Curhat Sama Papa

6 3 0
                                    

"Jadi, tuan mau saya kerja di Perusahaannya tuan?" Tanya Adrian memastikan tentang apa yang ia dengar.

"Kamu keberatan?"

Adrian menghela napas, "Justru saya yang harusnya bertanya tuan. Apa tuan gak keberatan, memasukan saya kerja di Perusahaan anda? Saya sakit keras, loh. Berkali-kali saya ditolak kerja karna tau saya pengidap penyakit jantung."

Tuan Brechtje mengangguk. Ia maklum akan pikiran pesimis pemuda yang ada dihadapannya ini.

Tujuan ia memanggil Adrian kesini, karna tuan Brechtje ingin menawarinya kerja. Kebetulan juga Adrian masih nganggur karna sering ditolak kerja oleh Perusahaan lain. Alasan hanya satu. Yaitu karna Adrian itu sakit keras. Kalau dari segi bakat, keterampilan, pendidikan, akhlak, dan kejujuran dalam kerja, Adrian ini mumpuni.

"Dicoba dulu apa salahnya. Jika kamu mampu, kamu lanjut. Jika kamu tidak mampu, kamu bisa berhenti. Saya gak memaksa kamu."

"Ini beneran tuan?"

Tuan Brechtje mengangguk dengan mantap.

Adrian bangkit. Tak henti-hentinya ia menyalami yang lebih tua. Adrian benar-benar bersyukur bisa bertemu dengan orang sebaik tuan Brechtje. Jika tidak, entah bagaimana hidupnya sekarang setelah memutuskan pergi dari Rumah.

Setelah insiden tadi, tuan Brechtje memutuskan untuk bicara pada Adrian dulu. Setelah itu, baru ia akan berbicara dengan putrinya yang sedang menunggu di luar Ruang Kerja. Bagaimanapun juga, tuan Brechtje sangat merindukan putrinya itu. Ya, kedua anak gadisnya memilih untuk tinggal bersama ibunya. Walaupun begitu, ibu kandung Aster tak pernah melarang anak-anaknya untuk bertemu sang ayah. Karna Aster yang suka bolak balik, jadi hanya ia yang tau dimana Rumah sang ayah.

Berbeda dengan Sahira yang tidak tau. Karna apa? Perceraian kedua orang tuanya bisa dibilang saat Sahira masih sangat kecil kisaran 3 tahunan. Jadi ia belum mengerti apapun dan begitu dewasa, ia menjadi canggung dengan ayah kandungnya sendiri karna jarang ketemu. Hanya Aster yang masih bolak balik ke Rumah ayahnya karna dulu, saat perceraian itu, Aster kecil selalu menangis karna ingin ikut sang ayah. Alhasil, tuan Brechtje terkadang membawa Aster bersamanya dan mengembalikannya lagi ke ibunya. Makanya hanya Aster yang tau Rumah sang ayah.

"Sudah lah, nak. Tak perlu seperti itu. Sudah saya bilang, kamu ini terlihat seperti anak baik-baik yang membuat orang lain percaya padamu. Asalkan, jangan pernah merusak kepercayaan saya."

Adrian tersenyum bahagia, "Baik tuan. Terima Kasih anda sudah baik kepada saya. Entah balasan budi apa yang harus saya balas kepada anda?"

Tuan Brechtje pun tersenyum juga, "Jika saya membutuhkan balasan budi itu, saya akan segera menghubungimu."

"Tentu tuan. Saya akan bersedia jika tuan meminta balasan budi dari saya."

Dan siapa sangka, janjinya itu harus ditepati suatu saat nanti.

***

Aster menunggu di Ruang Tamu sampai pembicaraan ayahnya dengan cowok yang bernama Adrian itu selesai. Aster masih tak menyangka, ternyata ayahnya mengenal Adrian. Jadi, Aster tak perlu repot-repot mencari tau tentang Adrian lagi. Cowok yang berhasil membuatnya senyum seharian karna mikirin dia.

Kini tatapannya beralih ketika ia melihat Adrian datang. Refleks Aster bangkit. Menghampiri Adrian yang tengah menuju ke arahnya.

"Udah selesai ngomong sama papa gue?" Tanya Aster gugup. Jujur, ia belum pernah sesalah tingkah seperti ini.

"Udah. Gue disuruh bokap lo buat kasih tau lo kalo lo ditunggu di Ruang Kerjanya."

Aster semakin gugup, "Oh yaudah. Gue kesana dulu."

"Ter!"

Langkah kaki Aster terhenti dikala Adrian memanggilnya. Dengan segera ia menatap laki-laki itu.

"Abis ngobrol sama bokap lo, lo mau pulang? Tadi bokap lo minta gue buat anterin lo pulang sekalian karna udah malam. Atau lo mau nginep disini aja?" Agak canggung sebenarnya Adrian menawarinya begitu.

Aster menggaruk tengkuknya, "Ehm, gue pulang. Cuma mau ngomong sebentar sama papa."

"Ya udah. Gue tungguin."

Aster mengangguk. Setelah itu ia beranjak untuk segera menemui papanya. Sementara Adrian menduduki sofa yamg tadi diduduki Aster.

***

Ceklek...

Tuan Brechtje menatap pintu yang baru saja dibuka. Hatinya senang melihat putrinya tiba. Sebelum Aster duduk di kursi yang ada dihadapannya, tuan Brechtje menggiring putrinya itu menuju kursi yang lebih panjang untuk diduduki berdua.

"Ada apa Aster? Sepertinya penting." Ucap tuan Brechtje begitu meneduhkan. Itu yang membuat Aster jadi nyaman dengan ayahnya.

Aster menghela napas, "Soal perjodohan Aster dengan Radin ayah."

"Kenapa? Kamu tidak mau?"

"Bukan begitu." Aster menatap sang ayah begitu lekat, "Aster mau. Tapi Radinnya yang gak mau. Radin cintanya sama Liana."

Tuan Brechtje mengangguk paham. Sedikitnya ia mengerti dengan jalan cinta sang anak. Karna Aster banyak bercerita dengannya.

"Kalau Radinnya gak mau, ya jangan di paksa." Ujar sang ayah.

Aster menunduk. Ia sedih ayahnya berkata begitu, "Tapi pa. Aster cinta sama Radin. Aster mau sama Radin."

"Papa ngerti. Tapi, apa kamu mau pernikahan kamu itu bukannya membuatmu bahagia tapi malah membuatmu menderita? Bagaimanapun juga hanya kamu yang mencintai disini. Masih banyak laki-laki lain yang lebih baik daripada Radin."

"Aster tau. Tapi, suatu saat pasti Aster bisa dapetin hatinya Radin. Walaupun pernikahan itu berjalan tanpa Radin yang cinta sama Aster."

Sang ayah kembali menghela napas, "Itu berbeda Aster. Disini Radin mencintai Liana. Dan Radin masih melihat Liana. Otomatis perasaannya Radin gak akan hilang tentang Liana. Berbeda jika kamu sama Radin gak saling cinta terus kalian menikah, baik kamu ataupun Radin gak punya seseorang yang dicintai, baru cinta akan tumbuh diantara kalian."

Aster menunduk mendengar penuturan sang ayah. Sang ayah ada benarnya juga.

"Lagi pula, papa gak begitu setuju sama perjodohan kalian. Tapi karna kamu mau, papa gak larang. Adapun penjelasan papa tadi hanya dari kacamata papa saja."

Aster menatap polos sang ayah, "Papa gak suka kalau Aster sama Radin?"

"Semuanya papa kembalikan padamu. Kalau kamu bahagia, papa setuju. Tapi kalau kamu menderita, papa gak setuju. Dan dari cerita kamu saja papa tau, kalau pernikahan kamu nanti buat kamu gak bahagia."

Aster menghela napas, "Ya udah deh, Aster bakal usaha sedikit lagi. Kalo masih gak ada perubahan, Aster bakalan nurut sama papa."

Tuan Brechtje mengusap kepala Aster gemas. Anak gadisnya ini sudah dewasa.

"Tapi, kalau misalkan kamu batalin perjodohan kamu, apa mama kamu setuju?"

Aster menggeleng polos, "Gak tau juga, deh. Mudah-mudahan aja ya, mama setuju."

***

Next...

A2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang