2🍁

401 55 2
                                    

Jangan lupa vote dan komen!!!

🍁🍁🍁

Jerry menatap rumah didepannya dalam diam, memori tentang rumah itu berputar terus didalam kepalanya.

Mengingatkannya tentang masa kecilnya bersama sang ayah. Masa dimana hanya senyum yang menghiasi bibir tipisnya, masa dimana hanya tidur siang yang menjadi musuh besarnya, masa dimana dirinya suka duduk di teras rumah guna menunggu ayahnya pulang bekerja, masa yang sungguh indah, bahkan jika diulang lagi tidak akan bisa seindah itu.

"Pada akhirnya gw juga balik kesini."

Jerry menghela nafas, melangkahkan kakinya memasuki rumah peninggalan ayahnya dengan tenang, berniat melupakan semuanya yang telah terjadi padanya dua bulan ini.

Jerry sudah menyelesaikan semua pekerjaan dirumah itu, bersantai sejenak disofa ruang tengah sembari memikirkan hidupnya kedepan. Dirinya sudah lulus dari sekolahnya, acara kelulusan yang tidak dia hadiri pagi ini dan malah pergi kerumah ini.

Jerry membuka ponselnya, melihat berbagai notifikasi yang masuk. Banyak notifikasi dari papanya dan juga Harsa, sebagian juga dari teman-temannya yang menanyakan keberadaannya. Jerry memilih mengabaikan semua, manik madunya tertarik pada satu notifikasi dan segera membukanya.

Jerry menggeleng tak percaya, "What is this? I'm lucky."

Jerry kembali menyandarkan kepalanya, memikirkan cara agar dirinya bisa bertahan hidup setelah ini.

Hidup sendiri bukanlah hal yang mudah menurutnya, selama ini dia juga harus menghemat pengeluaran agar seimbang dengan pemasukan yang ia dapat, tapi tampaknya dia mulai terlena dengan uang papanya yang membuatnya sekarang sedikit malas untuk bekerja lagi.

"Life is full of jokes."

.

.

.

Baskara terduduk lemas dikursi kerjanya, rasanya sakit setelah mengetahui fakta dibalik foto-foto putra bungsunya di bar itu. Ketakutannya benar-benar menjadi nyata, bungsunya pergi meninggalkannya hanya karena kesalahan pahaman.

Cklek...

"Harsa, lain kali cari dulu faktanya sebelum kamu menghakimi adikmu."

Baskara menoleh menatap pintu ruang kerjanya, disana berdiri Harsa dengan setelan kantornya, nampaknya pemuda itu baru saja pulang dari kantornya.

Harsa menghela nafas lelah, "aku juga kalut waktu itu, tidak menyadari adanya kejanggalan."

Pemuda dua puluh lima tahun itu mendudukkan tubuhnya diseberang papanya, menatap pria matang itu dengan sedikit sendu.

Baskara mengangguk, "semua sudah terjadi, adikmu juga sudah pergi."

Pria itu tidak ingin memarahi Harsa seperti dahulu, pria itu sadar jika kedua pemuda itu putranya, dirinya harus adil memperlakukan mereka tanpa ada perbedaan.

Walaupun harus berkali-kali memberi pengertian kepada Harsa jika adiknya itu belum terbiasa dengan perlakuan mereka selama ini, anak yang sudah lama sendirian bukankah akan merasa aneh jika tiba-tiba memiliki keluarga? Dan itu berlaku pada putra bungsunya.

"Papa tidak tau, adikmu sudah makan atau belum? Bagaimana harinya saat ini? Apakah dia istirahat cukup atau tidak?"

Harsa bangkit dari duduknya, melangkah menuju Baskara dan segera memeluk papanya itu.

"Maaf pa, maafkan Harsa, aku terlalu terbawa emosi saat itu." Ujarnya sedikit menyesal, tetapi tetap menjaga raut wajah dengan datar.

Baskara mengangguk, mengelus halus rambut putra sulungnya dengan sayang. "Tidak apa, semua sudah terjadi, tidak ada gunanya kita bersedih disini."

𝐈'𝐦 𝐕𝐢𝐣𝐞𝐧𝐝𝐫𝐚! [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang