8

3 1 0
                                    

Evelyn ingat tatapan itu. Keberaniannya selalu di patah setiap kali dihadapkan pada sisi Hugo yang kejam. Tubuh lelaki itu sangat besar oleh massa otot, sementara Evelyn hanyalah wanita rapuh. Hanya butuh beberapa detik bagi Hugo untuk meremukkannya.

Karena itu kali ini Evelyn memilih mundur. Ia akan mundur dan melakukan rencana diluar dugaan agar Hugo tidak berkutik dan akhirnya menceraikannya.

Selang beberapa saat Evelyn mendengar Hugo menghela napasnya. Pria itu terlihat telah kembali bisa mengendalikan dirinya.

"Eve, sebaiknya kita ke psikolog pernikahan. Ku dengar itu bisa membantu."

Evelyn mengedikkan bahunya tidak peduli. Ia mengusap tengkuknya. "Aku tidak tahu. Apa itu ada gunanya?"

"Tidak ada salahnya kan mencoba?"

Hugo mengulurkan tangannya dan meremas tangan istrinya dengan penuh penghayatan. Ia akan melakukan apa pun demi pernikahan mereka. Hugo sudah bertekad untuk memperbaiki hubungan mereka. Untuk itu, ia menatap Evelyn sungguh-sungguh.

"Sebaiknya ada yang bisa mereka perbuat untuk kita. Aku sungguh-sungguh."

***

"Cari tau psikolog pernikahan terbaik di kota  ini," ucap Hugo serius pagi itu saat dia baru saja sampai. Pria itu menaruh jasnya di kursi. Lengan kemeja hitamnya ia lipat dan dua kancing teratas ia lepaskan.

Wanita yang mengikutinya itu tampak terpesona selama beberapa detik sebelum sadar. "Baik Pak."

"Tunggu," ia menatap wanita yang berdiri dihadapannya. Seingatnya beberapa hari yang lalu ia telah meminta bagian HR untuk memindahkan wanita ini ke devisi lain.

"Apa yang terjadi? Kenapa kamu disini?" pertanyaan itu dilayangkan Hugo dengan penuh keheranan.

"Ehm. Saya rasa istri anda tidak keberatan saya berada disini," jelas Melani kikuk.

"Istri saya?" Hugo mengulang dengan nada tidak percaya.

"Ya, istri bapak." Melani mengangguk.

"Damn it." Hugo mengumpat dan mengangkat telpon. "Suruh kepala divisi HR ke ruangan saya," ucapnya. Ia melirik ke arah Melani. "Kamu boleh pergi."

"Baik Pak." Melani mematuhi perintah Hugo dan keluar dari ruangan itu.

Dari kejauhan ia mendengar Hugo berbicara dengan nada suara kesal. "Evelyn. Apa yang kamu coba lakukan hmm?"

***

"Kamu gila, Eve."

Evelyn tersenyum mendengar suara Cathrine yang menuduh diujung sana.

"Aku memberi foto itu bukan untuk memotivasimu untuk bercerai."

"Haah, aku lebih senang mendengar Hugo menjelaskan bahwa dia tidak punya ketertarikan pada sekretarisnya. Tapi dia malah marah dan mengintrogasi aku, apa yang aku coba lakukan?"

"Well, kamu patut dicurigai," Cathrine menghela napas di ujung sana. "Kamu baik-baik saja suamimu berada di sekitar wanita itu selama 8 jam atau bahkan lebih dalam sehari."

"Aku baik-baik saja. Kenapa aku harus merampas pekerjaan orang lain?" Evelyn berujar tidak peduli.

"Kamu tahu istri mana pun yang normal akan takut suaminya tertarik pada wanita itu. Dia cantik, dan... dan... belahan dadanya, you know-" Cathrine mencoba menjelaskan, tapi akhirnya ia menghela napas.

"Jika Hugo tertarik pada wanita semudah itu, mungkin takkan sulit berpisah dengannya," jelas Evelyn seraya tercenung.

"Hei, jangan bicara begitu. Kalian berniat menyelamatkan pernikahan ini kan? Hugo bahkan mencari psikolog pernikahan terbaik."

"Entahlah." Evelyn menggedikkan bahunya tidak peduli. Ia terlalu skeptis dengan ide tentang psikolog pernikahan.

"Sebaiknya kamu mencobanya, Eve. Ingat saat pertama kali kamu mulai menyukainya. Kalian saat itu sangat bahagia."

"Mungkin segala sesuatu itu ada masanya." Evelyn tersenyum pahit. "Sekarang kami hanya dua orang yang saling menyakiti."

"Semua akan membaik Eve... Percaya padaku... Semua akan membaik."

***

Evelyn terbangun saat jam menunjukkan pukul 8 malam. Kamarnya gelap gulita. Evelyn mengulurkan tangan untuk menghidupkan lampu.

Evelyn berjalan keluar. Seluruh rumahnya dalam keadaan gelap. Menggunakan gadget ditangannya, Evelyn menghidupkan seluruh lampu. Seluruh ruangan tampak terang benderang. Tapi rasa kesepian menelusup masuk ke dalam dirinya.

Suara mobil terdengar dari luar. Evelyn menduga itu pasti Hugo. Dan tak lama sosok itu pun muncul dari balik pintu masuk.

"Eve..." panggilnya. Ia berhenti memanggil setelah melihat Evelyn diujung tangga.

"Kamu baru bangun?" tanyanya.

"Apa aku terlihat seperti baru bangun?" Evelyn merapikan rambutnya yang mungkin terlihat berantakan.

"Tidak, kamu terlihat cantik," Hugo tersenyum dan menyusulnya ke lantai dua. Setelah dekat, ia pun memeluknya dan mencium pipinya.

Evelyn hanya diam di tempatnya.

"Kamu baik-baik saja?" tanya Hugo khawatir.

Evelyn menggeleng. "Tidak, aku tiba-tiba takut di rumah ini sendirian. Bagaimana kalau kita punya pelayan seperti Cath?"

Hugo mengerutkan dahinya. Seingatnya dulu Evelyn lah yang menolak punya pelayan. "Yaaa, jika itu yang kamu butuhkan. Lakukan saja." Hugo berujar ringan dengan senyum dibibirnya.

Evelyn mengangguk. "Bagaimana harimu?" tanyanya dengan sedikit perhatian.

"Maksudmu, bagaimana hariku dengan sekretarisku?" Hugo bertanya dengan sarkastik. "Tenang saja, tidak ada adegan bos dan sekretaris seperti di film-film."

"Baiklah," balas Evelyn tidak peduli.

"Bagaimana harimu?" Hugo balik bertanya.

Evelyn mengangkat bahunya. "Tidur, mandi, tidur lagi. Hanya itu yang kulakukan."

"Kamu sudah makan sesuatu?" tanya Hugo khawatir.

Evelyn menghela napasnya. "Tadi pagi aku makan roti."

"Hanya itu?" Hugo tampak kesal.

"Sebaiknya aku istirahat," Evelyn memilih kembali ke kamarnya.

Hugo mengikutinya dengan raut wajah kesal. "Eve, aku mengerti kamu masih bersedih. Tapi kamu harus tetap memperhatikan kesehatanmu."

Evelyn tidak menjawab. Ia bergelung di dalam selimut.

Hugo mengusap keningnya. Dia telah lalai. Selama ini dia terlalu sibuk bekerja hingga tidak memperhatikan Evelyn. "Kamu benar, kita butuh pelayan di rumah ini. Pelayan dan tukang masak. Ada dua kamar kosong yang bisa mereka tempati. Besok aku akan meminta Marco untuk mengurusnya."

Tidak ada sahutan dari Evelyn.

"Good night, Eve."

Ways To Let GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang