawan yang ada di depannya lengah dan memberinya jalan untuk bisa disalip. Ia bahkan tidak menghiraukan pelatihnya yang mulai naik pitam dari saluran yang tersambung di telinganya.

"FABIAN PIORETTI! Aku perintahkan kau menepi SEKARANG!" Negatif. Tidak ada respon maupun gerakan Fabian menuju tempat timnya berada.

Bahan bakarnya menipis dan semakin menipis, tapi posisinya saat ini sangat tidak memungkinkan untuk menepi untuk mengganti ban maupun isi bahan bakar. Ia sungguh bertekad untuk menyalip Jonathan yang berada di posisi ke-4. Fabian kini tepat berada di belakangnya. Sorot matanya lebih tajam dari sebelumnya. Ia menggertakkan giginya, mengeraskan rahangnya agar kembali pada fokus utamanya.

Sedikit lagi.

"Fabian! Kalau kau tidak menepi-"

DAARRR!

Trading the Spotlight (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang