"Setiap tahun saat musim yang berbeda, desa kami memilih satu orang untuk menjadi Conggowi," kata Guinem. "Orang itu harus mengenakan baju berwarna merah dan berjalan dikobaran api saat ritual."
Damian dan Agnelia merasa ngeri membayangkan nasib Conggowi yang malang. Mereka tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi orang yang dipilih untuk dikorbankan.
"Tapi, bukankah itu kejam?" tanya Agnelia dengan suara gemetar. "Membunuh manusia untuk menenangkan dewa?"
Guinem menggelengkan kepalanya. "Kami tidak membunuh Conggowi," katanya. "Kami hanya mempersembahkannya kepada Dewa Musim Panas. Dewa yang akan memutuskan nasibnya."
Damian dan Agnelia masih tidak bisa menerima penjelasan Guinem. Mereka merasa bahwa tradisi Conggowi adalah tradisi yang sangat kejam.
Guinem meletakkan tangannya di atas bahu Agnelia. "Jangan khawatir anak muda," katanya. "Percayalah, tradisi ini dilakukan dengan penuh hormat dan kasih sayang. Conggowi tidak akan disiksa atau dibunuh dengan kejam."
Tiba-tiba, Damian berteriak dengan keras sembari menggebrak meja. "Kasih sayang katamu?!" teriaknya. "Bagaimana mungkin manusia yang dibakar hidup-hidup bisa disebut kasih sayang?!"
"Damian... Ssstt kamu membuat kita menjadi pusat perhatian sekarang," Ucap Agnelia menenangkan Damian.
Semua orang yang berada di warung menoleh ke arah Damian dengan heran. Guinem sendiri tampak terkejut dengan reaksi Damian.
Damian tidak peduli dengan perkataan Agnelia. Dia masih marah dengan pemahaman Guinem tentang Conggowi.
"Bagaimana bisa kalian menyebut tradisi yang membunuh manusia sebagai bentuk kasih sayang?" teriak Damian lagi. "Itu tidak masuk akal!"
Beberapa orang di warung mulai berbisik-bisik. Mereka melihat Damian begitu aneh karena tidak percaya kepada dewa.
Guinem berusaha menenangkan Damian. "Damian, tolong dengarkan aku," katanya. "Tradisi Conggowi bukan tentang kekejaman. Ini tentang keikhlasan dan pengorbanan untuk yang maha kuasa."
Damian tidak mau mendengarkan Guinem. Dia berdiri dan meninggalkan warung dengan marah. Agnelia segera mengikutinya.
"Damian, kau gila! Bagaimana kalau orang-orang disana mengejar kita karena menganggap kita meremehkan tradisi mereka?!" Teriak Agnelia kesal.
"Aku tidak percaya mereka benar-benar mempersembahkan manusia kepada dewa," gumam Damian dengan geram.
Tiba-tiba, mereka mendengar suara ricuh dari arah belakang. Mereka menoleh ke belakang dan melihat sekelompok warga desa yang sedang berlari ke arah mereka.
"Damian!" teriak Agnelia dengan panik. "Mereka mengejar kita!"
Damian panik. Dia langsung menarik tangan Agnelia dan berlari sekencang-kencangnya.
Warga desa semakin dekat. Mereka berteriak-teriak dan mengumpati Damian dan Agnelia.
Damian dan Agnelia berlari sekencang-kencangnya, jantung mereka berdetak kencang di dada. Suara teriakan warga desa semakin dekat di belakang mereka. Mereka menoleh ke belakang dan melihat sekelompok orang yang mengejar mereka dengan membawa berbagai benda tajam seperti pisau, parang, dan bambu runcing.
Damian menarik Agnelia lebih kencang, berusaha untuk menjauh dari kerumunan yang marah. "Cepat, Yaya!" teriaknya. "Mereka akan mengejar kita!"
Agnelia terengah-engah, kakinya terasa lemas. "Aku tidak kuat lagi, Damian!"
Damian melihat ke sekelilingnya dengan panik. Mereka harus menemukan tempat untuk bersembunyi. Dia melihat seorang pria bertopeng yang berdiri di balik sebuah pohon besar. Pria itu memberi isyarat kepada Damian untuk mengikutinya.
"Ayo, ikuti aku!" bisik pria itu.
Damian ragu-ragu. Dia tidak mengenal pria itu, dan dia tidak tahu apakah dia bisa dipercaya.
Namun, dia tidak punya pilihan lain. Para warga desa semakin dekat, dan dia tidak ingin Agnelia semakin kelelahan.
Damian menggandeng tangan Agnelia dan mengikuti pria itu. Mereka berlari ke dalam hutan yang lebat, meninggalkan para warga desa di belakang mereka.
Pria itu terus berlari tanpa henti, tidak menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Damian dan Agnelia berusaha untuk mengikutinya, tetapi mereka mulai tertinggal.
"Aku tidak bisa lagi!" teriak Agnelia.
Pria itu berhenti berlari dan menoleh ke arah Damian dan Agnelia. "Jangan khawatir," katanya. "Kita sudah hampir sampai."
Setelah beberapa menit berlari, mereka akhirnya tiba di sebuah rumah kayu kecil yang terletak di tepi sungai. Pria itu melepaskan topeng yang ia gunakan dan membuka pintu rumah, mempersilakan Damian dan Agnelia masuk.
Pria itu duduk di kursi kayu dan menghela napas panjang. "Kalian beruntung," katanya. "Jika aku tidak melihat kalian, mereka pasti sudah membunuh kalian."
Damian dan Agnelia berterimakasih kepada pria itu atas bantuannya.
"Siapa namamu?" tanya Damian.
"Namaku Matthias," jawab pria itu. "Aku tinggal di hutan ini."
Sejak pertama kali melihat Matthias, Damian sudah merasa ada sesuatu yang tidak asing. Seperti Damian sudah pernah berkenalan sebelumnya namun ia tidak ingat berkenalan dimana.
Rumah Matthias begitu sederhana, namun terasa hangat dan nyaman. Di dalam rumah, mereka bertemu dengan seorang wanita tua yang duduk di dekat perapian. Wanita itu tersenyum ramah kepada Damian dan Agnelia.
"Silakan duduk," kata wanita tua itu dengan suara yang lembut. "Namaku Berly, istri Matthias."
Damian dan Agnelia duduk di kursi kayu yang disediakan di depan perapian.
"Maafkan kami sudah merepotkan," kata Agnelia. "Aku tidak menyangka bahwa kami akan dikejar oleh warga desa."
"Tidak kok, silakan dinikmati," Ucap Berly sembari menyajikan teh hangat dan beberapa potong roti untuk Damian dan Agnelia.
Mereka menikmati makanan dan minuman itu dengan rasa lapar dan haus yang mereka rasakan.
"Berhati-hatilah, anak-anak," kata Berly dengan suara yang penuh kekhawatiran. "Warga desa tidak akan mudah menyerah. Mereka akan terus mencari kalian. Ah ya memangnya apa yang sudah kalian lakukan sampai membuat mereka begitu marah?"
Damian menceritakan mengenai tradisi Conggowi yang ia anggap begitu kejam, namun warga desa meremehkan itu dan malah menganggapnya bentuk kasih sayang.
Matthias terdiam sejenak, seolah-olah sedang mencari jawaban dari bagian puzzle yang menghilang.
"Aku tahu tentang tradisi Conggowi," katanya akhirnya. "Aku juga tidak setuju dengan tradisi itu. Aku tidak ingin melihat orang lain dikorbankan untuk dewa lagi, itu sangat bodoh."
Damian dan Agnelia saling bertukar pandang. Mereka mulai merasa ada sesuatu yang tidak beres. Matthias tampak mengetahui banyak hal tentang Desa Sunseed Glade dan tradisi Conggowi, padahal Damian ketika bercerita hanya mengatakan tradisi Conggowi dan tidak menjelaskan apa itu Conggowi.
"Bagaimana kau tahu tentang tradisi Conggowi?" tanya Damian dengan nada curiga.
Matthias kembali tersenyum. "Aku adalah bagian dari desa ini," katanya. "Aku dibesarkan di sini."
Damian dan Agnelia tercengang. Bagaimana mungkin Matthias, yang tinggal di hutan lebat ini, bisa menjadi bagian dari desa mereka?
"Tapi, kenapa kau menyembunyikan diri di hutan?" tanya Agnelia dengan rasa penasaran.
"Iya benar, saya tidak bisa membayangkan sulitnya hidup di hutan, bagaimana kalau ada hewan buas?" kata Damian dengan rasa simpati. "Kenapa kalian tidak kembali ke desa dan mencoba untuk mengubah tradisi Conggowi?"
Matthias menggelengkan kepalanya. "Itu mustahil," katanya. "Warga desa sudah terlalu terikat dengan tradisi itu. Semua ini karenanya... Bangsat!"
"Karena siapa?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Simfoni Kutukan 🎻 [On Going]
Fantasia‼️Vote dulu sebelum baca⭐‼️ Keanehan tiba-tiba terjadi ketika pangeran akan memainkan biolanya. Setiap kali pangeran memainkan satu nada, ia akan berpindah tempat yang asing dan menakutkan dimana ia harus menyelesaikan misi-misi yang ada dengan cepa...