_€T∆¶|S_Hari sudah mulai gelap, hanya sisa-sisa senja yang masih terlihat di langit. Suasana di mana kaki Ruby kini berpijak terlihat tenang, Ruby merasa nyaman melihat keindahan dan ketenangan tempat ini.
Jubah abu-abu yang ia pakai semakin ia eratkan kala semilir angin berembus mengenai kulitnya. Langkahnya terus ia selaraskan dengan langkah kakek tua di sampingnya. Kakek yang menolongnya tadi.
Tak lama, Ruby menatap heran kala penduduk keluar dari rumah mereka dengan membawa sebuah lentera.
Lentera itu di gantung di depan rumah. Untuk apa? Pikir Ruby. Padahal hampir semua rumah mereka sudah bercahaya. Cahaya itu yang membuat Ruby takjub melihat keindahannya. Bukan hanya rumah, bahkan di setiap pinggir jalan ada banyak lentera kecil yang terlihat mulai di nyalakan oleh orang-orang berbaju seperti seorang prajurit.
Anak-anak kecil di biarkan berlari ke sana kemari dengan layangan mereka. Tawa mereka begitu menular hingga membuat Ruby ikut tertawa. Seorang anak kecil berumur 4 tahun terlihat mendekati Ruby dengan membawa layangan kecilnya.
"Kakak, bisa bantu ail?" Suara cadel itu membuat Ruby menatap anak kecil di bawahnya. Ruby menundukkan kepalanya untuk lebih dekat dengan anak itu. Ia tak sadar rambut di balik tudungnya nyaris terlihat, jika saja kakek tua tadi tidak menariknya.
"Bis-"
Srek!
"Tidak bisa! Kau, pergi cari temanmu yang lain." Ujar lelaki tua berkumis putih itu.
"Kek-"
"Kau jangan keras kepala." Potongnya ketika Ruby ingin menyela.
Anak kecil itu menunduk lesu lalu berjalan menjauh dengan layangan yang ia seret dengan tangan kecilnya.
Ruby mendelik kesal pada kakek tua itu. "Apa? Kau ingin marah? Simpan saja marahmu itu." Ketus si kakek membalas delikan tajam Ruby.
"Ayo, kembali berjalan. Sebentar lagi kita sampai." Ruby tetap mengangguk patuh meski masih menaruh kesal pada kakek tua itu.
Kata sebentar bagi kakek itu setara dengan 1 jam bagi Ruby.
Kakinya sudah pegal karena terus berjalan. Kini keduanya berhenti di depan sebuah rumah kayu sederhana berlantai dua. Menurut Ruby desain rumah ini sama seperti rumah di dunia-dunia peri.
"Ini rumah kakek?" Tanya Ruby.
"Menurutmu?" Balasnya lagi-lagi dengan nada ketus.
Ruby menghela napas pelan, tolong ingatkan dia untuk menambah stok kesabarannya jika berbicara dengan kakek ini.
"Dasar kakek galak!" Gumam Ruby.
"Aku bisa mendengarmu. Panggil aku kakek Han."
Kakek tua yang baru beberapa detik ini Ruby tahu jika namanya adalah Kakek Han, terlihat mendorong pintu dengan kuat. Pintu itu terlihat susah terbuka.
"Emmm, kek? Biar Ruby bantu." Ruby yang hendak membantu lagi-lagi tidak jadi karena si kakek menyuruhnya untuk menjauh.
"Kau menjauh dulu. Ini pasti ulah anak beruang itu." Ujar kakek Han dengan nada marah.
Anak beruang? Ruby mulai berpikir jika kakek Han memelihara anak beruang. Ruby menyingkir dan mulai mengamati sekitar.
Ia bisa melihat jika hanya rumah kakek Han yang ada di sini. Sedangkan rumah penduduk berada sedikit jauh dari rumah kakek Han. Ruby bisa tahu karena cahaya yang terpancar dari tempat itu. Hanya ada rerumputan pendek dan bunga-bunga di sepanjang jalan setapak menuju rumah kakek Han. Lama berdiam dengan lamunannya, Ruby tersentak kaget ketika suara dobrakan pintu terdengar.
KAMU SEDANG MEMBACA
RUBY IN ETAPIS WORLD
Fantasy••"Being able to see doesn't mean you can change"•• _£T∆¶|S_ Seharusnya Ruby paham jika apa yang ia alami beberapa hari terakhir adalah peringatan untuk Ruby. Seharusnya ia tidak tertidur di dalam bus dan masuk ke dalam toko roti itu. Seharusnya ia...