5 | CIPA (Congenital Insensitivity to Pain with Anhidrosis)

24 7 1
                                    

"Papa, terima kasih karena selalu ada untuk anakmu yang selalu membuat masalah, terimakasih banyak pa..."
-Ishaka V. G-

Author Pov :

"Kenapa kamu bisa seceroboh Ini Shaka, kamu bisa saja membuat perusahaan mu hancur." Mukanya memerah, menatap tajam perempuan di depannya yang terlihat gemetar. Amarahnya ia pendam.

"Maaf. Maaf ayah...." Ishaka menunduk, tubuhnya panas dingin, gemetaran.

Bruk

Suara gebrakan meja itu berdenging di kepalanya. Rasa takut dan Trauma mendramatisir kepalanya. Wajah pria di depannya tampak gusar. Melihat tajam Perempuan itu dengan detail. Tanpa melewatkan sesuatu, sedangkan perempuan di depannya sedang menyembunyikan rasa takutnya dengan memejamkan matanya sedari berzikir. Namun baru saja ia tenang, dia mengangkat kepalanya, namun justru sebuah tangan yang sedikit besar melayangkan tangannya. Dia memilih memejamkan matanya, tak tahan menahan buliran bening yang ia tahan sedari tadi. Dan akhirnya hal itu benar benar terjadi....

Plakkk

Satu tamparan terdengar keras mengisi seluruh ruangan itu, ruangan yang terdiri atas buku-buku di raknya dengan pemandangan indah yang menembus kaca bening itu. Dengan motif tembok Berwarna pastel yang mendominasi pada bagian lantai dengan motif kayu, terkesan tenang dan Nyaman. Namun tidak membuat suasanya kian tenang justru nampak gusar di penuhi dengan amarah yang menggebu gebu.

Ishaka terdiam, apa ayahnya menamparnya?. Ia merasakan pipinya yang menjadi sedikit mengembang. Memegang pipinya dengan ekspresi datar, tentunya dengan menepuk nepuk pipinya yang terasa sedikit mengembang.

"Sial, kamu ngga bakal bisa ngerasain tamparan keras saya, saya menyesal sudah memperkenalkan dirimu ke dunia, saya kira kamu pintar dalam hal seperti ini. Namun, ternyata lebih bodoh dari Pembantu di kediaman Geo." Pria itu menyadarinya, perempuan di depannya tidak bisa merasakan sakit. Jika ia menamparnya seribu kali pun mungkin dia tidak akan merasakannya. Namun, ucapannya kelewat batas. Itu sangat kejam. Sebagai seorang ayah, kenapa harus mencaci anaknya. Mengapa ishaka seperti tidak pernah mendengar kata support dari ayahnya. Hanya makian yang sering ia dengar. Bahkan mungkin ia sudah tuli dengan makian yang berasal dari mulut ayahnya sendiri

Seketika Buliran bening keluar membasahi pipinya. Ia memang tidak bisa merasakan sakit, tapi sakit batin dan mental tetap bisa toh?. Tanpa di tampar, dirinya sudah bisa mendapatkan tamparan keras yang lebih keras dari tamparan Tadi. Tamparan yang di berikan oleh sosok ayah yang menyambutnya datang dengan Mengazaninya. Yang mengajari dia belajar Berjalan. Mengajari semua hal di dunia ini. Mungkin dia lupa, dia yang mengakibatkan nya. Dia yang—

"Ayah...." Ishaka bergumam pelan, tapi masih dapat di dengar oleh Arsen. Namun, tidak ada jawaban. Sadar kesalahan. Dirinya terlalu jauh untuk menghina putrinya. Terlalu sakit jika ia membayangkannya. Melihat raut wajah putrinya yang mulai memudarkan senyumannya. Akhirnya dia menunduk menghadap lantai tanpa berani menatap sang anak yang sudah menangis memangdang dirinya sendiri. Sejatinya, dalam hatinya dia bukan seorang ayah yang baik sekarang, bukan  lagi ayah yang mendukung putrinya, bukan lagi Ayah yang selalu menjadi rumah untuk anaknya. Perannya, sudah terganti oleh orang lain.

"Maaf, Maafin ayah Shaka." Ia meminta maaf, lisannya tidak berbicara. Ia meminta maaf hanya dalam hatinya, ia belum berani meminta maaf secara langsung. Mungkin putrinya akan membencinya untuk selamanya. Ia memang pengecut, dia yang memang benar benar pengecut untuk mengucapkan permintaan maaf pada putrinya sendiri.

A farewell storyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang