14

42 2 0
                                    

Apakah kita manusia harus sebaik ini?

Aku bertanya pada diriku sendiri sambil berdiri memandangi medali emas yang tergantung di samping TV. Benar sekali, di turnamen olah raga universitas yang lalu, Fakultas Kedokteran pria tampan itu berhasil meraih medali emas bola basket seperti yang diharapkan, bahkan banyak orang yang memberikan gelar juara kepada Fakultas Kedokteran karena tim Lima juara berturut-turut tersingkir di babak pertama. Sedangkan untuk tim departemen aku, kami meraih dua medali melebihi target dan bulu tangkis, yang departemen kami adalah mantan juara, meraih medali di setiap ajang yang kami kirimkan untuk bertanding.

Aku memegang medali di depan aku dan membaliknya. Ketika mengenai cahaya di dalam ruangan, ia memantulkan dan bersinar dengan sangat terang. Tapi eh.. disini juga ada bintangnya, aku melihat lebih dekat dan melihat garis kecil angka di pinggir medali, angka 61, kemungkinan mengacu pada tahun pembuatannya. Tanpa terlalu memperhatikan, aku berjalan mendekat dan duduk di sofa, mengambil remote, menyalakan TV, dan meletakkan bantal di belakangku untuk bersandar. Kemudian buka aplikasi untuk menonton film di ponsel Kamu. Akhir-akhir ini aku cukup kecanduan film zombie. Ibarat film yang kita tonton, kita bisa menggunakan kata ketagihan. Kontennya berkisar pada protagonis wanita film tersebut, seorang mahasiswa kedokteran yang tinggal di rumah sakit biasa tetapi tiba-tiba diundang ke pesta perahu dan terbangun dan mendapati dia telah berubah menjadi zombie. Dia harus makan otak untuk mempertahankan penampilan manusianya, jadi dia melamar bekerja di ruang otopsi untuk mendapatkan akses sebanyak mungkin ke otak manusia. Efek samping dari memakan otak adalah memperoleh ingatan otak tersebut. Protagonis perempuan menggunakan kemampuan ini untuk membantu polisi menyelesaikan kasus pembunuhan.

Plot yang menarik!!! Pemeran utama wanita tidak memakan otak segar seperti zombie biasa atau Krasue di Thailand, melainkan menyiapkannya menjadi banyak hidangan yang tampak lezat, diam-diam aku berpikir aku bisa membuat pria tampan ini mencicipinya.

Penduduk desa memberikan penghormatan di depan pohon kelapa berbentuk ular berkepala tiga untuk meminta angka keberuntungan.

Aku mengalihkan pandangan dari layar ponsel dan melirik acara berita malam dimana reporternya sedang memberitakan suasana puluhan warga desa yang duduk dan memberi penghormatan pada pohon kelapa sambil meminta angka keberuntungan. Karena penasaran ingin melihat nomornya, aku mengikutinya dengan cermat. Beritanya tidak menyebutkan berapa angka keberuntungannya, tapi ya Tuhan, aku melihatnya, melihatnya dari atas pohon, dan bingung.

61

Mataku tidak salah kan? Aku mengucek mataku dan bertanya-tanya di kepalaku, lalu menempelkan mataku kembali ke layar TV. Nomor aslinya masih terpampang dan aku hendak mencatatnya di ponsel aku ketika aku lupa, tetapi pemilik kamar keluar dari kamar dan berteriak, alisnya berkerut.

"Di mana Boxer?"

"Di sana" aku cemberut dan menunjuk ke arah jemuran di balkon yang seluruh pagar besinya tertutup puluhan celana.

"Belajar cara mencuci, bukan hanya aku saja yang memakai baju" keluhku langsung pada laki-laki jangkung yang kukenal, dan seolah sedang memikirkan sesuatu, memasang wajah seperti pudel, berjalan kembali ke kamar sebelumnya. keluar lagi memakai baju panjang.

"Aku benar-benar tidak terbiasa dengan itu" gumamnya, terlihat tidak puas dengan pakaiannya yang ceroboh.

"Ambil gunting dan aku akan memotong kakimu seukuran Boxer."

"............" Laki-laki tampan itu mendongak lalu mengambil sebuah goois dan mendorong kepalaku hingga aku hampir terjatuh dari sofa.

Menunggu untuk itu!! Aku belum sehat.

Tidak peduli seberapa pemarahnya aku, ada hal yang lebih penting yang membantu aku tenang dan untungnya bagi pria tampan ini, aku tidak mengutuknya sampai mati. Yang menenangkan aku adalah angka keberuntungan yang aku lihat di TV.

My school president - buku 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang