Jalan sepi yang begitu remang dengan ditemani suara jangkrik yang saling bersahut-sahutan. Seorang pemuda--berambut ginger terang dengan hidung mungil yang mengeluarkan banyak darah, tak lupa mata emasnya yang menyala--sedang berjalan sempoyongan layaknya pemabuk.
Dengan nafas yang tersengal dan banyaknya darah yang terus keluar dari hidung mungilnya, membuatnya tak bisa berfikir jernih.
Dengan kepala dan mata berkabut, dan kaki--yang sudah sedikit bergetar--yang entah akan membawanya ke mana.
Langkahnya tiba-tiba terhenti kala merasakan nyeri yang luar biasa di kepalanya. Tangan yang semula saling menggenggam berpindah memegangi kepalanya, berharap nyeri menghilang dengan melakukannya.
Tubuhnya yang sudah sempoyongan semakin goyah hingga akhirnya pemuda itu tersungkur ke depan. Di jalan yang sepi ini sudah tidak ada yang nampak berlalu-lalang. Tidak akan mungkin ada yang dapat membantu pemuda itu.
Rona wajah yang sudah pucat semakin pucat, nafas yang semakin susah diatur, kepalanya yang semakin berdenyut membuat alis tipisnya semakin menukik tajam.
Dalam pemikiran pemuda itu sudah tidak ada harapan untuk diselamatkan, dia hanya berharap untuk Tuhan segera mengambil nyawanya, dia benar-benar sudah tidak kuat, tidak hanya karena rasa sakit yang sedari tadi mendera namun juga karena kehidupannya yang bagai neraka.
Visualnya semakin mengabur dan nyeri dikepala yang semakin meningkat membuatnya mengerang keras, liurnya menetes bersamaan dengan peluh dan air mata.
Ditengah rasa sakitnya, pemuda itu melihat ada seorang wanita dengan wajah yang familiar menurutnya.
"ibu?" pemuda itu memanggil lirih. Bayangan wanita tadi semakin mendekat kemudian mengulurkan tangannya.
Bayangan itu berucap, "Solas, ibu datang menjemput, maukah kamu ikut bersama ibu?". Jeda sunyi mendera, kemudian tangan pemuda itu--Solas namanya--ikut mengulurkan tangannya.
"tolong, tolong bawa aku pulang, ibu". Setelah mengatakan itu, seketika tangannya langsung ditarik oleh sang ibu, seketika itu juga, tubuh Solas terasa lebih ringan.
Solas berdiri menghadap ibu kemudian memeluknya. Terdengar suara isakan Solas yang semakin bertambah kencang dalam dekapan ibu, usapan lembut terasa di kepala Solas, itu tangan sang ibu.
Pemandangan haru itu kemudian memudar, semakin memudar hingga berubah menjadi gumpalan cahaya yang kemudian melesat ke arah langit. Kini Solas dapat lepas dari rasa sakitnya dengan tenang.
Keesokan paginya, masyarakat digemparkan dengan berita seorang laki-laki yang meninggal dalam keadaan yang cukup megenaskan.
Polisi tidak menemukan adanya tanda kekerasan berarti keuali memar di beberapa sudut wajah terutama di bagian agak ke atas. Diduga hal tersebut adalah ulah pemuda itu sendiri, dilihat dari lekukan jari tangannya yang tampak memerah.
Tubuhnya masih di sana, ditutupi kain putih dan banyak garis polisi di sekitarnya. Banyak orang yang berlalu-lalang, ada yang penasaran dengan apa yang terjadi dan ada juga yang memasang wajah tidak suka.
"benar-benar mengganggu waktu pagi yang tenang". Itu adalah Chris teman sekolah Solas.
Dia berdiri lama sambil memandangi tubuh kawan lamanya itu, tanpa menyadari ada seorang wanita sedang berdiri di sampingnya sambil menatap dengan sangat lekat.
"Kehidupan anak itu sangat menyedihkan, kau tahu?" wanita itu berucap yang membuat Chris terkejut hingga menoleh ke asal suara.
Chris dapat melihat wanita itu memakai pakaian formal, tapi mata Chris langsung tertuju pada kartu identitas yang bertengger di lehernya.
'Detektif Negeri: Selena,. Mm', begitu tulisannya.
"apakah detektif sekarang mengulik hingga kehidupan mendalam korbannya?" Chris menatap tajam ke arah Selena--si detektif wanita--. Selena hanya tersenyum, terdapat jeda dalam konversasi mereka.
"tampaknya kau tahu apa maksud dari kata-kataku, apa kau teman dekatnya?"
"iya dan tidak" Selena memandang bingung. "maksudnya?".
"kami memang teman dekat, dulunya. Hingga kejadian besar membuat kami berpisah secara tidak baik-baik" Chris menjelaskan dengan suara yang sedikit bergetar tanpa dia sadari.
Mengingat kembali kejadian masa lalu yang kelam memang membuat sulit. Karena itu adalah hal yang memang ingin dilupakan.
"kalau begitu, apakah kau ingin ikut denganku untukku wawancarai beberapa hal" Selena menghadap Chris meminta persetujuan.
Chris tampak ragu, menatap tubuh Solas sejenak, terkejut melihat wajah Solas yang begitu menyedihkan tersingkap dari kain putihnya.
Mata Chris bergetar melihatnya, ingin mendekat untuk melihat lebih jelas namun garis polisi menahan. "bagaimana, Chris?" Selena bersuara kembali. "baiklah".
Sekarang mereka bearada dalam sebuah cafe yang tidak terlalu ramai. Suasana yang nyaman untuk menikmati segelas kopi panas sambil menikmati pagi yang tenang.
Chris dan Selena diam menikmati suasana sambil menunggu pesanan mereka datang. Chris memandang ke arah jendela, tampak hiruk pikuk orang-orang berlalu-lalang.
Tanpa dia dapat bersiap, sekilas ingatan yang ingin dilupakan terlintas.
"kau..KAU PEMBUNUH, SOLAS!"
"tidak, aku tidak membunuhnya, tolong percayalah padaku, Chris"
"kau pikir aku akan percaya setelah melihat semuanya? Setelah ini jangan pernah kau muncul di hadapanku" Chris berjalan menjauh.
"tidak, Chris dengarkan aku, kumohon, Chris..CHRIS..CH....--
--ris, Chris, apa kau masih bersamaku?" Selena melambaikan tangannya di hadapan Chris.
Chris tersentak. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya, jantungnya berdegup sangat kencang.
Chris menatap Selena, "ya, aku masih di sini". Selena menarik tangannya, "baiklah, kalau begitu apa kau bisa menjelaskan padaku, apa maksud dari ya dan tidak dari pertanyaanku tentang teman dekat korban.
Kau bisa menjelaskannya dari awal hingga akhir, dengan terperinci" Selena menyiapkan buku kecil dan alat perekam.
Chris menarik nafas dalam sambil memejamkan mata, kemudian,
"jadi..".
KAMU SEDANG MEMBACA
SOLAS: Pemuda Dalam Kesendirian (Judul Sementara)
Short StoryJalan sepi yang begitu remang dengan ditemani suara jangkrik yang saling bersahut-sahutan. Seorang pemuda--berambut oren terang dengan hidung mungil yang mengeluarkan banyak darah, tak lupa mata emasnya yang menyala--sedang berjalan sempoyongan lay...