Alice sang Ratu ?

49 44 0
                                    

Sementara itu di Kerajaan Shadowmere, suasana diliputi kegelisahan. Raja Oberon, terbaring lemah di atas ranjang semenjak Damian menghilang. Rasa khawatir menyelimuti sang raja, memikirkan keselamatan putranya yang telah pergi selama tiga tahun tanpa kabar semenjak acara pesta musik itu.

Alice berlutut di hadapan Raja Oberon, air matanya mengalir seolah-olah kesedihannya tak terhingga. "Ayah," kata Alice dengan suara gemetar, "Damian telah pergi selama tiga tahun. Kemungkinan besar dia sudah tiada. Kerajaan ini tidak bisa terus menunggu tanpa pemimpin. Saya mohon Ayah pertimbangkan untuk melantikku sebagai ratu."

Raja Oberon terdiam, dilanda kebimbangan. Di satu sisi, dia merasakan duka atas hilangnya Damian. Di sisi lain, dia melihat kegigihan dan tekad Alice. Raja Oberon dihadapkan pada pilihan yang sulit.

Akhirnya jam makan malam pun tiba. Tampak Alice yang sedang menikmati makanan di atas meja makan sembari memandangi ayahnya yang masih murung karena menghilangnya Damian. Alice berusaha memecah keheningan suasana dan bertanya kembali kepada Oberon.

"Ayah, apakah sudah mempertimbangkan pernyataanku tadi?"

Oberon tidak menjawabnya, sang raja tampak melamun sembari memainkan makanan yang disajikan di atas piringnya dan memakannya sedikit.

"Ayah? Apakah ayah mendengarkan Alice?"

Tiba-tiba Oberon membanting piringnya. Makanannya berhamburan dilantai, menatap Alice dengan mata memerah, dan meninggalkannya begitu saja tanpa berkata apa-apa.

Udara di lorong istana Shadowmere terasa dingin dan mencekam. Alice, dengan gaun sutera hitamnya, berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Dia baru saja ditolak Raja Oberon untuk kesekian kalinya dalam permintaannya untuk diangkat menjadi ratu.

Alih-alih menyerah, tekad Alice justru semakin membara. Dia menemukan Raja Oberon yang sedang termenung di balkon, menatap hamparan kerajaan yang luas. Dengan langkah pasti, Alice mendekat.

"Ayah," ucap Alice dengan nada suara yang dibuat lembut dan khawatir, "Kesehatanmu terus menurun. Kerajaan membutuhkan pemimpin yang kuat dan bijaksana. Aku mohon Ayah mempertimbangkan kembali permintaanku."

Raja Oberon menghela napas panjang. "Alice," katanya datar, "Kita sudah membicarakan ini berkali-kali. Damian masih hidup. Dia adalah raja berikutnya untuk Kerajaan Shadowmere."

"Tapi Ayah," desak Alice, "sudah tiga tahun Damian menghilang! Tidak ada kabar berita. Tak tahukah Ayah, apa yang terjadi jika ada suatu kerajaan tanpa seorang pemimpin? Kita bisa saja dijajah! Apalagi sekarang kesehatanmu menurun. Ayah bahkan lebih sering melamun sekarang, bagaimana dengan keadaan kerajaan ini nantinya?" Suaranya bergetar seolah menahan tangis.

Raja Oberon menatap tajam ke arah Alice. "Maafkan ayah, Alice. Tapi keputusanku sudah final. Kita akan menunggu Damian kembali."

Alice semakin berani. "Menunggu? Sampai kapan, Ayah? Kerajaan ini butuh kepastian! Mau sampai kapan menunggu yang tidak pasti? Aku siap, Ayah. Aku bisa menjadi ratu yang bijaksana."

Raja Oberon tidak tahan lagi. Suaranya menggelegar membentak Alice. "Cukup, Alice! Jangan mempermainkan kesabaran Ayah! Perempuan tidak bisa menjadi pemimpin! Tugasmu adalah mendukung Damian, bukan merebut tahtanya!"

Alice terlonjak kaget. Belum pernah dia melihat Raja Oberon semarah ini. Wajahnya pucat pasi, kepalanya tertunduk. Ketakutan membayanginya, namun ambisi terpendamnya belum sepenuhnya padam.

"Sialan kau pak tua, sampai kapan kau akan menunggu anak kesayanganmu itu." Gumam Alice menjauhi Oberon dengan perasaan kesal, meninggalkan ayahnya dan berjalan ke arah kamarnya.

Alice membanting pintu kamarnya, lalu menghentakkan kakinya, dengan perasaan jengkel.

"Apa kurangnya aku? Aku bahkan yang tertua disini. Apa istimewanya anak bandel itu? Apakah jika aku lelaki, ayah akan melantik ku sekarang juga sebagai raja? Apa maksudnya perempuan tidak bisa menjadi pemimpin? Sialan."

Tiba-tiba, suara ketukan pelan di jendela kamarnya memecah keheningan. Jantung Alice berdebar kencang. Siapa yang mengetuk di tengah malam seperti ini?.

Dengan ragu, Alice melangkah menuju jendela dan membukanya sedikit. Seekor burung gagak hitam besar hinggap di ambang jendela, menatapnya dengan mata kuning yang tajam. Gagak itu adalah suruhan ibunya, Margaretha, yang tinggal di dalam hutan. Alice sudah lama tidak bertemu dengan ibunya yang kini menjadi seorang penyihir.

"KRAK KRAK KRAK" gagak itu berteriak.
"Alice, Damian sudah mencapai nada fa, Damian sudah mencapai nada fa, Damian sudah sampai dinada fa." Ucapnya berkali-kali.

"Ya... aku tidak peduli. Aku yakin di nada fa, Damian tak akan kuat menjalaninya dan mati hahaha. Ya, sedikit ku akui ia cukup cepat untuk berpindah nada. Manusia sombong sepertinya apakah bisa mendapatkan teman? Aku yakin ia pasti dibantu, tak mungkin ia bisa secepat ini. Pfft bahkan di dunia lain saja ia hanya bisa merepotkan orang lain." Ucapnya remeh.

"Hei gagak hitam, bagaimana keadaan ibuku?"

Gagak hitam itu menoleh ke Alice dengan matanya yang tajam. Suara seraknya terdengar di telinga Alice.

"KRAK! KRAK! Nyonya Margaretha baik-baik saja. Dia sedang sibuk dengan ramuannya di dalam pondok."

"Aku ingin bertemu dengannya. Bawa aku ke dalam hutan sekarang juga."

"KRAK! KRAK! Kau akan segera bertemu dengannya!" gagak itu mencakar kayu jendela dengan kakinya. "Namun, tubuhmu terlalu besar untuk menaiki punggungku. Minumlah ini."

Dengan paruhnya, gagak itu menyodorkan sebuah cawan perak berisi cairan bening bercahaya.

"Apa ini?" Tanya Alice penasaran.

"KRAK! KRAK! Itu ramuan pengecil," jawabnya. "Setelah meminumnya, kau bisa terbang bersamaku menuju hutan untuk bertemu nyonya Margaretha."

Alice bimbang. Ia tak yakin pada ramuan itu, tapi ia juga tak tahan lagi berada di dalam kamarnya, ia membutuhkan udara segar. Menarik napas dalam, diambilnya cawan itu perlahan. Ia meneguk cairan bening bercahaya tersebut. Rasa hangat menjalar di tenggorokannya, diikuti sensasi dingin yang menyebar ke seluruh tubuh. Alice memejamkan matanya sejenak. Ketika ia membuka mata kembali, ia mendapati dirinya telah menyusut menjadi sekecil jempol orang dewasa.

"KRAK! KRAK! Naiklah! Tenang saja, kau tak akan jatuh. Cepat! Nyonya Margaretha telah menunggumu." Desak gagak hitam itu.

Alice menaiki gagak itu dan berpegangan pada bulu-bulunya yang kasar. Sang gagak mulai
mengepakkan sayapnya dengan kuat dan membubung tinggi. Angin malam yang dingin menerpa wajah Alice. Di malam hari yang begitu gelap, Alice menatap ke arah bulan purnama yang bersinar terang dan mulai bernyanyi...

Do you want to meet all my monsters?
Think you're tough, I know they'll drive you bonkers
Meet them once and they'll forever haunt ya

There's no heroes or villains in this place
Just shadows that dance in my headspace
Leaving nothing but phantoms in their wake

There's parts of me I cannot hide
I've tried and tried a million times

La-da-da-di-da
La-da-da-di-da
La-da-da-di-da-da

Cross my heart and hope to die
Welcome to my darkside


Gagak hitam itu terbang kencang melesat menuju hutan yang gelap, tempat Margaretha, sang penyihir jahat yang telah menunggu kedatangan Alice di pondok kecilnya didalam hutan.







Simfoni Kutukan 🎻 [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang