ALYNE - 19

118 7 0
                                    

@ellaaiii_

Happy Reading!

Kepulan asap berhembus dari bibir merah Alyne yang saat ini tengah berada di balkon, memandangi pepohonan rimbun yang mengelilingi cottage milik sang Opa.

Dari sekian banyak hal yang terjadi pada kehidupannya, Alyne paling menyesali fakta bahwa ia dilahirkan dari rahim seorang perempuan bejat seperti ibunya.

Baiklah, mungkin panggilan itu tidak pantas dan terlalu kasar.

Berselingkuh selama bertahun-tahun nyatanya mampu membuat wanita tersebut begitu percaya diri pergi meninggalkan keluarga kecilnya bersama pria lain.

Jujur saja, menurut Alyne pilihan Arna—sang ibu—tidak jauh lebih buruk dari ayahnya.

"Alyne, lo ngerokok?"

Gadis itu sontak menoleh kearah pintu dimana Calista berada, berdiri menatapnya dengan raut kesal.

"Bisa berhenti sampai tubuh lo betulan pulih nggak? Tadi ngeluh tenggorokan sakit."

Alyne kembali menghisap batang nikotin diantara jemari lentiknya kemudian berucap, "Sini duduk, temenin gue."

Tanpa menolak, Calista menangkap lemparan kotak rokok dari Alyne kemudian mengapitnya pada bibir dan menyalakan pematik api dengan salah tangan menghalangi angin yang berhembus.

Gadis berhoodie abu tersebut memilih duduk di bawah Alyne tanpa alas, menghadap pembatas balkon dengan kedua kaki ditekuk.

"Rangga belum bangun?"

"Udah, lagi buat sarapan sama Albar."

Keheningan mengisi atmosphere di sekitar keduanya.

Alyne dengan pikiran yang melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu dan Calista dengan kegundahan hati akan perasaannya terhadap seseorang.

"Gue bisa jadi pendengar yang baik kalau lo siap cerita sekarang," Calista membuang muka saat Alyne menatapnya, "Atau lo mau gue bantai keluarga Bhalendra sekarang?"

Sejenak Alyne terkekeh mendengar ucapan melantur sahabatnya. "Gimana bisa tahu? Gue belum sebut nama itu."

"See? Paham betul apa yang ada di dalam otak kecil itu, kita sahabatan nggak cuma satu dua tahun."

Alyne mengangguk setuju, "Udaranya sejuk, gue jadi betah lama-lama tinggal disini."

Paham akan maksud terselubung gadis itu, Calista menyetujui ucapannya dan berkata, "Tapi lo nggak boleh disini terus. Lo harus pulang."

"Rumah gue disini ..."

"Enggak, Alyne. Disini nggak ada siapapun yang bisa jadi rumah untuk lo pulang," Calista bangkit usai membuang putung rokoknya.

Memegang kedua pundak sang sahabat, Calista menatap dalam netra kosong tersebut. "Tinggal disini nggak  bisa buat orang tua lo kembali dan lo akan semakin kesepian karena hidup di tempat kayak gini."

Alyne tertawa samar, "Tempat kayak gini? Salah ya kalau gue cari ketenangan itu disini? Lagi pula, gue nggak berharap papa mama balik kayak dulu. Gue nggak peduli, Cal."

"Lo bisa tinggal di rumah gue, disana sepi dan lo nggak mungkin merasa terganggu. Sama aja kan? Daripada disini, yang ada lo akan semakin tertekan."

"Siapa bilang? Gue selalu dapat ketenangan setiap kali hati gue gundah, dan–" ia membalas tatapan Calista, "Lo nggak pernah tahu apa yang gue rasakan."

Sedikit demi sedikit Alyne mulai merasakan kekosongan dalam hatinya. Tidak ada siapapun yang bisa ia harapkan saat ini. Jadi, cottage milik sang Opa adalah satu-satunya tempat untuk dirinya mengadu.

ALYNETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang