Hugo mengusap kepalanya yang memerah akibat lemparan remot TV tersebut. Ingatkan dia untuk menyembunyikan benda itu lain kali.
Hugo terduduk di kursi bar seraya menikmati segelas anggur. Istrinya telah kabur ke kamar dan entah sedang melakukan apa. Suara bel yang tiba-tiba berbunyi membuat Hugo segera bangkit dari posisinya. Ia yang hanya mengenakan celana pendek dan baju kaus putih membuka pintu.
"Ah, selamat siang," sapa seorang wanita usia 24 tahun padanya.
Hugo dengan tidak sungkannya mengangguk. "Siang."
"Saya baru pindah ke sebelah. Ini saya bawakan cheesecake," ujar gadis itu seraya menunjuk rumah yang ada di sebelah. Pipinya bersemu merah saat menatap wajah Hugo yang tampan.
"Oh ya," Hugo menatap Cheesecake yang kini telah berpindah tangan padanya.
"Nama saya Gladis." Gadis itu memperkenalkan diri
"Saya Hugo."
"Baik kalau gitu, permisi," Gladis dengan kikuk pamit dan kembali ke rumahnya yang ada di sebelah. Hugo menatap Cheesecake di tangannya dengan bingung.
Hugo kembali ke meja bar. Ia membuka cheesecake itu dan membuat potongan besar. Rasanya tidak begitu buruk meskipun dia bukan penggemar makanan manis.
Evelyn tampak melintasi dapur. Pakaiannya telah berganti dengan dress putih bergaya offshoulder yang menampakkan bahu putihnya. Ada aksen pita dan renda yang menutupi bagian dada hingga kelengan dan menutup seluruh lengan dengan bahan. Namun potongan rok yang hanya setengah paha membuat Hugo menjadi tidak suka.
"Mau kemana?" tanya Hugo dengan nada berbahaya.
"Jalan-jalan," jelas Evelyn.
"Sendirian?"
Evelyn menatap Hugo sinis. "Iya. Kenapa?"
Hugo bangkit berdiri. "Beri aku sepuluh menit. Kita pergi bersama."
Evelyn menghela napasnya. Dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti kehendak Hugo.
***
Selang beberapa saat lamanya Hugo muncul di ruang tengah. Tubuhnya dibaluti celana denim dan kemeja putih. Pergelangan tangannya dihiasi jam rolex yang menunjukkan kemewahan. Slip on nude yang ia kenakan membuatnya terlihat lebih santai.
"Ayo,"
Evelyn mengikuti Hugo menuju basement dimana mobil-mobil mewah Hugo terparkir. Pria itu memilih ferari merah dan masuk ke dalamnya, sementara Evelyn menatapnya seraya menghela napasnya.
"Apalagi?" tanya Hugo seraya melongokkan kepalanya dari pintu.
Tanpa mengatakan apa pun lagi Evelyn mengikuti kehendak Hugo untuk duduk di sebelah pria itu.
Hugo memasang kaca matanya, menghidupkan musik dan mulai melajukan mobilnya keluar dari basement.
Evelyn memutar bola matanya. Gadis itu mengeluarkan ponsel dari dalam tas kecil yang dibawanya.
"Kita mau kemana?" tanya Hugo.
"Restoran sushi."
Hugo mengangguk-angguk.
"Kamu gak lapar? Apa yang kamu makan tadi? Cheesecake? Kapan kamu memesannya?"
Hugo memiringkan kepalanya. "Tetangga baru kita memberikannya pagi tadi."
Evelyn mengangguk-angguk. "Wanita itu cantik?"
"Kenapa kamu pikir itu wanita?" Hugo menatap Evelyn tak terima.
"Mana ada bapak-bapak tua buncit yang mau mengantar cheesecake ke tetangga sebelah." Evelyn menghembuskan napas malas.
Hugo membersitkan tawa. "Kamu melihatnya tadi?" terka Hugo.
Evelyn sama sekali tidak bereaksi.
"Kamu melihatnya. Oke. Hmm, apa wanita itu cantik? Hmm, tidak. Tidak sama sekali. Evelynku jauh lebih cantik. Ratusan kali. Tidak, ribuan kali."
Evelyn memutar bola matanya malas. "Kamu tau Hugo, kamu itu pembohong ulung."
"Aku serius!" Hugo tidak terima dikatakan pembohong. "Memangnya aku pernah bohong apa padamu sayang? Jangan menilaiku begitu. Aku terluka." Hugo memegangi dadanya seolah Evelyn baru saja menyakiti perasaannya.
Evelyn tidak peduli. Restoran itu kini telah berada di hadapan mereka. Hugo memarkir mobilnya.
Evelyn keluar dari dalam mobil. Hugo menyusul istrinya memasuki restoran itu.
"Apakah sudah reservasi sebelumnya?"
Evelyn menggeleng. "Private room please."
"Untuk berapa orang?"
"Dua orang."
"Baik, silahkan."
Evelyn dan Hugo mengikuti pelayan restoran menuju ruangan mereka. Disana Evelyn melihat beragam menu yang ditawarkan dan memilih beberapa. Begitu juga dengan Hugo.
Setelah pelayan restoran pergi, Hugo menatap Evelyn lekat-lekat.
"Kapan terakhir kali kita kencan seperti ini?" tanyanya dengan berbunga-bunga.
"Kapan terakhir kali kamu tidak sibuk?" balas Evelyn.
"Ayolah Evelyn. Aku akan menyediakan waktu seperti ini untukmu setiap minggu. Jadi bisakah kita berdamai sekarang?"
Evelyn menyilangkan tangannya di depan dada. "Aku tidak yakin dengan yang kamu maksud berdamai."
"Seperti kamu berhenti meminta cerai, menjauhiku, atau ehm kamu tau. Itu," Hugo menunjukkan gelagat yang aneh. "Yang biasa kita lakukan untuk bersenang-senang."
Evelyn menghela napasnya. "Aku tidak menginginkan apa pun lagi darimu Hugo. Aku tidak bisa hidup denganmu, mengerti?"
"Kenapa? Kita sudah hidup bersama selama sembilan tahun," Ada kilat berbahaya dimata Hugo. Kilat yang menyambar langsung ke jantung Evelyn dan menyuarakan peringatan.
Tapi Evelyn mengabaikannya. Satu-satunya hal yang diinginkannya saat ini hanyalah pergi dari kehidupan pria itu. "Aku ingin kita bercerai, bagaimana pun caranya."
Hugo membersitkan tawa. Tawanya terdengar seperti psikopat. Matanya menatap Evelyn dengan liar. "Kamu sudah terlalu jauh Evelyn. Sekarang sudah tidak ada lagi jalan keluar. Tidak ada. Tidak ada hal yang bisa kamu lakukan untuk mewujudkan itu. Tidak ada."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ways To Let Go
RomanceDari awal Evelyn tidak percaya pada yang disebut cinta. Alasan ia menikahi Hugo itu sederhana. Ia hanya ingin hartanya. Ia ingin hidup kaya raya dan kebetulan Hugo memiliki itu semua. Tapi ternyata kekayaan yang ia dambakan itu hanya kebahagiaan sem...